Adam menyeruput welcome drink yang tersedia di hadapannya, lalu mendengus pelan saat melihat Arin berjalan ke arahnya dengan membawa wafel yang baru di pesan wanita itu selagi menunggu pintu cinema dibuka.
Lounge untuk gold class di bioskop ini tak terlalu ramai. Ada tiga tipe karyawan yang tidak mungkin menonton di saat-saat seperti ini. Pertama, mereka yang masih lembur kerja, karena ini masih jam tujuh malam. Kedua, mereka yang memilih memanfaatkan waktu pulang kerjanya untuk beristirahat total, karena besok masih harus pergi bekerja. Ketiga, mereka yang sisa uang gajiannya sudah menipis, mengingat saat ini bukan tanggal mendekati gajian.
Dalam kasus ini, Arin jelas bukan ketiganya. Sebab, wanita itu tampak bersemangat untuk mengajaknya nonton sepulang kerja. Lebih tepatnya, memaksa ditemani nonton lantaran tak ada teman, tak ada pacar, gebetan tidak ada yang potensial. Entah apa kabar gebetan Arin yang semalam menginap di rumah.
Adam sempat protes saat Arin menariknya memasuki lounge ini, alih-alih menuju loket yang biasa untuk membeli tiket.
"Nonton gold banget nih, Rin?" kata Adam yang tidak habis pikir, karena duras film yang hanya sembilan puluh menit. Ia biasanya memilih kelas ini jika durasi film mencapai tiga jam, agar lebih puas.
"Iya, kalo velvet nanti malah gak fokus." Arin nyengir, menyebutkan tipe auditorium yang menyediakan tempat tidur untuk menikmati film yang berlangsung.
Adam berdecak pelan, paham maksud tidak fokus yang diucapkan Arin.
"Tapi kalo lo masih pengen nonton sambil kelonan-"
"Gue gak pengen nonton sambil kelonan, Anjir!" Adam segera memotong ucapan Arin yang sudah tak tentu arah.
Arin tertawa melihat Adam yang seketika melotot saat mendengar ucapannya.
Suara pengumuman bahwa teater tempat mereka nonton sudah dibuka, membuat Arin buru-buru berdiri dengan membawa wafelnya yang masih tersisa banyak. Ia sudah menarik Adam untuk segera memasuki teater, dengan menggandeng lelaki itu seperti biasa.
"Emang lo nonton film sebelumnya, Rin?" tanya Adam saat mereka memasuki teater.
Arin menatap Adam bingung. "Emang ini film lanjutan?"
"Ini film ke tiga," jelas Adam.
"Ya ampun. Nanti ceritain ya, Dam kalo gue bingung."
Sesampainya pada seat yang cocok dengan tiketnya, mereka segera mengatur posisi sofa yang nyaman untuk mereka tempati.
Arin sudah bersembunyi di balik selimut, saat mendengarkan Adam menjelaskan jalan cerita di dua film sebelumnya, selagi layar masih menampilkan iklan sebelum film tayang.
Film serial yang mereka tonton akhirnya tayang, Arin sudah membenarkan posisinya yang semula menyamping ke arah Adam, menjadi menghadap layar. Wanita itu sudah tak lagi bertanya-tanya tentang jalan cerita film sebelumnya, karena berpotensi akan mengganggu penonton lain.
Sesekali Arin menyuapkan wafel yang masih belum habis, ternyta jalan cerita film tersebut tidak terlalu membingungkan meski Arin tidak menonton film sebelumnya.
Setengah jam pemutaran film berjalan, Arin menoleh ke samping. Ia tersenyum pelan saat melihat Adam sudah tertidur.
Sofa dengan tingkat kemiringan yang bisa diatur, sandaran kaki yang membuat pengunjung bisa mengatur posisi ternyaman seperti di tempat tidur, serta hawa sejuk yang menguar dari penyejuk ruangan, membuat Adam tak kuasa melawan rasa kantuknya.
Arin sengaja mengajak Adam untuk nonton, bukan karena ia ingin sekali menonton film, yang padahal tidak ia tonton juga film sebelumnya. Ia hanya ingin membiarkan Adam mengistirahatkan tubuhnya sejenak, sebab saat pulang kerja nanti, kemungkinan Adam akan kembali melanjutkan pekerjaannya sampai larut malam, bahkan menjelang pagi.
Arin paham, Adam sedang mengejar pekerjaannya. Namun, dikerjakan sedemikian ekstrem malah bisa membuat lelaki itu tumbang sebelum pekerjaannya selesai. Adam pasti tidak mengantisipasi hal tersebut, lantaran terlalu fokus mengejar deadline dan setumpuk pekerjaan kantornya di siang hari.
Setidaknya, Adam bisa beristirahat sejenak. Meski sesampainya di rumah nanti, lelaki itu akan kembali berkutat dengan laptopnya sampai pagi.
***
"Dam, bangun! Udah sampe."
Suara Arin menyadarkan Adam yang lagi-lagi tertidur di dalam mobil, saat perjalanan menuju rumah.
Arin menolak keras saat Adam menawarkan untuk menyetir, lantaran dinilai membahayakan. Adam baru bangun tidur, dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Sisa kantuk pasti masih tersisa. Benar saja 'kan, lelaki itu kembali tidur di dalam mobilnya sepanjang perjalanan.
"Oh, sori, Rin. Gue ketiduran lagi. Udah sampe dari tadi?" Adam mengucek matanya perlahan, untuk memperjelas penglihatannya yang masih kabur.
"Iya, udah sampe sejak dua jam yang lalu, tapi gue gak enak bangunin lo yang lagi tidur. Jadi gue nontonin lo tidur dari tadi."
"Serius?" Adam segera mengecek jam tangannya, untuk memastikan ucapan Arin.
"Ya enggak lah! Sok manis banget, kayak anak kampus baru pacaran."
Adam terkekeh pelan, mendengar penuturan Arin yang berbicara dengan lantang. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam, yang artinya ucapan Arin tadi memang tidak benar.
Arin keluar dari mobilnya, diikuti Adam. Mereka segera berjalan memasuki rumah, untuk beristirahat di kamar masing-masing.
Namun, sebelum menaiki tangga, Adam menghentikan langkahnya saat mendengar suara Arin memanggil, "Dam!"
"Ya, Rin?"
Arin menyodorkan botol kecil berisi kapsul suplemen di dalamnya. "Buat lo nih, temen kantor gue ada yang jualan suplemen gitu. Katanya buat jaga kebugaran tubuh aja, jadi kayak vitamin. Yaudah, gue beli aja karena gak enak. Tapi gue males minumnya."
Adam menatap benda tersebut untuk beberapa saat, lalu menyambutnya. Lelaki itu membaca sekilas beberapa tulisan yang ada di botol tersebut. "Okay, thank you, Rin."
Arin tersenyum lega, lalu berbalik untuk menuju kamarnya.
Sedang Adam, kini tertawa pelan sambil membawa suplemen tersebut bersamanya.
Saat perjalanan pulang tadi, Adam memang tertidur nyaris di sepanjang jalan. Namun, ia sempat menyadari saat mobil Arin berhenti di depan apotek di tengah perjalanan mereka. Ia melirik sebentar ke kursi pengemudi, yang mana Arin sudah tak berada di sana.
Hingga tak lama, ia melihat Arin keluar dari apotek sambil menenteng kantong plastik kecil. Ia pikir, Arin hanya membeli kebutuhannya. Adam tak ambil pusing, lalu melanjutkan tidurnya lagi karena rasa kantuk yang masih menyerang.
Tadi, samar-samar ia melihat sebelah tangan Arin meremat plastik apotek yang menjadi wadah untuk botol suplemen ini, sedang isinya justru diberikan pada Adam.
***
Duh, jadi pengen nyari sahabat buat nemenin nonton sambil bobo
Kalian percaya sama ini gak?
Tekan 1 untuk part selanjutnya..
Sulton Arin kalo nonton harus tetap fancy
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendhome
RomanceArin gak suka tinggal di apartemen, gara-gara kartu aksesnya sering hilang dan harus bayar denda setiap kali membuat laporan untuk pergantian kartu. Arin juga gak suka tinggal di kos-kosan. Sempit dan sumpek. Sebesar-besarnya kamar kos, tetap aja c...