Cuaca hari ini cerah bersahaja, seolah mendukung liburan singkat Arin dan Adam yang hanya berlangsung selama dua hari. Jadwal yang sudah dibuat sepadat mungkin, satu persatu mulai dilakukan. Tadi pagi, mereka sudah puas bermain di kolam renang villa yang memiliki pemandangan luar biasa, hingga mendapatkan banyak foto estetik untuk di upload Arin ke social media.
Sementara siang hari, mereka berlanjut untuk mengunjungi beberapa pantai yang tidak banyak dikunjungi banyak orang, mengingat banyak sekali pantai tersembunyi di kawasan ini. Hanya saja, untuk pantai-pantai yang masih asri dan sepi pengunjung, rata-rata memiliki jalur yang tidak mudah untuk dijangkau untuk sampai ke bibir pantai.
Sebuah jalan terbuka di antara dua tebing tinggi di kanan kirinya, menjulur panjang dengan track menurun, yang dikira Arin jaraknya hanya beberapa puluh meter untuk sampai ke bibir pantai, rupanya masih cukup panjang dengan track yang semakin curam.
"Mana pantainya sih? Capek, Dam!" keluh Arin yang mulai frustrasi dengan jalan yang dilaluinya.
Wanita itu berjongkok karena kelelahan, karena energinya yang nyaris terkuras habis setelah berjalan sejauh ini dari tempat parkir mobil, serta diterpa teriknya sinar matahari yang tak kira-kira panasnya.
Adam yang berjalan di depan Arin pun menghentikan langkahnya.
"Kan lo yang milih pantai ini," kata Adam.
"Ya mana gue tahu, jalannya segini jauh. Gue tuh lebih suka pantai dibanding gunung, karena nggak mau tuh capek-capek lewatin jalan yang bikin kaki gue lecet-lecet gini! Kalo gini mah, gue mending staycation aja!" Arin masih terus mengeluh, disertai wajahnya yang tampak memerah karena terbakar sinar matahari, meski sudah tertutup oleh topi pantainya.
"Kaki lo lecet?" Adam seketika berjongkok, untuk melihat kaki Arin yang memakai sandal teplek.
"Enggak sih, perumpamaan aja."
Adam berdecak pelan. "Yaudah, mau istirahat dulu?"
Arin mengangguk. Sambil beristirahat di pinggir jalan, Arin mengeluarkan sesuatu sunblock dari dalam tasnya, lalu mengaplikasikannya kembali untuk kulitnya, karena enggan terbarak selagi diterpa teriknya sinar matahari siang ini.
"Lo mau pake nggak, Dam?" tanya Arin, menawarkan sunblock miliknya.
"Enggak deh."
"Tadi pas mau berangkat, udah pake?" tanya Arin lagi.
"Nggak pake sih."
"Ih, Adam! Nanti kulit lo kebakar!" Arin segera menarik tangan Adam untuk memakaikan sunblock pada kulit lelaki itu. "Lihat tuh, panas banget gini. Lo tuh udah jomblo, kalo sampe item dan dekil, bahaya tau! Kalo nggak ada yang naksir, gimana?"
Arin masih terus mengoceh sembari mengusapkan lotion tersebut di tangan Adam yang sebelah kiri, lalu beranjak ke sebelah kanan.
"Biar eksotis, Rin."
"Eksotis apaan, bule-bule yang berjemur di sini aja pasti pake sublock lah, Adam! Gak mungkin mereka cuma main panas-panasan, kayak bocah main layangan."
Adam tertawa pelan mendengar ucapan Arin.
"Ini buat muka." Arin mengeluarkan lotion lain dari tas kecilnya, yang ternyata menyimpan banyak benda.
"Sini, gue pake sendiri aja." Adam segera mengambil benda itu dari tangan Arin, sebelum Arin nekat memakaikan lotion tersebut ke wajahnya.
Adam mengembalikan sunblock tersebut pada Arin setelah memakainya.
Arin melihat wajah Adam yang tampak berwarna abu-abu karena pemakaiannya yang tak merata.
"Adam, itu celemotan. Sini, gue rapihin." Arin memajukan tubuhnya untuk mendekat, lalu meraih wajah Adam untuk merapikan sunblock yang dipakai Adam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Friendhome
RomanceArin gak suka tinggal di apartemen, gara-gara kartu aksesnya sering hilang dan harus bayar denda setiap kali membuat laporan untuk pergantian kartu. Arin juga gak suka tinggal di kos-kosan. Sempit dan sumpek. Sebesar-besarnya kamar kos, tetap aja c...