Suara mesin printer yang mengeluarkan kertas, musik yang diputar melalui komputer kerja, hingga telepon sesekali berbunyi mendominasi keadaan ruangan tersebut. Kasak-kusuk lainnya juga terdengar, dari beberapa karyawan yang sudah mengalihkan perhatiannya dari setumpuk pekerjaan saat melihat waktu makan siang yang sudah dekat.
Berdasarkan info dari ruangan sebelah, yang bisa melihat ke arah ruangan bos, katanya bos mereka sudah keluar terlebih dahulu untuk makan siang. Alhasil jam-jam segini merupakan waktu yang tepat bagi para karyawan membahas segala macam hal di luar pekerjaan sambil menunggu jam istirahat.
"Rin, makan siang bareng, gak?" tanya Raya, rekan kerja yang mejanya bersebrangan dengan Arin.
Arin yang semula terfokus pada ponselnya, seketika menoleh. "Enggak deh, kayaknya. Gue makan siang bareng temen gue."
"Arin kalo jomblo mah, jam makan siangnya sibuk. Setiap hari ada aja temennya." Wulan menimpali, mengingat status Arin saat ini yang ia ketahui dari sosial media wanita itu.
Arin tertawa pelan menanggapinya. "Ini 'kan bentuk usaha, gue gak mau ya jadi jomblo pasrah."
"Sial, gue tersindir." Intan yang duduk di sebelah Wulan kini menyahut, mendengar obrolan teman-teman satu ruangannya itu.
"Kok lo bisa sih, lepas dari satu orang, terus langsung cari lagi yang lain. Emang gak pake proses healing dulu, gitu?" Wulan yang penasaran dengan tingkah teman kerjanya, yang sudah bukan menjadi rahasia lagi, sangat mudah berganti pasangan tanpa memakan waktu yang lama tampak heran.
Raya dan Intan yang mendengar hal tersebut juga turut mengangguk, tampak menantikan jawaban Arin.
Arin berpikir sejenak, karena bingung juga saat ditanya demikian. Ia tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Namun, setelah beberapa saat akhirnya wanita itu menjawab, "Kayaknya emang proses healing gue kayak gini deh. Nih ya, pas lo selesai sama satu orang, terus deket sama yang lain lagi, jadi lupa kalo kemarin gue sedih gara-gara putus." Arin menjeda ucapannya sejenak, karena hendak membalas pesan masuk di ponselnya. Lalu ia kembali menoleh pada Wulan. "Tapi putus kali ini gue gak sedih. Kayaknya gue pacaran belom ada tiga minggu deh."
Teman-temannya menatap Arin dengan takjub dan masih tetap heran, karena sikapnya yang terlampau santai.
"Kalo kosong, maksudnya gak deket sama siapa-siapa tuh, lo gak bisa ya, Rin?" tanya Raya.
"Gak bisa, gue kesepian. Gue haus perhatian banget anaknya."
"Kan ada Adam, Rin." Raya menanggapi lagi.
Arin berdecak. Teman-teman kantornya ini memang selalu gemas melihat hubungannya dengan Adam. "Beda lah! Gue sama Adam 'kan not as romance."
"Kenapa gak jadian aja sih, Rin?"
Arin semakin mendelik sebal pada Wulan yang malah semakin membahas hal ini. "Adam 'kan punya pacar."
"Kalo Adam gak punya pacar, bakal lo pacarin, gak?"
"Enggak juga. Duh, kenapa gue harus pacaran sama Adam? Adam kan temen gue." Arin menjawab dengan nada heran. Kenapa semua orang selalu mempertanyakan hal ini? Apa salahnya bersahabat dengan lawan jenis?
"Duh, friendzone ya." Intan kembali berkomentar.
Arin semakin terheran-heran. "Friendzone apanya? Friendzone tuh kalo guenya ngarep ke Adam, tapi gak mau mengakui karena takut pertemanan rusak. Ini 'kan enggak, Anjir!" gemasnya menanggapi ucapan teman-temannya.
Intan nyengir, saat melihat Arin yang sudah gemas dengan pembahasan ini. "Iya-iya, Rin. Maaf deh, kita penasaran aja gitu. Abis liat kalian uwu banget gitu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Friendhome
RomantizmArin gak suka tinggal di apartemen, gara-gara kartu aksesnya sering hilang dan harus bayar denda setiap kali membuat laporan untuk pergantian kartu. Arin juga gak suka tinggal di kos-kosan. Sempit dan sumpek. Sebesar-besarnya kamar kos, tetap aja c...