"Cewek lo udah balik?"
Arin berjalan memasuki rumah, lalu melihat Adam yang sedang makan sendirian di ruang tamu. Ia sempat melihat helm yang biasa digunakan Nesya masih tergantung di motor Adam.
"Ngambek. Langsung pesen grab," sahut Adam.
Arin melempar sebungkus rokok yang dibelinya kepada Adam, yang segera ditangkap lelaki itu dengan tepat. "Padahal ongkos grab lumayan buat ditabung," kata Arin sarkas.
Adam tertawa pelan, ingin membela Nesya, tapi benar juga.
Arin menuangkan susu full cream yang baru dibelinya ke dalam gelas, lalu memasukkan kotak susu tersebut ke dalam kulkas. Wanita itu berjalan untuk duduk di sofa yang berbeda dengan Adam.
"Lo yakin gak bakal gila, ngikutin egonya Nesya?" Arin kembali membahas tentang sikap Nesya.
"Ya enggak lah, Nesya kayak gitu juga biar tujuan kita tercapai."
"Tujuan kalian, atau tujuan dia doang?"
Adam mengembuskan napasnya sejenak. "Rin, gue juga pengen pernikahan ini terwujud. Bukan cuma ngikutin Nesya."
Arin meletakkan gelasnya pada meja. Ia nyaris lupa, saking kesalnya dengan Nesya, ia luput menyadari bahwa hal ini terjadi atas dasar keinginan Adam juga.
Adam memang menginginkan pernikahan ini, tanpa dipaksa oleh pihak Nesya pun Adam tetap ingin melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya. Namun, jelas bukan itu masalahnya. Mereka tidak realistis dalam menghadapi kenyataan tentang biaya pernikahan yang harus terkumpul dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Jika Indonesia didesak melangsungkan proklamasi kemerdekaan saat Jepang sedang chaos karena serangan bom di Hirosima dan Nagasaki, dalam hal ini tuntutan keluarga Nesya sudah seperti ancaman penjajah yang akan datang lagi jika pernikahan mereka tidak segera dilangsungkan. Mereka lupa jika Belanda tetap kembali lagi bahkan setelah negara ini merdeka, yang artinya setelah menikah pun perkara jelas tidak selesai.
"Seenggaknya sabar dikit kek. Wacana kalian mau menikah ini belum ada setengah tahun loh, sedangkan biaya-biaya pernikahan dengan tabungan kalian itu baru bisa kekumpul setelah menabung dua sampai tiga tahun." Arin menekankan perihal perhitungan tidak wajar yang yang dilakukan Adam dan kekasihnya itu.
Nasi dan ayam KFC yang tadi dibeli Arin sudah habis. Ia merapikan sejenak kotak berwarna merah itu ke dalam plastik untuk dibuang, sebelum sepenuhnya menaruh perhatian pada Arin yang selalu menggebu-gebu setiap kali membahas hal ini.
"Lo gak ngerti, Rin. Lo gak tau rasanya didesak buat nikah sama orang tua, lo juga gak ngerasain ketakutan buat dilangkah sama adek sendiri, lo juga gak percaya sama mitos-mitos karena perkara dilangkahin." Adam mulai buka suara tentang segala kegelisahan Nesya tentang hubungan ini. Ia mengambil jeda sejenak, sebelum melanjutkan, "Gak salah juga punya pernikahan impian, ngelaksanain upacara-upacara adat, ngadain resepsi pada umumnya. Kalo hal-hal kayak gini menurut lo gak penting, bukan berarti semua orang harus berpikiran kayak lo."
"Iya! Gue emang gak ngerti, gue gak akan ngerti kenapa lo berdua harus pusing sama masalah-masalah yang seharusnya bisa dibikin simple. Harusnya gue gak perlu marah-marah, emang dasar lo yang bikin susah hidup sendiri sih, Dam!" Arin yang kesal saat mendengar jawaban Adam, membuat emosinya tersulut. Suaranya kini setengah berteriak. Wanita itu buru-buru meneguk gelas susunya sampai habis, berharap agar perasaannya menjadi lebih tenang.
Adam berdecak pelan, seolah mentertawakan keadaannya. "Emang harusnya dari awal gue punya tabungan, pasti gak akan sesusah ini."
"Apa yang mau ditabung sih, Dam? Emang Nesya gak tau kalo keperluan lo banyak?" Suara Arin kembali meninggi, semakin gemas untuk menyahuti ucapan Adam yang semakin tak terarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendhome
RomanceArin gak suka tinggal di apartemen, gara-gara kartu aksesnya sering hilang dan harus bayar denda setiap kali membuat laporan untuk pergantian kartu. Arin juga gak suka tinggal di kos-kosan. Sempit dan sumpek. Sebesar-besarnya kamar kos, tetap aja c...