Alsha baru saja membuka matanya, lalu mengumpulkan tenaga untuk memulai hari seninnya yang ia harap akan baik-baik saja. Entah apa yang dirasa oleh gadis itu, namun kepalanya masih berputar-putar. Padahal kemarin, hari minggunya ia habiskan di atas kasur, karena selama malam minggu, mereka berempat terjaga sampai pagi. Bahkan, hari ini Alsha menolak ajakan Galen untuk sekedar membeli list bulanan bukunya.
“Sha! Udah bangun?” Suara Mama menyeru dari luar.
Alsha menurunkan kakinya dari kasur. “Udah, Ma.”
Mama membuka pintu kamar Alsha yang memang tidak pernah dikunci. “Yaampun masih belum mandi?” geram Mama yang kini berjalan mendekati jendela lalu menyibakkan tirai. “Hari ini ada bimbingan konseling ya, Sha?”
Alsha mengrenyit. Lalu mengangguk. “Ma? Aku....”
“Kenapa? Kamu udah tau mau jadi apa, kan? Mau masuk jurusan apa nanti?”
Alsha meraih pita rambutnya, lalu menguncir rambutnya. “Kalau aku lintas jurusan boleh nggak, Ma?”
Mama mendekat, ikut duduk di samping Alsha. “Gimana, gimana?”
“Iya, aku pengen masuk jurusan ilmu komunikasi. Boleh nggak, Ma?”
Mama terlihat menghela nafas. “Nanti kita bicarakan sama Om Bima, ya?”
Alsha hanya mengangguk. Om Bima adalah adik Mama yang kini menjabat sebagai dosen di salah satu universitas negeri di Bandung. Om Bima adalah kiblat Mama untuk menguliahkan anak-anaknya. Seperti dua tahun yang lalu, Bang Angga yang akhirnya masuk jurusan teknik informatika karena arahan dari Om Bima.
Padahal dulu Bang Angga sangat ingin masuk jurusan Radiologi Medis, namun mengingat nilai biologinya yang tidak terlalu bagus, maka Om Bima menyarankan memasuki fakultas teknik, mengandalkan nilai matematika dan fisikanya yang terbilang excellent ditambah beberapa sertifikat kejuaraan olimpiadenya.
“Nanti kita sesuaikan sama nilai-nilai kamu ya, Sha?”
Ingin rasanya Alsha meringsut lagi, karena selama tiga tahun rasanya Alsha tidak memiliki ketertarikan dengan rumpun ilmu alam. “Ma, aku mau mandi.”
Mama mengangguk. “Yaudah nanti sarapan dulu sebelum berangkat,” titah Mama.
***
Alsha berjalan gontai membelah koridor yang masih sepi. “Jam berapa sih kok masih sepi banget,” keluh Alsha seraya melirik alroji biru yang melingkar di lengan kirinya yang indah. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh.
Keputusannya untuk datang dari awal memang berhasil. Boleh tidak jika untuk sementara waktu Alsha memilih untuk menghindari Azril? Karena, jika dekat dengan cowok itu, jantung Alsha berantakan, sulit bernafas dan tidak tahu harus berbuat apa.
Alsha menghembuskan nafasnya, lalu langkah kakinya berbelok. Melewati tangga yang mengarah ke kelasnya begitu saja. Saat ini tujuanya adalah mengunjungi perpustakaan. Sebuah tempat yang selama ini sangat ia hindari. Ya, mau bagaimana lagi, jika ingin lintas jurusan bukankah ia juga harus siap dengan konsekuensinya? Mengejar ketertinggalan materi-materi rumpun sosial selama tiga tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kode Etik Pertemanan [HAECHAN] || TAMAT ✔️
Teen FictionIni tentang Alsha dan Azril yang ternyata sama-sama berada di satu lingkaran. 360 derajat itu sempit, nggak bisa kemana-mana, dan membosankan. kata Alsha, Azril itu sok ganteng tapi emang ganteng, dia juga bersinar, bahkan kayanya matahari aja mind...