Part 18

97.7K 9.3K 570
                                    

Arin menyambar cardigan dari dalam lemarinya, saat melihat sebuah mobil sudah berhenti di depan rumah untuk menjemputnya.

Pukul sepuluh malam, Bian baru menjemputnya. Malam ini mereka tidak memiliki agenda kencan lantaran aktivitas Bian yang sedang padat meski di akhir pekan. Sebagai gantinya, lelaki itu mengajak Arin untuk menginap di apartemennya dalam rangka mengisi waktu kebersamaan mereka.

"Eh, Dam? Lo udah balik aja." Arin menyapa Adam yang baru memarkirkan motor di halaman rumah.

Adam tak menyahut, lelaki itu hanya tersenyum pelan seraya berjalan melewati Arin untuk masuk ke dalam rumah.

Arin yang sempat melihat wajah Adam, merasa ada yang janggal dengan ekspresi sahabatnya yang seharusnya bersuka cita karena baru saja melemar sang kekasih. Namun, ekspresi Adam justru menunjukkan sebaliknya.

"Sayang?" Suara Bian membuat Arin yang hendak masuk lagi ke dalam rumahnya untuk mengekori Adam, seketika menoleh. Ia nyaris melupakan sosok Bian yang tengah menunggunya di luar.

Arin pun menghampiri Bian, dengan kepalanya yang sesekali menengok ke belakang untuk memastikan kondisi Adam.

"Kenapa, Rin?" tanya Bian.

"Ehm, itu ... Adam, sepupu aku yang itu, dia baru pulang dari ngelamar pacarnya. Tapi aneh banget, ekspresinya malah kacau gitu." Arin menjelaskan, tak lupa menegaskan bahwa Adam adalah sepupunya.

"Mungkin berantem kali, ada masalah pas mau pulang."

"Tapi dia kelihatan abis nangis, aku gak pernah liat Adam nangis, Bi."

Bian tampak bingung menyikapi Arin. "Terus?"

Arin terdiam sebentar, hingga memutuskan. "Bi, maaf yaa. Kayaknya aku gak jadi nginep di tempat kamu. Aku ... aku harus temenin Adam, aku takut dia kenapa-napa."

Bian belum menjawab, lelaki itu berusaha menimbang keputusannya.

"Sayang, please ... kalo pun aku ikut kamu, aku gak akan tenang karena kepikiran."

Bian akhirnya mengangguk saat mendengar Arin masih berusaha memohon untuk membatalkan rencana mereka.

"It's ok. Semoga dia baik-baik aja ya." Bian akhirnya mengangguk, seraya mengusap pelan puncak kepala Arin.

Arin tersenyum senang, lalu mengecup bibir Bian sekilas sebelum beranjak masuk kembali ke dalam rumah, dan secara resmi membatalkan rencananya malam ini .

Wanita itu segera berjalan cepat untuk menghampiri Adam yang berada di kamarnya. 

Adam terlihat sibuk dengan ponselnya yang mencoba untuk menghubungi seseorang. Tangannya bergerak gusar, untuk mengulangi panggilannya lagi dan lagi saat belum mendapatkan jawaban.

"Dam?" Arin bersuara dengan hati-hati, lalu melangkah memasuki kamar tersebut.

Adam mengangkat wajahnya, hingga Arin kini dapat melihat wajah lelaki itu dengan jelas. Mata Adam memerah, disertai sisa air mata yang masih terlihat jelas.

"Rin, gue pinjem hape lo dong. Nesya gue telpon kok gak bisa-bisa, ya? Gue udah coba nelpon dari tadi, tapi gak nyambung sama sekali." Suara Adam terdengar serak, dengan wajah yang kini menunjukkan ekspresi datar dan penuh penyangkalan.

Arin duduk di tempat tidur lelaki itu, seraya mengulurkan ponselnya meski ia masih bingung dengan situasi ini.

"Lo gak jadi ketemu Nesya?"

Adam menggeleng, pandangannya fokus dengan ponsel Arin yang tengah berusaha menghubungi Nesya.

"Tadi, Nesya bilang mau jalan, tapi gak dateng-dateng." Adam menyahut lagi. "Gue udah cari ke rumahnya, tapi kata orang tuanya, Nesya gak ada."

FriendhomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang