Enam tahun lalu, saat Arin baru beberapa bulan tinggal di Jakarta, ia malah terserang demam berdarah.
Arin ingat, saat itu pertama kalinya ia izin tidak masuk sepanjang ia bekerja di kantornya. Awalnya, semalaman ia merasa tidak enak badan, hingga demam tinggi. Keesokan harinya ia memutuskan untuk tidak masuk kerja, lalu berobat ke klinik terdekat.
Setelah menjalani beberapa pemeriksaan umum, ia diresepkan beberapa obat penurun demam.
Namun, setelah dua hari berlalu, demamnya tak kunjung turun. Ia masih tidak masuk kerja, karena tubuhnya terasa lemas. Padahal, Arin sudah minum obat yang diresepkan dokter.
Adam yang biasa berpapasan dengan Arin di lobby gedung kantornya, tidak melihat wanita itu bersama teman-temannya beberapa hari ini. Penasaran, ia pun bertanya pada salah satu teman Arin, yang mana menginformasikan bahwa Arin tidak masuk kerja karena sakit.
Waktu itu, mereka memang sudah beberapa kali menghabiskan waktu bersama, tapi belum begitu dekat untuk saling bertukar kabar. Hanya sekadar saling menyapa saat berpapasan, atau menghabiskan akhir pekan bersama jika keduanya tidak ada jadwal dengan orang lain.
Adam memutuskan untuk mengirim pesan terlebih dahulu pada Arin, untuk memastikan keadaan wanita itu.
Adam : Arin, sakit apa?
Lima belas menit berlalu, tidak ada balasan. Biasanya, Arin selalu membalas pesan dalam waktu beberapa menit.
Tak mau menunggu lebih lama lagi, Adam segera menelpon Arin. Setelah tiga kali melakukan panggilan, ia baru tersambung dengan suara Arin.
"Halo..." Suara Arin terdengar lemah dari ujung sana.
"Rin? Lo sakit apa?"
Tak ada jawaban dalam beberapa detik, hingga suara Arin terdengar lagi. "Oh ... Adam."
Rupanya Arin tidak sempat membaca nama kontaknya saat tadi mengangkat telepon.
"Demam, Dam. Gak turun-turun nih demamnya, udah tiga hari. Mana lemes banget."
"Udah ke dokter?" tanya Adam.
"Udah, dua hari lalu. Udah minum obat juga. Tapi gak terlalu ngefek kayaknya."
"Pulang kerja gue ke sana ya, Rin. Lo butuh sesuatu gak? Biar gue sekalian beli di jalan."
"Titip bubur aja deh, buat nanti makan sore."
"Oke, kalo ada apa-apa, atau butuh sesuatu, kabarin gue ya, Rin."
Terdengar suara hembusan napas Arin yang terasa putus-putus. "Oke, Dam. Thank you, ya."
Nyatanya, tak menunggu sampai jam pulang kerja, Adam memutuskan untuk izin pulang cepat pada atasannya karena ada urusan mendadak. Sepanjang kerja ia tidak tenang, membayangkan Arin sendirian di kosan. Wanita itu tak memiliki keluarga sama sekali yang tinggal di Jakarta, teman-temannya juga sebagian besar harus bekerja.
Arin baru beberapa bulan tinggal di Jakarta, sama seperti dirinya. Saat itu, Arin masih memutuskan tinggal di kos, sebelum akhirnya pindah ke apartement.
"Rin, lo pucet banget!" Adam berseru seketika, saat pintu kamar kos Arin terbuka dan memunculkan sosok wanita itu dalam keadaan pucat pasi.
"Sini masuk, Dam. Sori, berantakan banget." Arin mempersilahkan Adam masuk terlebih dahulu ke kamar kosnya yang berukuran 3x4. "Jam berapa sekarang? Emang udah jam pulang kerja?" Arin mencari ponselnya, untuk melihat waktu saat ini.
"Gue izin pulang cepet."
Arin tidak merespon, karena tidak memiliki banyak energi untuk menyahut.
"Dam, sori ya. Gue mau tiduran nih, lemes banget, sumpah. Udah kayak gak punya tulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendhome
RomanceArin gak suka tinggal di apartemen, gara-gara kartu aksesnya sering hilang dan harus bayar denda setiap kali membuat laporan untuk pergantian kartu. Arin juga gak suka tinggal di kos-kosan. Sempit dan sumpek. Sebesar-besarnya kamar kos, tetap aja c...