Epilog

24.7K 653 7
                                    

"Sam?" Hanah memanggil laki-laki itu dengan nada lembut.

"Ya?" jawab sang pemilik nama. Dia menoleh sekilas ke arah Hanah sebelum kembali menatap ke arah jendela di apartemen Hanah. Dari jendela itu, tampak salju perlahan turun menutupi permukaan tanah dan jalanan di luar sana

Hanah meraih tangan kiri Sam lalu mengangkat jari manis laki-laki itu. Cincin yang sama dilihatnya ketika Sam datang menemuinya beberapa bulan lalu masih terlingkar di sana. Sebelah alis Hanah terangkat sambil menatap wajah itu lekat-lekat. "Cincin apa ini?" tanyanya ragu. Sudah lama dia merasa janggal dengan benda itu di jari manis Sam. Hari ini akhirnya dia menyampaikan rasa penasarannya.

Sebuah senyum miring tersungging di bibir Sam. "Menurutmu?" tanyanya dengan nada jahil.

Hanah mendengkus keras lalu melepaskan telapak tangan itu. Tetapi, tiba-tiba Sam menangkap telapak tangannya. "Masa kamu sudah lupa sih?" Sam bertanya dengan nada heran.

"Kalau kamu sudah punya wanita lain, buat apa mendekatiku lagi?" Pertanyaan ketus itu diucapkan Hanah dengan mengerutkan kedua alisnya.

"Ini cincin pernikahan kita, sayang."

Mendengar jawaban itu, seketika Hanah mengedipkan kedua matanya beberapa kali. Dia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Dulu saat dia memasangkan cincin itu, dia terlalu gugup sampai tidak terlalu melihatnya dengan jelas. "Masa sih?" tanyanya masih merasa ragu.

"Masih nggak percaya?" Sam melepaskan cincin itu lalu memperlihatkan bagian dalamnya pada Hanah. Di dalam cincin, inisial nama dan tanggal pernikahan mereka tercetak jelas di sana.

Hanah tersenyum kikuk sesudah memastikannya. Gadis itu terlihat salah tingkah karena Sam menatapnya begitu intens saat ini. "Gimana kalau kita adakan ulang pernikahan kita di New York? Kamu bisa undang teman-temanmu." Laki-laki itu terlihat antusias membicarakan rencana mereka.

"Mengadakan 'ulang'? Bukannya kita sudah bercerai?" tanya Hanah bingung.

"Siapa bilang? Aku nggak pernah menyerahkan surat gugatan cerai itu ke persidangan tuh."

Kini kedua mata Hanah melotot dramatis. "Jadi maksudmu kita masih suami istri?" tanyanya.

"Saat itu kamu langsung pergi begitu saja. Kalau mau benar-benar bercerai, seharusnya kamu menunggu sampai ketukan palu selesai terlebih dahulu baru pergi ke New York," jelas Sam.

Kedua pipi Hanah memerah menyadari kesalahannya. "Terus kalau aku tanpa sengaja menerima lamaran orang lain, gimana? Kok kamu nggak kasih tahu aku sih!" ujarnya. Kalimatnya benar-benar polos membuat Sam ingin mencubit pipi gadis itu.

"Memangnya kamu mau terima lamaran siapa? Tetanggamu itu?" tanya Sam dengan kedua alis berkerut dan mata menyipit tajam. Laki-laki itu melipat tangan di depan dada, menunggu jawaban Hanah.

Hanah hanya melotot lalu memukul lengan Sam dengan tangan kanannya. "Terus, kalau aku bilang iya, kamu bisa apa?" tantang gadis itu dengan wajah cemberut.

Sam terdiam, tampak berpikir sejenak. Hal itu membuat Hanah penasaran isi pikiran yang ada di dalam kepalanya. "Mudah saja, aku akan merebutmu kembali." Sam berujar dengan nada percaya diri. "Mau dari sifat, kelakuan dan lain-lain, aku paling hafal. Jadi, pasti mudah bagiku merebutmu kembali."

Pengakuan dengan tingkat kepercayaan diri maksimal itu membuat Hanah merasakan panas di kedua pipinya. Dia tidak jadi cemberut. Kata-kata Sam justru malah membuatnya kesal bercampur senang. Dia hanya tertawa pelan, kemudian Sam pun menyusulnya, ikut tertawa dengan perdebatan konyol mereka.

Begitulah mereka menghabiskan hari-hari di musim dingin di New York. Sam menemani Hanah hingga gadis itu wisuda dan mendapatkan gelar masternya. Sam bisa melakukan itu sambil menghubungi sekretarisnya, dia mengerjakan urusan perusahaan secara remote. Tentu saja susah, tetapi dia merasa semuanya terbayarkan ketika melihat Hanah tersenyum di sisinya. Kemudian... seperti matahari yang selalu tepat waktu terbit dan tenggelam tiap harinya, angin berhembus menandakan sebuah musim baru akan dimulai.

***

"Silakan lewat sebelah sini," ucap seorang wanita mengenakan jas berwarna putih. Dia merogoh saku jasnya lalu mengeluarkan bundel yang berisi berbagai macam bentuk kunci. Setelah memilih satu dari antara sederet kunci lainnya, dia meraih gembok yang terpasang pada pintu terali di hadapannya.

"Anda bisa masuk. Saya akan menunggu di luar," lanjut wanita itu lagi sambil mengundurkan diri. Dia memberikan kesempatan buat wanita yang sejak tadi mengikuti selangkah di belakangnya untuk masuk ke dalam ruangan di balik terali itu.

Wanita berambut ikal sebahu, Diana Quinessa, yang biasanya berdandan menor itu kini terlihat lebih sederhana. Dalam balutan t-shirt, jeans dan sneakers, dia melangkah masuk ke dalam bangsal tersebut. Di dalam, dia mendapati seorang laki-laki sedang duduk di atas kursi sementara itu tubuhnya condong ke depan, terlihat sedikit menunduk. Siku lengan kanan laki-laki itu bertumpu pada meja dengan sebuah bolpoin dalam genggaman tangannya. Coretan-coretan memenuhi sebuah kertas putih berukuran A3 di atas meja.

Diana terkesiap sambil menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Pelupuk matanya mulai digenangi air mata. Sosok laki-laki itu tidak menggubrisnya bahkan sesudah wanita itu menarik kursi ke dekat meja.

"Pram," panggil Diana setengah berbisik. Entah mengapa dia bersuara pelan. Mungkin karena takut mengagetkan pria itu.

Pram Setiabudi sekilas menoleh ke arah Diana, benar-benar hanya sekilas sebelum perhatiannya kembali terarah ke lembaran kertas di atas mejanya. Diana tahu dia tidak bisa mengharapkan reaksi normal saat ini. Tatapan sendunya memperhatikan gerak-gerik Pram. Walau dia tahu banyak kesalahan yang sudah dibuat laki-laki itu pada banyak orang dan termasuk pada dirinya, tetapi Diana tidak bisa bohong terhadap perasaannya sendiri.

"Aku akan menunggu hingga suatu hari nanti kamu kembali..." Kedua sudut bibir wanita itu perlahan melengkung, menunjukkan sebuah senyum tulus.

***

Secret Behind Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang