"Adam!"
Arin membuka pintu kamar Adam yang tidak terkunci, hingga membuat sang penghuni di dalamnya terkejut dengan kehadiran Arin.
Adam buru-buru menyembunyikan sebuah benda yang tadi ada di genggaman ke saku celananya, lalu mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Arin.
"Kenapa, Rin?" tanya Adam saat Arin memasuk kamarnya, yang langsung menangkap gelagat Adam tengah menyembunyikan sesuatu.
Kepala Arin terangkat, lalu miring ke kanan untuk melihat apa yang ada di belakang tubuh Adam.
"Kok lo udah balik? Katanya mau ketemuan sama Bian." Adam buru-buru mengalihkan perhatian Arin dengan pertanyaannya.
"Udah, tapi Bian nyebelin, jadi gue tinggalin." Arin menjatuhkan tubuhnya untuk duduk di tepi tempat tidur Adam. "Gue masih laper, tadi makannya jadi gak bener. Lo udah makan, belum?"
"Gue udah makan sih tadi," sahut Adam. "Lo mau makan apa? Yuk, gue temenin."
Arin memikirkan makanan yang diinginkannya untuk beberapa saat.
"Mau gultik deh, yuk!" Arin berdiri lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya yang disambut Adam yang turut berdiri.
Saat Adam berdiri, sebuah kotak terjatuh di tempat tidurnya.
Arin yang menangkap hal tersebut pun menoleh. "Hoo cincin."
Adam yang mendengar ucapan Arin pun mengambil kotak tersebut.
"Lo mau liat, gak?" Adam membuka kotak tersebut, lalu memperlihatkan isinya pada Arin.
Arin mengambil cincin yang ada di dalamnya, lalu memasangkan benda tersebut di jarinya. Ia mengangkat ke lima jarinya, untuk menilai apakah cincin tersebut cocok atau tidak.
"Gak bagus!" komentar Arin, seraya menunjukkan jarinya pada Adam. "Jual aja, Dam!"
"Masa, sih? Bagus kok." Adam menangkap tangan Arin, untuk memperhatikan cincin tersebut lebih jelas di jemari Arin. "Ukuran jari lo sama Nesya, sama ya, Rin," gumam Adam.
"Terus cincinnya buat gue, gitu? Gak mau! Beli yang baru, kalo mau ngelamar gue."
Arin melepaskan cincin tersebut, lalu menaruhnya kembali pada kotak yang masih ada di tangan Adam.
Adam terkekeh pelan mendengar ucapan Arin. Ia pun menaruh kotak cincin tersebut pada laci yang ada di sebelah tempat tidurnya.
"Kayaknya, cincin itu gak bakal gue jual," kata Adam saat mereka sudah mulai berjalan keluar rumah.
"Terus, buat lo kasih ke calon istri lo, kelak? Yang belum tahu, siapa itu?"
"Naik motor aja ya, Rin? Biar parkirnya gampang." Adam memotong pembicaraan mereka sejenak.
"Iya deh, naek motor aja." Arin menyetujui ajakan Adam.
"Gak papa dong, kan persiapan. Kayak orang-orang yang udah punya tabungan nikah, tapi calonnya belum ada." Adam menanggapi ucapan Arin tadi.
"Ih, gue kalo jadi calon istri lo, bakal gue buang tuh cincin pas tahu bekas mantan pacar lo yang gagal buat dinikahin."
"Tapi dia 'kan gak tau."
"Gue 'kan tau, nanti gue yang bilangin."
"Sialan lo!"
Adam mengulurkan helm pada Arin, lalu ia mulai naik ke motornya disusul Arin.
Motor itu pun menyusuri jalanan malam ibu kota yang sudah mulai lenggang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Friendhome
RomanceArin gak suka tinggal di apartemen, gara-gara kartu aksesnya sering hilang dan harus bayar denda setiap kali membuat laporan untuk pergantian kartu. Arin juga gak suka tinggal di kos-kosan. Sempit dan sumpek. Sebesar-besarnya kamar kos, tetap aja c...