Adam tidak mabuk. Namun, kepalanya ringan melebihi pengaruh alkohol. Ia masih terhanyut dalam bibir Arin. Tangannya sedikit menekan tengkuk wanita itu hingga ia semakin leluasa memperdalam ciuman.
Rasa alkohol yang masih menguar dari bibir Arin kini terasa di bibirnya. Adam sungguh tidak mampu menahannya, ia menikmati ciuman ini hingga rasanya tak ingin menyudahi meski napasnya nyaris tersenggal.
Arin yang mulai kehabisan napas berusaha menggerakkan kepalanya ke atas agar terlepas sejenak dari bibir Adam. Namun, tangannya masih terus menekan kepala lelaki itu untuk merapat pada wajahnya.
Bibir Adam kini turun ke dagunya. Arin terus bergerak dengan menoleh ke samping, mengantarkan bibir itu untuk bertemu dengan rahangnya hingga terus turun ke area lehernya.
"Damh... Eumh... Ahh..." Arin terus meracau seiring dengan bibir Adam yang terus mengeksplor area leher beserta bahunya. Kepalanya menengadah ke atas, memberikan akses lebih luas pada lelaki itu untuk terus bermain di sana.
Adam terlalu sibuk bermain di leher Arin, hingga tidak sadar jika tangan wanita itu kini sudah bergerak untuk menggapai resleting celananya. Saat tangan itu menyentuh area pribadinya yang sudah menegang sejak tadi, kontan lelaki itu segera tersadar apa yang tengah terjadi saat ini.
Adam segera memundurkan wajahnya dari leher Arin, tangannya buru-buru menggapai tangan Arin yang berusaha untuk menggapai miliknya – yang membuat tubuhnya semakin tak karuan jika tangan itu terus bergerak melewati batas.
"Rin, sori...." Adam menggeleng, dengan tangan yang berusaha menahan tangan Arin agar tidak bergerak ke tempat yang tidak seharusnya.
Pandangan Arin tidak begitu fokus. Wanita itu berusaha mengatur napasnya yang masih naik turun karena sentuhan Adam yang sukses membakar gairahnya. Namun, kesadarannya yang memang tengah terkikis karena reaksi alkohol, membuatnya kini menyandarkan kepalanya kembali pada sandaran kursi mobil dengan mata yang kembali terpejam.
Adam mengembuskan napas lega saat melihat Arin sudah kembali tidak sadarkan diri. Tangannya kini meremat kepalanya yang sudah memanas karena hal yang baru dilakukannya. Ia perlu mengembalikan kewarasannya sejenak dengan menangkupkan kepalanya pada setir mobil.
Hal-hal yang terjadi hari ini terlalu gila, hingga membuat kesadarannya menguap begitu saja hanya karena satu dorongan kecil dari Arin. Adam terlalu muak dengan serentetan hal yang menyiksanya seharian ini, hingga dorongan gairah kian sukses menguasai dirinya demi melenyapkan isi kepalanya yang kelewat kacau.
Setelah beberapa menit berlalu, Adam turun dari mobil lalu membawa Arin ke kamarnya. Beruntung wanita itu sudah benar-benar tak sadarkan diri hingga tak banyak bergerak. Mungkin ia bisa terbangun di kamar Arin, jika tiba-tiba tangan Arin kembali menarik tubuhnya untuk terjatuh di ranjang wanita itu, saat ia merebahkan tubuh Arin di tempat tidur.
Waktu sudah lewat dari tengah malam. Tak langsung pergi ke kamarnya, Adam justru bergerak ke toilet untuk menuntaskan rasa sesak yang kini menyiksa.
***
"Progress untuk pernikahan kamu gimana, Nesya? Kapan Adam bisa ke sini sama orang tuanya?"
Nafsu makan Nesya mendadak hilang, saat mendengar suara Papa yang kembali membahas soal pernikahannya.
"Udah lumayan, Pa. Ini lagi cari-cari vendor yang cukup sama budget."
"Jadi, kapan orang tua Adam ke sini?" Papa mengembalikan topik awal yang belum dijawab Nesya.
Nesya mengembuskan napasnya yang terasa berat. Suasana di meja makan sudah tak lagi hangat, karena introgasi pagi yang dilakukan Papa.
"Nanti, Pa. Kalo urusan keuangan kita udah beres, biar lebih tenang acaranya." Nesya berusaha menjawab dengan sabar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Friendhome
RomanceArin gak suka tinggal di apartemen, gara-gara kartu aksesnya sering hilang dan harus bayar denda setiap kali membuat laporan untuk pergantian kartu. Arin juga gak suka tinggal di kos-kosan. Sempit dan sumpek. Sebesar-besarnya kamar kos, tetap aja c...