Part 21

92.5K 9.3K 2.2K
                                    

2k komen untuk part ini yaa!

***

Angin malam terasa menusuk kulit hingga nyaris merasuk pada persendian tulangnya. Kepulan asap rokok masih menemani malamnya yang berkabung, selagi Adam membuka setiap galeri yang menampilkan memori bersama mantan kekasihnya dalam bentuk digital.

Kenapa segalanya tidak bisa berjalan sesuai rencana, meski hanya sedikit saja? Memangnya masih kurang, rintangan yang Adam hadapi untuk bisa sampai sini?

Bayangan masa depan yang pernah ia tata bersama Nesya, dari mulai hari pernikahan mereka, hingga menua bersama dengan anak dan cucu seolah menamparnya semakin telak. Hari itu tidak akan pernah ada.

Adam melirik jam yang tertera di ponselnya. Sudah pukul dua pagi. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan esok hari. Semangatnya yang beberapa hari lalu menggebu, untuk masuk di kantor barunya, perlahan meluruh hingga tak bersisa.

Ia tak lagi harus buru-buru kerja, sebab tujuan utamanya mengumpulkan banyak uang sudah tidak ada.

Bruk...

"Aw!"

Tiba-tiba terdengar suara dari pintu menuju ke dalam rumah. Adam yang mendengar suara ringisan wanita pun beranjak untuk melihatnya.

"Arin! Ya ampun!" Adam terlonjak kaget, saat membuka pintu tersebut, lalu mendapati Arin yang tengah mengusap kepalanya yang kemungkinan terantuk sesuatu.

Mata Arin mengerjap, seperti setengah sadar. Ia masih merengis dengan wajahnya yang terlihat mengantuk.

"Lo ngapain di sini? Kenapa gak balik ke kamar?"

Arin menatap sosok Adam yang kini ikut berjongkok di hadapannya. Wajah itu semakin pucat, kemungkinan besar karena angin malam yang terus menerpa di saat kondisi tubuh Adam masih kurang fit.

"Arin?" panggil Adam, seraya menyentuh bahu Arin untuk menyadarkan wanita itu yang masih terdiam.

"Nungguin lo."

Adam meremat rambutnya, terlebih saat melihat pakaian tidur Arin yang tipis. Ia juga dapat merasakan kulit Arin yang dingin karena angin malam yang masuk melalui celah jendela.

"Ayo, gue anter lo ke kamar." Adam tersenyum pelan, seraya mengajak Arin untuk berdiri dari sana.

"Lo gak bakal balik lagi?"

Adam menggeleng.

"Beneran?" Arin memastikan.

"Iya, Arin."

Arin kemudian bangkit dari duduknya, lalu terdiam beberapa saat untuk mengumpulkan nyawanya yang masih setengah sadar.

Lalu wanita itu bergerak ke arah pintu menuju balkon, memutar kunci yang tergantung di sana, lalu mencabutnya.

"Biar lo gak balik lagi."

Adam tertawa pelan melihat tingkah Arin.

Arin tersenyum lega melihat tawa di wajah itu sudah kembali. Adam yang tadi terlihat begitu dingin, kini berangsur kembali. Ia benci melihat sosok Adam seperti tadi, yang begitu hancur dan sulit diajak berkomunikasi.

"Seenggaknya, kalo mau nungguin gue, pake jaket, Rin. Kalo lo masuk angin gimana?" Adam berkomentar saat mereka menuruni anak tangga menuju kamar Arin.

FriendhomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang