Apa yang Ataya harapkan. Gadis itu pikir, Valiant Si Dosen rese akan mengejar dirinya. Namun, nyatanya tidak. Ataya tertawa sumbang. Dia mengangguk-angguk paham. Mengapa dia selalu melupakan satu hal? Bahwa, Valiant hanya mempermainkan dirinya.
"Pertama, derajat gue dan Pak Valiant itu bagaikan langit dan bumi," katanya berbicara pada diri sendiri.
"Kedua, wajah kita nggak ada kecocokan. Takut nanti dikira pembantu dibandingkan istri— eh, jauh banget istri." Ataya tertawa sambil memukul pelan kepalanya. Dasar bodoh.
Selama perjalanan pulang, Ataya tak menyadari seseorang yang sedang mengikuti dirinya dari belakang. Ocehannya yang keras bahkan terdengar oleh orang itu.
"Kalau gue cantik, pasti banyak yang kecantol."
"Contohnya, Sisi sama Si Biduan Dangdut. Banyak cowok-cowok yang kejar mereka. Beda sama gue. Jangankan dikejar-kejar, lirik aja ogah!"
"Sisi dulu gendut. Tapi, emang ada benih-benih cantiknya. Kalau gue? Kagak ada! Padahal, mama papa termasuk orang berwajah cantik dan tampan."
"Atau gue anak pungut? Dipungut di selokan, makanya muka gue kaya air comberan?!" pikirnya panik sendiri.
Melihat kelakuan Ataya yang seperti pengidap bipolar, membuat orang yang berlalu lalang di jalan menjadi ketakutan. Pasalnya, perubahan mood Ataya benar-benar cepat. Kadang tertawa, murung, lalu tersenyum sinis bak psikopat.
Beberapa menit berlalu, Ataya akhirnya sampai ke tempat tujuan. Kosnya yang nyaman dan minimalis. Tau kandang kambing? Yah, kandang kambing lebih bagus dari kos Ataya.
Tanpa menaruh rasa curiga, Ataya melangkah masuk ke dalam kosnya. Dia merasa sangat lelah, sekujur tubuhnya menjadi lengket dan bau. Akhirnya, gadis dekil itu memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dulu.
Dari lain sisi. Seseorang tengah mengamati bangunan yang tidak pantas disebut bangunan baginya. Terlalu kumuh.
"Jadi disini Ataya tinggal?" tanyanya.
Pria berbadan tegap dengan sorotan mata tajam. Satu tangannya masuk ke dalam saku. Terlihat sangat kokoh untuk tumbangkan dengan mudah.
Valiant.
"Yes! Dapat juga alamatnya," pekik Valiant tanpa sadar. Aura kejam yang mengeluarkan asap hitam seketika lenyap.
Kembali lagi pada Ataya. Gadis itu baru saja menyelesaikan ritual mandinya. Dengan badan segar, Ataya melangkah menuju cermin panjang yang terpajang di kamar. Melihat pantulan dirinya dan mulai mencari cela untuk melihat kecantikannya.
"Lumayan juga. Gue nggak buruk-buruk amat, perasaan."
Memang Ataya tidak putih, tidak hitam, dia biasa saja. Bisa dikatakan kuning Langsat. Bagusnya lagi, tubuh Ataya terawat walau jarang dirawat dengan benar. Heran 'kan? Ataya juga tidak tau, tapi nyamuk atau serangga lain takut mendekat padanya. Masalahnya benar-benar ada pada bagian wajah. Wajah Ataya seperti anak remaja kena pubertas. Jerawatnya lumayan banyak, serta berminyak.
"Mau mulus, modal kurang lancar." Beberapa hari lalu, Ataya melihat peralatan kecantikan disalah satu toko kosmetik. Setelah masuk dan melihat-lihat, Ataya memutuskan tidak akan kembali lagi. Harganya terlalu mahal untuknya. Bayangkan saja, 300K satu paket. 300K bisa menghidupi cacing-cacing yang ada diperutnya.
Tok... tok... tok...
Asik bergumam sendiri. Tiba-tiba saja, ada yang mengetuk pintu kosnya. Ataya melirik jam dinding. Sudah malam, Ataya tak bisa menerima tamu di malam hari kecuali Tante Jubaedah.
Tante Jubaedah, rumahnya bersebrangan dengan kos Ataya. Hampir setiap menjelang makan malam, Tante Jubaedah membawakan Ataya makanan. Baik bukan?
Tanpa memperdulikan penampilan yang terbilang kacau. Hotpants, tanktop dan rambut dicepol ke atas. Ataya keluar membukan pintu untuk Sang Tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBEL KAMPUS (END)
RomanceHanya kisah absurd dari anak yatim piatu angkatan 2015, yang selalu terkena kesialan dalam hidupnya. ®Dont Copy My Story'