"Selamat siang pak, ada telepon dari rumah Anda." Suara interkom terdengar memenuhi sebuah ruangan berdinding kayu dengan kaca jendela raksasa. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja dan kursi empuk dengan kaki roda. Seorang pria berjas rapi duduk di atasnya. Kedua alis tebalnya sedikit bertaut, menandakan keseriusannya menyelesaikan tumpukan dokumen di atas meja.
"Siapa?" tanya pria berambut hitam klimis itu dengan nada datar.
"Dari kakek Anda, pak."
Kening pria tadi semakin berkerut mendengar jawaban tersebut. Ia menarik dasi, melonggarkannya, kemudian beranjak dari kursi. Dia berjalan ke kanan, ke arah jendela raksasa yang memenuhi satu bidang ruang kerjanya. Dari jendela itu, dia bisa melihat suasana padat lalu lintas jalanan H.R. Rasuna Said.
Setelah jeda cukup lama, akhirnya laki-laki itu kembali buka suara. "Tolong sambungkan."
"Baik, pak."
Tak lama, suara yang familiar segera menyambut indera pendengaran laki-laki itu. Suara berat yang terdengar sedikit serak memenuhi ruang kerjanya. Seperti biasa, intro dimulai dari omelan.
"Sam! Kakek udah bilang dari seminggu yang lalu ke kamu! Sekarang cepat kamu bergegas ke Up All Might di Kemang! Kalau kamu berangkat sekarang masih keburu!"
"Ngapain pergi ke sana sih, kek?" tanya Sam pura-pura tidak mengerti.
"Tentu saja, ketemu calon bini kamu!!! Udah jangan banyak cingcong! Pergi kamu sekarang juga!"
Ck! Sam Handoko merutuk dalam hati. Topik yang sama sudah kakeknya angkat lebih dari seribu kali semenjak tahun lalu. Awalnya Sam masih bisa menunjukkan kesabaran, namun lama-lama kesabarannya mulai menipis dengan topik ini. Umurnya baru dua puluh tujuh tahun!
Di saat karirnya sedang naik daun, kakeknya menambah syarat pernikahan menjadi salah satu atribut yang harus dimilikinya supaya mendapat hidup sempurna. Sam tentu saja setuju jika pernikahan bisa membuatnya mendapatkan pasangan yang mampu menjadi sistem support. Tetapi, kakeknya itu menempatkannya pada posisi dimana dia harus berkenalan dengan gadis-gadis yang dipilihkan dan memilih yang menurutnya paling cocok, kemudian menikah dengannya.
Menikah bukanlah sekadar cocok atau tidak cocok. Bagi Sam, membangun sebuah rumah tangga memiliki arti lebih dari itu. Pendapat kakeknya yang mengatakan, 'cinta bisa bertumbuh seiring berjalannya waktu', tentu saja juga ada benarnya, tetapi bukan berarti Sam jadi asal memilih dan asal menikah.
"Kek, sudah kubilang, aku—"
"Eits! Sebelum kamu tolak calon yang kakek pilihkan kali ini, kakek mau bertanya satu-dua hal padamu," ucap kakeknya tiba-tiba.
"Tanya apa?"
"Kamu mau mewarisi grup Handoko yang sudah kakek rintis berpuluh tahun lalu, kan?"
"Tentu saja, selain aku, apa kakek punya calon penerus lain?" Sam bertanya balik.
"Ck! Dasar sombong! Emangnya kamu tahu kakek menuliskan wasiat apa di notaris?"
Sam langsung mendelik. "Kakek ke notaris membuat wasiat? Kok aku nggak tahu tentang hal ini?"
Umur kakeknya memang sudah mendekati delapan puluh tahun. Namun, kesehatannya masih prima dan beliau juga rajin berolahraga. Sam bisa menjamin umur beliau bisa sampai seratus tahun. Kenapa tiba-tiba kakeknya ingin meninggalkan wasiat? Pertanyaan itu memenuhi benak Sam.
"Dengar Sam! Kalau kamu mau mewarisi Handoko Group dari pusat sampai ke cabang-cabangnya, kamu harus menikah terlebih dahulu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Behind Marriage (Completed)
RomanceBagi Sam, Hanah adalah alat yang ia perlukan untuk membuat kakek memilihnya menjadi penerus bisnis keluarga. "Buktikan pada kakek bahwa kamu bisa membentuk sebuah keluarga. Dengan begitu, kakek akan membuat kamu menjadi penerus satu-satunya bisnis k...