Suara alarm dari ponselnya terus berbunyi sejak tiga jam yang lau. Arin yang masih terlelap, tidak merasa terganggu sama sekali dan membiarkan alarm itu terus berbunyi karena tidak ada yang mematikan.
Ini hari minggu. Arin tak merasa perlu bangun pagi. Namun, Arin memang mengatur alarmnya untuk berbunyi setiap hari, karena selalu tidak ingat untuk menonaktifkan pada hari sabtu dan minggu.
Merasa jam tidurnya sudah cukup, Arin pun meraba sekitar tempat tidurnya untuk mencari ponsel berisik itu. Dengan mata yang sesekali masih mengerjap, tangannya pun mengusap pelan layar ponselnya untuk mematikan alarm. Ia lalu melihat waktu yang tertera di ponselnya. Sudah pukul sepuluh pagi.
Saat memeriksa beberapa pesan masuk di ponselnya, Arin seketika teringat akan kejadian semalam.
Mata yang semula masih menyipit karena bangun tidur, seketika terbuka lebar. Arin dapat merasakan wajahnya memanas saat mengingat hal tersebut, hingga kedua tangannya kini langsung meraih pipinya sendiri.
Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk, hingga suara Adam menyusul berikutnya.
"Arin? Udah bangun?"
Arin tak langsung menjawab. Sebentar ... ia perlu mengatur detak jantungnya yang tak karuan. Ia masih merasa salah tingkah saat mengingat kejadian semalam.
"Rin?" Suara Adam terdengar lagi.
Arin meringis pelan.
Ini bukan kali pertama Arin berpacaran. Namun, masalahnya kini ia berpacaran dengan Adam! Sahabatnya sendiri! Yang bahkan tinggal serumah dengannya!
"Udah, Dam!" Arin menyahut dengan suaranya yang masih serak.
Namun, ia juga tak bergerak untuk membuka pintu. Meski pintu kamarnya juga tidak dikunci, tapi Adam sama sekali tidak berusaha membukanya selagi Arin belum menyuruhnya masuk.
Adam tak membalas lagi. Apa Adam juga sedang bingung, harus bersikap bagaimana?
Semalam, selepas mereka berciuman, keduanya sama-sama terdiam dan menatap ke sembarang arah karena canggung.
Hingga suara Arin memecahkan keheningan.
"Gue ... ehm ... mau balik ke kamar." Arin menunjuk ke arah pintu, seraya menyatakan ia akan pergi dari sana.
Sebelum Adam menyahut, Arin sudah melangkah untuk pergi.
Sebelum Adam menyahut, Arin sudah buru-buru melangkah pergi.
"Sarapan, yuk?"
Suara Adam membuyarkan lamunan Arin dari kejadian semalam.
"Bentar, Dam." Arin menyahut lagi.
"Aku masuk ya?"
"Nanti dulu, Dam! Gue masih malu!"
Terdengar suara tawa Adam dari luar kamarnya.
"Yaudah, nanti kalo udah nggak malu, cepetan keluar ya. Nanti burgernya keburu dingin."
"Iyaa. Lima menit lagi keluar."
Suara Adam tak lagi terdengar. Sementara Arin sibuk dengan dirinya sendiri. Hingga memberanikan diri untuk keluar dari kamar.
"Udah nggak malu?" tanya Adam, saat Arin bergabung di sofa ruang tamu untuk sarapan bersama.
Arin berdecak pelan mendengar pertanyaan Adam.
"Ini ... kita ngomongnya udah mulai aku - kamu ya, Dam?"
"Kita switch pelan-pelan aja ya, Rin. Kayaknya awal-awal emang agak aneh deh." Adam mengambil sebuah burger yang tadi sempat dipesannya dari aplikasi ojek online.

KAMU SEDANG MEMBACA
Friendhome
RomansaArin gak suka tinggal di apartemen, gara-gara kartu aksesnya sering hilang dan harus bayar denda setiap kali membuat laporan untuk pergantian kartu. Arin juga gak suka tinggal di kos-kosan. Sempit dan sumpek. Sebesar-besarnya kamar kos, tetap aja c...