Terlihat seorang gadis cantik yang tengah duduk menunggu seseorang. Gadis dengan balutan t-sirt merah muda disambung dengan celana putih, membuat gadis itu terlihat sangat cantik dan feminim. rambut yang sengaja diurai mestinya membuat wajah gadis itu terlihat lebih manis, bukan murung seperti sekarang.
Dihadapannya sudah ada Frappucino Grean Tea yang sudah habis setengahnya. Sementara pemuda yang sedang ditunggunya tak kunjung datang. Alsha kembali melirik alroji yang melingkar di lengan kirinya. Lima belas menit sudah Alsha menunggu, dan keberadaan Najendra juga tidak terdeteksi, mungkin masih ada urusan di sekolahnya, fikir Alsha.
Tak lama setelah itu, Alsha melihat pintu cafe yang terbuka, menghasilkan suara dentingan, dilihatnya Galen dan Najendra yang memasuki cafe secara bersamaan. Galen terlihat mencari Alsha, dan ketika pandangan mereka bertemu, Alsha hanya diam, menunggu Galen datang. Tidak ada senyum sapa hangat yang biasa gadis itu lakukan. Sementara Najendra, cowok itu yang merasa tidak punya masalah dengan Alsha, segera melambai tangan, sebelum memasuki area barista untuk sekedar memakai apron.
Galen terlihat tanpa ekspresi, wajahnya terkesan datar. Seragam sekolahnya sudah dilepas, dia hanya mengenakan kaos putih dan ransel hitamnya yang masih setia berada di pundaknya itu.
Alsha melihat cowok yang kini menarik kursi di hadapannya itu dengan seksama. Hubungan baik yang terjalin selama hampir tiga tahun itu apa akan benar-benar kandas? Rasanya seperti ada sayatan yang melukai hati gadis cantik itu. Galen sudah duduk, meletakkan ranselnya di atas meja. Gerakan Galen tersebut berhasil membuat aroma parfumnya terhirup oleh Alsha. Aroma yang bisa Alsha kenali tanpa harus melihat siapa yang datang.
“Udah lama?” tanya Galen seraya merapikan sebagian rambut bagian depannya dengan menggunakan jemari tangannya. “Maaf telat, ada urusan.”
Urusan. Hal itu yang sepertinya akan menjadi dinding pembatas pertama diantara mereka berdua. Pasalnya, selama tiga tahun, apapun urusannya Galen akan menceritakan secara detail. Tidak seperti sekarang.
“Mau ngomongin apa?” tanya Alsha singkat. Gadis cantik itu tidak ingin berlama-lama berada di hadapan pemuda yang kini sudah berstatus sebagai mantannya itu. tidak baik untuk hatinya.
“Aku gak mau putus sama kamu, Sha.”
Alsha mengerutkan dahi. Tidak salah dengar?
“Dita juga nggak keberatan kalau aku masih menjalin hubungan sama kamu.”
“Nggak, Galen.” Alsha menarik nafas. “Gue yang keberatan.”
“Plis,Sha, ngertiin posisi aku.” Galen kini menangkub tangan Alsha yang terletak di atas meja. “Cuma cara ini yang bisa bikin mama papa aku nggak kecewa lagi sama aku. Aku yang selalu berada di posisi nomor dua di sekolah, gak pernah menyandang sebagai juara umum, hal itu yang bikin aku selalu terbelakang dibanding dengan kakak-kakakku.”
Alsha masih bersedia mendengar.
“Bisnis papa yang sekarang lagi pailit membuat papa berbagi saham dengan papanya Dita. Dan entah kenapa mereka berdua selalu meyarankan supaya aku sama Dita punya hubungan yang baik, yang bisa membawa bisnis mereka berdua menjadi lebih pesat.”
Drama banget!
Alsha berdeham, kemudian menarik tangannya yang sedari tadi di genggam oleh Galen. “Aku kira kamu adalah laki-laki yang bisa berdiri di atas kaki sendiri. Ternyata enggak.”
“Sha, nggak gitu...”
“Len, udah ya? Aku nggak mau denger kamu ngomong hal-hal yang lebih gila lagi.”
“Tapi Sha...”
“Len, nggak semua solusi yang kamu kasih bisa jadi jalan keluar. Nggak semua pengakuan bisa bertanggung jawab sama apa yang diakunya. Dita mungkin bilang sanggup untuk hal itu, tentang kamu yang masih sama aku, tapi aku enggak.” Alsha menyeruput minumannya sebelum meneruskan kembali pembicaraan. “Aku nggak yakin Dita bener-bener bilang itu dalam keadaan yang baik-baik aja.”
“Sha, plis...”
“Mungkin udah waktunya juga cerita tentang aku dan kamu menemukan titik selesai.”
“Nggak, Sha. Aku nggak akan sebahagia sama kamu.”
Alsha tertawa hambar. “Jahat nggak kalau aku emang berharap kaya gitu?”
Galen kini menggeleng pelan. Kemudian menunduk. Menjambak rambutnya sendiri.
Alsha kini memasukkan ponselnya ke dalam sling bag miliknya, lalu beranjak. “Udah ya, aku mau pulang.”
“Sha..” Galen mencekal tangan Alsha.
“Ssshh. Sakit, Len.” Alsha berusaha menepis lengan Galen. “Selamat menempuh perjalanan baru ya, Len. Dan diantara aku, kamu akan kembali menjadi dua orang asing.”
Alsha keluar, meninggalkan Galen. Langkah kakinya kini tak sekuat biasanya, dampak berbincang dengan Galen membuat keseimbangan dirinya hampir limbung, dengan cepat Alsha memegangi sebuah pagar yang berada di depan cafe.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya seseoarang yang kini memegang pundak Alsha. “Sha?”
Alsha menoleh, dan mendapati Najendra yang masih mengenakan apron itu menopang dirinya. Alsha kini mencengkram lengan Najendra. “Gue nggak apa-apa.” Alsha berusaha untuk berdiri tegak. Namun kini Alsha kembali limbung dan memilih untuk berjongkok. Menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Dan mulai terisak.
Najendra yang kini ikut berjongkok kemudian mengusap-usap lembut punggung Alsha. Kali kedua baginya melihat gadis cantik itu menangis. Dan tolong untuk kali ini, izinkan Najendra untuk menjadi orang yang menenangkan gadis rapuh ini. gadis yang sudah berhari-hari selalu bersarang di fikirannya. Gadis yang berhasil membuat degup jantungnya berantakan setiap di dekatnya. Ketika getaran di hatinya semakin kuat, ada rasa tidak rela melihat Alsha yang kini bersedih.
Najendra memberikan waktu pada Alsha untuk menumpahkan semuanya. Kemudian Najendra melepas apronnya, membentangkan di udara, menghalangi sinar matahari yang menyorot pada Alsha. Agar gadis cantik itu bisa menangis dengan nyaman. Paling tidak, jika tidak bisa meminjamkan pundak, maka Najendra akan membuat segala suasananya menjadi nyaman untuk Alsha.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kode Etik Pertemanan [HAECHAN] || TAMAT ✔️
Ficção AdolescenteIni tentang Alsha dan Azril yang ternyata sama-sama berada di satu lingkaran. 360 derajat itu sempit, nggak bisa kemana-mana, dan membosankan. kata Alsha, Azril itu sok ganteng tapi emang ganteng, dia juga bersinar, bahkan kayanya matahari aja mind...