43 - TWIO6C

39 7 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Alsha merentangkan kedua tangannya. Tiga jam sudah gadis cantik itu bergelut dengan revisian proposal skripsinya. Suasana malam ini sungguh tenang, aroma bunga lili yang berasal dari lilin berkolaborasi dengan wangi petrikor benar-benar membuat konsentrasi Alsha sangat baik.

Setelah menyimpan lembar kerjanya, Alsha baru sempat memegang ponsel. Dilihatnya kembali nomor baru Azril. Sempat ragu ketika ingin menghubungi kekasihnya. Namun ketidak jelasan hubungan ini harus segera diperjelas.

Perlahan Alsha menempelkan ponsel di indera, tanpa sadar Alsha menggigit bibir bawahnya, menanti dengan cemas suara seseorang di seberang sana.

"Halo? Sha?"

Suara itu akhirnya kembali Alsha dengar, suara yang sudah sangat ia rindukan. "Zril? Kamu... apa kabar?"

"Aku sehat, Sha. Kamu dapat nomor aku dari siapa, Sha? Maaf aku belum ngabarin."

"Gapapa. Semuanya lancar, kan?"

"Sha... aku ragu mau cerita ini apa engga, tapi rasanya di sini semakin sulit."

"Kenapa memangnya, Zril?"

"Aku ngulang banyak mata kuliah, Sha. Standar lulus setiap matkul tinggi banget. Aku gatau bakal lulus tepat waktu atau engga."

"Terus kenapa kamu menghindar dari aku, Zril? Aku ada salah sama kamu?" tanya Alsha dengan suara yang serak.

"Nggak gitu, Sha. Aku cuma merasa gagal karena gak bisa menjalani hari dengan baik. aku kemarin stres banget." Terdengar suara hembusan nafas berat.

"Zril, kamu nggak lupa, kan, kalau di sini aku selalu dukung kamu, doian kamu," ungkap Alsha meyakinkan.

"Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki kaya aku, Sha? Untuk urus diri sendiri aja kayaknya aku belum mampu."

Alsha diam. Tidak ingin menanggapi ucapan Azril, karena gadis itu tahu, bahwa saat ini Azril hanya butuh untuk didengarkan. Dan saat inilah Alsha melakukan perannya sebagai pasangan yang baik.

"Waktu yang bisa aku janjikan ke kamu tinggal dua tahun lagi. Sedangkan saat ini, semuanya bener-bener berantakan, Sha. Gak ada yang sesuai sama rencana awal."

"Aku pasti nunggu kamu, Zril. Dua, tiga, atau bahkan lima tahun lagi pun aku sanggup."

"Enggak, Sha. Aku gak mungkin seegois itu sama kamu."

Ucapan Azril berhasil membuat tenggorokan Alsha tercekat. "Ma-maksud kamu?"

"Aku.. aku mau melepas kamu, Sha. Kamu pantas dapat laki-laki yang lebih baik dari aku."

"Zril... Kamu bercanda?" Dada Alsha sudah sangat sesak, kepalanya mendadak pening, dunia seolah berputar-putar.

"Maaf, Sha. Mungkin ini terkesan jahat, tapi aku bakal lebih jahat lagi kalau aku tetap memaksa kamu untuk tetap tinggal. Kamu pernah bilang sama aku, kalau kamu akan selalu dukung semua keputusan aku, kan?"

Alsha menggeleng. "Tapi bukan keputusan kaya gini, Zril. Aku gak mau..." Alsha membungkam tangisnya dengan telapak tangan. Rasanya bibirnya membisu, tak mampu lagi untuk menyampaikan kata-kata yang padahal sudah ada di kepalanya.

Rasanya tak rela jika semua kisah dan cerita yang telah mereka lewati bersama akan menjadi kenangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasanya tak rela jika semua kisah dan cerita yang telah mereka lewati bersama akan menjadi kenangan. Pengorbanan selama tiga tahun lamanya berada di dalam hubungan jarak jauh pun tidak mudah, dan apakah ini waktunya untuk menutup semua lembaran cerita?

"Sha, dengerin aku, kalau kita gak bisa jadi pasangan yang saling melengkapi, tapi kita masih bisa jadi teman yang selalu mendukung."

Alsha menarik nafas, tangannya sudah memegangi dadanya yang sesak. "Tapi kamu udah jadi satu-satunya mimpi aku di masa depan, Zril. Kamu lupa sama janji kamu? Aku harus apa supaya kamu percaya kalau kita bisa lewatin ini bareng-bareng?"

"Enggak, Sha. Aku gak mungkin menyeret kamu dalam kegagalan hidup aku. Kita selesai, ya, Sha. Cukup sampai sini. Makasih buat semuanya ya, Sha." Akhirnya kata 'selesai' pun terucap dari bibir Azril.

Tangis Alsha pecah tak terkendali. "Jadi aku harus kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya?" lirihnya dengan sesak yang terasa.

"Ini yang terakhir, Sha, karena mulai besok, udah gak ada lagi tentang kita. Maaf karena aku udah gagal untuk jadi salah satu di mimpi kamu di masa depan."

Detik itu juga telinga Alsha benar-benar berdenging, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Ja-jadi kita bener-bener putus?" ulangnya.

"Iya... Mulai sekarang kita bisa fokus di jalan hidup masing-masing. Jaga diri, ya, Sha. Temuin laki-laki yang baik, yang nggak kaya aku, yang bisa bikin kamu bahagia, bukan bikin nangis kaya gini. Semoga kamu bahagia ya, Sha. Aku tutup ya, Sha..."

Akhirnya sambungan telepon terputus secara sepihak, lutut Alsha lemas, akhirnya gadis itu terjatuh, bersimpuh di atas lantai, menangis sejadi-jadinya, mengerang kesakitan, karena rasanya sangat sesak, tangannya meremas bagian kerah baju, dan air matanya semakin tumpah.

Pintu kamar terbuka, menghadirkan sosok Mama yang berlari ke arahnya. Memeluk Alsha. "Sha, kenapa, sayang?"

Seolah menemukan muara kesedihannya, Alsha memeluk Mama dengan erat, menumpahkan semuanya dalam pelukan hangat Mama. Bahunya berguncang hebat. "Ma... Azril jahat sama Alsha, Ma..."

Mama kini membelai lembut rambut panjang puteri bungsunya. "Sha..."

"Alsha benci sama Azril, Ma...." Alsha masih terus menangis. "Alsha salah apa sama dia, Ma?"

"Sha, denger Mama, sayang." Mama kini mengulurkan kedua tangannya untuk mengusap air mata yang mengalir di pipi kanan dan kiri Alasha. "Alsha anak baik, Alsha gak salah apa-apa. Alsha pasti bisa dapet laki-laki yang lebih baik dari Azril. Percaya sama mama, ya, sayang?"

Alsha semakin menangis ketika mendengar ucapan tulus dari ibunya, mambuat Mama akhirnya kembali membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. Dan saat itu juga Mama tidak bisa menahan dobrakan air matanya. "Yang kuat, ya, Sha. Ada mama sama abang yang nggak akan pernah ninggalin kamu. Anak Mama pasti bisa lalui ini semua. Mama percaya sama Alsha kalau Alsha itu anak yang kuat."

Alsha mengangguk dalam pelukan Mama. Lalu menarik diri, menepis air matanya. "Makasih ya, Ma," lirihnya dengan susah payah karena detik itu juga air matanya kembali turun membasahi pipinya yang sudah kemerahan.

.
.
.
.

"Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki kaya aku, Sha? Untuk urus diri sendiri aja kayaknya aku belum mampu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki kaya aku, Sha? Untuk urus diri sendiri aja kayaknya aku belum mampu." .
.
.
.

Kode Etik Pertemanan [HAECHAN] || TAMAT ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang