Part 12

96.7K 8.8K 1.1K
                                    

Jika tragedi dalam hidupnya diikumpulkan, mungkin bisa menjadi satu buku super tebal yang hanya akan menceritakan kemalangan dalam hidupnya yang disebabkan faktor ekonomi.

Sejujurnya, Adam tidak suka membaca artikel yang berkaitan dengan kemiskinan, kelaparan, atau krisis lainnya yang terjadi di muka bumi ini. Ia tidak memiliki cukup energi untuk mengasihani hidup orang lain, seolah hidupnya tak cukup menyedihkan.

Katanya, melihat orang yang lebih susah bisa meningkatkan rasa syukur. Tentu saja, Adam sangat bersyukur ia diberikan kemampuan untuk melewati cobaan hidup yang sedemikian berat, tapi ia tidak bisa hanya bersyukur dan menerima dengan keadaan ekonomi keluarganya yang tidak baik-baik saja.

Membayangkan hal tersebut, mungkin Adam hanya bisa sampai lulus SMA, lalu bekerja di kampung halamannya dengan upah minimum yang memprihatinkan. Motto terpenting hidupnya sebatas bisa makan untuk hari ini, untuk makan besok bisa dipikirkan besok lagi.

Adam jelas tidak ingin hidup seperti itu. Ia ingin memutus rantai kemiskinan ini pada generasinya, agar keturunannya di generasi berikutnya tidak perlu sesulit ini menjalani hidup.

Berbagai upaya telah ditempuhnya untuk bisa sampai di titik ini. Titik dimana kebutuhan hidupnya cukup terpenuhi. Bekerja di salah satu perusahaan milik negara dengan gaji yang menggiurkan.

Seiring dengan itu juga kebutuhan keluarganya semakin meningkat. Keperluan pendidikan adik-adiknya, biaya renovasi rumah yang sudah sepatutnya diperbaiki agar tetap layak ditempati, juga kebutuhan sehari-hari ibu dan adik-adiknya yang ditanggung oleh Adam selaku pengganti peran ayahnya.

Hari ini, kabar mengejutkan lainnya turut serta membuat kepalanya nyaris pecah. Seolah dipecat belum cukup membuatnya stres, kabar lain ikut serta memperkeruh keadaan.

"Adam, Naya nabrak orang pas pulang sekolah. Ada dua orang yang luka-luka dan diminta tanggung jawab."

Adam mengembuskan napasnya yang terasa berat saat mendengar kabar tersebut. Ia baru beberapa langkah memasuki rumah setelah turun dari mobil Arin. Suara ibu sukses membuat lututnya lemas hingga membuatnya memutuskan duduk di sofa ruang tamu terlebih dahulu.

Hal yang ia khawatirkan saat adiknya minta dibelikan motor untuk transportasi ke sekolah, padahal Naya masih belum cukup umur, akhirnya terjadi.

"Terus keadaan Naya sekarang gimana, Bu?" Adam mencoba untuk tenang dan memastikan kondisi adiknya terlebih dahulu.

"Naya ada luka dikit di kakinya, tapi sekarang udah baikan. Korban yang ditabraknya lumayan parah karena patah tulang."

"Sekarang ibu sama Naya ada di mana?"

"Ibu lagi di tukang urut. Tadi tukang urutnya bilang, kalo patah tulang gini harus dirawat inap karena lumayan parah."

Berikutnya, Adam hanya terus meremat kepalanya saat ibu mulai memberitahukan biaya dari pengobatan tradisional untuk pemulihan dua orang korban yang adiknya tabrak. Pengobatan tradisional itu bahkan memakan harga yang lumayan, belum lagi dikalikan dua orang. Ia bahkan belum sempat memberitahukan ibu bahwa hari ini ia dipecat.

"Abang, maafin Naya. Naya gak hati-hati. Maafin Naya harus nyusahin Abang."

Suara Naya yang menangis ketakutan dan merasa bersalah membuatnya tak tega untuk mengomel karena kelalaian adiknya itu.

"Naya takut dilaporin ke polisi. Tadi Naya udah diomelin sama keluarga korban, mereka galak banget, Naya takut, Bang."

"Yang penting Naya gak kenapa-napa, lain kali hati-hati ya. Besok-besok jangan bawa motor dulu, Naya minta dianter Lintang aja buat sementara. Lintang 'kan masuk kuliahnya agak siang."

FriendhomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang