42 - TWIO6C

34 7 0
                                    

Setelah pertemuannya dengan Galen, Alsha kini menapaki trotoar menuju rumahnya. Angin sore berhembus, membuat daun-daun kering di jalanan bergeser, bergesekan dengan aspal. Alsha berjalan dalam diam, memikirkan bagaimana bisa dirinya tidak tahu mengenai nomor baru kekasihnya. Jadi, sebenarnya dirinya ini siapa?

           Suara klakson motor membuat Alsha menoleh, dilihatnya Najendra dengan motor scoopy merahnya, tersenyum manis. “Saya cari ke kampus. Taunya di sini.”

           Alsha tersenyum. “Udah pulang.”

           “Naik, yuk?”

           Alsha menggeleng, “Gak usah, udah deket, Na.”

           “Kamu capek, Sha?” tanya Najendra ketika melihat tatapan layu dari mata Alsha.

           “Mungkin?” Alsha menaikkan alisnya, merasa tak yakin dengan jawabannya sendiri. “Tapi kalau kamu mau ajak jalan-jalan sore, aku mau.”

           Najendra tertawa ringan. Lalu cowok itu menepuk-nepuk jok belakangnya. “Ayo.”

           Alsha menaiki motor Najendra. Menikmati angin sore yang menerpa kulit wajahnya. Matanya terpejam. Berusaha untuk melepas semua pertanyaan dan perasangka buruk yang berputar-putar di kepalanya.

           Najendra tidak bertanya, tidak pula bersuara. Cowok itu hanya sesekali melirik pada Alsha melalui kaca spion. Senyum manis itu memang hadir di wajah cantik Alsha, namun rasanya berbeda. Senyum yang hanya sekedar senyum, tidak ada binar kebahagiaan di manik mata Alsha. Dan itu artinya, Alsha sedang tidak dalam kondisi baik, walau sekeras apapun gadis cantik itu menutupinya, Najendra akan selalu tahu.

           Bukankah kita akan selalu mencari tahu dan sadar dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan seseorang yang kita sukai?

           Setengah jam berlalu, kini Najendra merasakan helm nya beradu dengan helm Alsha, berulang kali. “Sha? Kamu tidur?”

           Tidak ada jawaban.

           Najendra menggoyangkan lutut Alsha. “Sha? Jangan tidur di motor. Bahaya.”

           Alsha berguman. “Mmm.. apa?”

           “Aku antar kamu pulang, ya?”

           Alsha mengangguk, menyetujui.

           Akhirnya Najendra membawa Alsha pulang, ketika sudah sampai rumah Alsha, Najendra melepaskan kancing helm yang berada di bawah dagu Alsha. “Kalau capek itu tidur, bukan minta jalan-jalan, Sha.”

           Alsha tidak menjawab, karena fikirannya masih tertuju pada Azril.

           “Sha?” Najendra mengibaskan tangannya di hadapan wajah Alsha. “Halo?” sapanya lagi.

           Alsha mengerjap. “Na, aku rasa...” Alsha menggantungkan kalimatnya, ragu, apakah hal ini perlu dibicarakan dengan Najendra atau tidak.

           “Kenapa, Sha? Ada yang perlu dikeluarin dari sini?” tanya Najendra seraya menunjuk kepala Alsha.

           Alsha mengangguk, “Azril kayaknya ngejauh dari aku, Na. Aku gatau aku salah apa sama dia.” Mata Alsha mulai berkaca-kaca. “Sebulan aku nungguin, nomor dia gak aktif, aku tanya ke bundanya juga gak pernah di bales, aku bingung harus gimana, aku kangen sama dia.”

           Najendra menunduk, masih setia mendengarnya, walau tak bisa dipungkiri hatinya ikut sakit ketika mengetahui ada seseorang yang menyakiti hati Alsha. Padahal, perasaan Alsha sama sekali bukan tanggung jawabnya.

           “Aku harus apa, Na?” tanya Alsha hampir putus asa. 

           Perlahan Najendra menghembuskan nafasnya. “Udah punya nomor barunya belum?”

           “Udah. Dari Galen, dan kamu tau Galen dapat dari siapa?” Alsha memejamkan matanya sejenak yang terasa perih. “Dari Hana.”

           Seketika Najendra melihat kekhawatiran yang berkecamuk dalam diri Alsha.

           “Aku takut, Na. Aku takut mereka deket lagi, aku takut pelan-pelan Azril ternyata menjauh dari aku karena dia udah nggak nyaman sama aku. Aku takut dia bosen sama aku. Aku takut—”

           “Sha... Udah, ya. Ketakutan-ketakutan itu nggak mungkin terjadi. Sekarang kamu istirahat. Tidur jam berapa semalem?” Najendra merapikan sedikit rambut Alsha yang berantakan akibat tertiup angin.

           “Jam empat,” jawab Alsha.

           Najendra tersenyum. “Sekarang kamu mandi, makan terus istirahat. Abis itu baru kamu coba telepon dia, tanya baik-baik kenapa dia kaya gini sama kamu. Jangan marah-marah, ya?”

           Alsha mengangguk, lalu tangannya merogoh tas nya. Mengeluarkan satu kotak benda dan menyerahkannya pada Najendra. “Buat kamu. Balasan karena udah kirim roti bakar tadi malam.”

           Najendra menerimanya dan memutar-mutar kotak itu. “Ini apa, Sha?”

“Itu lilin aroma, akhir-akhir ini aku suka pakai itu. cukup membantu untuk cepat tidur.”

           Najendra mengangkat tangannya, lalu mengacak lembut puncak kepala Alsha. “Makasih ya, Sha. Lilinnya bakal berguna banget.”

           “Makasih juga ya, Na. Kamu gak pernah cape dengar semua keluhan aku.” Alsha tersenyum. “Jangan bosen jadi temen aku ya, Na?”

           Najendra terkekeh. “Iya, Sha. Aku selalu ada, kok. Gak kemana-mana. Nemenin kamu, kemanapun kamu mau.”

.
.
.

"Aku gak kemana-mana, temani kamu, kemana pun kamu mau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku gak kemana-mana, temani kamu, kemana pun kamu mau."

.
.
.
.

Kode Etik Pertemanan [HAECHAN] || TAMAT ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang