Pemenang Hati

3.3K 532 16
                                    

Valiant tertawa terbahak-bahak, air matanya sampai keluar dan rasa dia ingin pipis di celana. Ataya terlalu mendalami perannya, itu lucu bahkan sangat lucu di mata Valiant.

"Ciee.. panggil, Mama," goda Valiant.

Akibat godaan Valiant, pipi Ataya langsung memerah. Ataya rasanya ingin mengigit kuku jari kakinya saja.

"Apaan woy! orang saya ngadu sama mama saya di surga," bantah Ataya tidak membenarkan.

"Mama.. kamu.. dimana?" Sepertinya mama Valiant ingin mengenal lebih jauh lagi soal calon menantunya itu.

"Mama sama Ayah saya udah di surga Tante. Udah lama," jawab Ataya tetap ceria seperti biasa.

"Kamu mirip dengan teman saya.." ucap mama Valiant.

Mendengar itu, Valiant dan Ataya sama-sama terdiam. Disisi lain, Ataya tidak tau maksud perkataan Mama Valiant, sedangkan Valiant, mengerti maksud perkataan mamanya itu.

"Waduh, sial banget dong kalau mirip sama saya. Padahal, ya Tante.. nggak ada yang mau di mirip-mirip sama saya yang sejenis monyet," canda Ataya di selingi tawa canggungnya.

"Dia cantik.. kamu juga cantik.." jujur Mama Valiant.

Dua kali Ataya di puji cantik, itu tandanya dia memang cantik jika di lihat dari sisi pandang orang tidak waras.

"Ah, Tante.. Ataya malu," ucap Ataya malu-malu.

"Malu-malu monyet segala," sindir Valiant dan langsung dapat cubitan kecil di pahanya.

"Aww sakit!"

***

Hari itu Valiant dan Ataya menghabiskan waktu bersama di rumah sakit jiwa, tempat tidak elit memang, tapi di sana Ataya belajar banyak.

Ataya bertemu dengan pasien yang mengalami gangguan jiwa akibat masalah hidupnya. Salah satunya, seorang gadis berumur 17 Tahun.

Saat Valiant membantu mamanya agar bisa terlelap dengan tenang, Ataya memilih jalan-jalan sebentar dan di situlah mereka bertemu.

Ataya melihat gadis itu duduk diam di sebuah taman, tatapan kosong dan dendam. Di sampingnya, terdapat lilin aroma terapi.

"Hay.."

Entah dorongan darimana, Ataya menghampiri gadis itu dan menyapanya.

"Boleh duduk? Gue duduk, ya?"

Tanpa menunggu jawaban, Ataya duduk di samping gadis itu. Kursi putih panjang sedikit membagi jarak di antara mereka. Di antara semua pasien, hanya gadis itu yang bajunya bersih dan tampangnya meyakinkan.

"Lilin aroma lavender? Gue pintar buat lilin kaya gitu, lo mau gue buatin?" tawar Ataya.

Tatapan gadis itu yang awalnya menatap lurus kini menatap ke arah Ataya, tatapannya sayu penuh dendam.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kenapa apa? Lo mau nggak gue buatin, nanti gue kasih deh," tawar Ataya lagi berharap gadis itu mau.

"Semua orang benci aku.." lirihnya dengan tatapan semakin penuh kebencian.

"Mana ada? Orang tua lo masa benci juga?" Ataya tidak sadar apa yang baru saja dia katakan memancing amarah gadis itu.

"Pergi! Pergi! Kalian semua jahat," teriaknya histeris sampai membuang lilin aroma itu ke tanah.

"Wisss, ngamuk. Mampus ni, gue buat masalah.. bisa di masukin juga ke ruangan sakit jiwa, nih!"

Buru-buru Ataya meninggalkan gadis itu, tetapi sialnya dia menabrak salah satu dokter di sana.

"Jangan, Bu. Saya nggak bersalah. Jangan masukin saya ke ruangan sakit jiwa!" mohon Ataya mendramatisir, padahal dokter itu hanya menatap Ataya bingung.

GEMBEL KAMPUS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang