Suara langkah kaki mendekat dari arah belakang, saat Ataya membalikkan tubuhnya dan mematung ditempat. Pemilik langkah kaki lebar itu adalah Valiant, pria itu nampak tersenyum licik.
"Kalian menganggu kesenangan saya," katanya amat menakutkan.
Kaki Ataya bergetar, dia yang awalnya takut akan ketinggian kini berganti menjadi takut ketahuan. Takut tadi Valiant melihatnya pipis atau tidak?
"Kami nggak tau, Pak." Karena semua diam, terpaksa Sisi menjawab dengan berani. Padahal, gadis montok itu berusaha memberi kode pada dua temannya yang masih mematung.
"Tapi, saya nggak terima alasan loh." Sepertinya aroma-aroma hukuman menangi mereka.
Valiant kini berdiri di belakang Ataya, sangat dekat hingga dada bidangnya bersentuhan dengan punggung calon istrinya.
Pria itu memegang punggung Ataya, memaksanya agar berbalik badan. "Kamu kenapa pucat?" tanyanya saat melihat wajah Ataya yang memucat.
"Ah, mana?" jawab Ataya gugup. Dia sama sekali tak berani menatap Valiant.
"Kamu takut atau malu?" tanya Valiant lagi yang makin memancing rasa getaran ditubuh Ataya.
Ataya melirik Sisi dan Jack secara bergantian, Sisi masih setia menatap mereka, Jack juga masih menjadi pengapdi terik matahari. Sebuah kalimat tolong ingin terucap, namun tertahan di tenggorokan yang kering.
Menyadari arah tatapan Ataya, sebab calon istrinya itu tak mau menatapnya, Valiant terpaksa menggunakan cara lain.
"Jack?" panggil Valiant dengan nada lembut.
"Iya, Pak." Jamal alias Jack menjawab, tetapi kepalanya tak menengok sama sekali.
"Hukuman kamu selesai, kamu bisa pergi sekarang." Semudah itu Valiant memberhentikan hukumannya. Ada yang aneh. "Jangan lupa, bawa pacar kamu," lanjutnya sambil melirik sekilas ke arah Sisi.
Merasa aman, Jack kini melepas ketegangannya. Dia berbalik badan menghadap orang-orang di sana. Wajah cowok itu memerah karena terik matahari yang menyengat.
"Beneran nih, Pak?" tanya Jack memastikan. Lalu di jawab anggukan oleh Valiant.
"Ah, aneh. Pak Valiant pasti minta imbalan?" Jack masih belum yakin.
Mengenai imbalan, Valiant memang akan memintanya. "Tadi, saya memang mau minta. Tapi, sebelum minta pun, saya sudah dapat." Valiant menarik pinggang Ataya dengan posesif, hingga tubuh mereka saling berdempetan.
Jack paham dan mengangguk. "Maaf, ya Ataya... Gue jadiin lo tumbal," katanya sebelum berlari kecil bersama Sisi.
Selepas kepergian dua insan aneh itu. Kini tinggal insan yang tak guna. Mereka berdua masih saling adu pandangan ala film bolywood.
"Pak..." Ataya mencoba melepaskan dirinya.
"Panggil apa?" ulang Valiant. Rasanya sangat gemas saat Ataya memanggilnya dengan sebutan 'Pak', Padahal mereka sedang berdua sekarang.
"Valiant. Lepas," pinta Ataya. Sesuai permintaan Ataya, Valiant melepas tangannya yang posesif dari pinggang calon istrinya itu.
Wajah Ataya berubah cemberut, gadis itu mencoba meninggalkan Valiant di sana. Namun, belum jauh melangkah, tangannya dicekal oleh Valiant.
"Mau kemana? Saya belum ngomong loh," tahan Valiant.
"Mau ngomong apa?" Ataya hanya ingin lepas, jangan sampai Valiant membalas masalah tadi.
Valiant menaikan alisnya. "Temen kamu udah kasih kamu ke saya, jadi.... Kamu itu milik saya. Eh, kan kamu memang milik saya. Atau lebih tepatnya, sebentar lagi menjadi milik saya." Pria tua itu berpura-pura dungu.
Ataya mengangguk mengiyakan semua perkataan Valiant. "Iya, Ataya milik Valiant. Oke? Sekarang lepas, saya mau pergi cebok dulu-eh!" Sumpah, mulut Ataya keceplosan sendiri, niatnya ingin menutupi malah terbongkar sendiri.
Valiant sungguh tak tahan melihat mimik wajah Ataya yang memucat kembali karena kaget dengan ucapannya.
Dengan hati-hati Valiant memajukan dirinya, mendekati telinga Ataya dan membisikan sesuatu. "Saya nggak lihat banyak, cuman dikit," katanya.
Dikit?! Berarti lihat. Kaki Ataya melemas. Seluruh badannya menjadi jelly. Malu ini sungguh menyiksa mental.
"Jadi lihat dong?" tanya Ataya cukup pelan dan hati-hati.
Valiant mengangguk mengiyakan. "Lihat, tapi dikit." Sama saya, Valiant tetap melihatnya.
"Apa?!" Barulah Ataya merasakan kepanikan luar biasa. Gadis itu menggeleng hebat, rasanya ingin membenturkan kepalanya ke tembok lalu lupa ingatan.
"Kenapa kaget, kamu milik saya 'kan?" Valiant sangat santai menanyakan itu.
"Tapi, belum sah! Astaga, ubun-ubun saya malu loh!" pekik Ataya kepanikan.
Karena terlalu lucu untuk tidak tertawa, Valiant langsung menyemburkan tawanya yang garing. "Hahahaha.... Kamu juga, aneh banget. Pipis sembarangan," ucapnya disela-sela tawa.
Ataya memilih ujung baju kemeja cropnya. Ingin terlihat malu-malu kucing, malah terlihat malu-maluin. "Tadi udah nggak bisa nahan, aku takut ketinggian," jawabnya jujur.
"Loh, tapi kita belum turun. Kita masih di atas ketinggian," jelas Valiant sambil melirik sekitar.
"Ada tapinya. Tapi, tadi itu lagi panik beneran, Ataya kalau panik suka pipis-pipis sampai beberapa kali." Jujur saja, Ataya pernah mules dan pipis beberapa kali saat panik melandanya.
Tentu Valiant memaklumi semua itu, dia juga merasa wajar melihat tingkah absurd Ataya yang memang dari dulu sudah ada.
"Lain kali, bawa botol air. Kalau kamu pipis sembarangan, terus orang lain lihat. Kamu pikir saya rela?!" Mana mungkin Valiant rela miliknya dilihat orang lain.
"Jadi, tadi beneran lihat?" Ataya belum yakin, dia takut Valiant hanya membohonginya.
"Perlu bukti atau saya sebut ciri-ciri aja?" tanya Valiant, cukup meyakinkan.
"Nggak!" teriak Ataya panik. Waduh, main ciri-ciri, jantung Ataya seketika mau lompat bunuh diri gantiin Jack tadi.
"Panik banget, orang saya nggak ngintip." Dengan cara apapun, Valiant menghalalkan apa yang dia lihat.
"Gimana nggak panik, itu aset negara udah dilihat sebelum nikah!" Ataya menarik rambutnya kesal, ingin memukul Valiant juga tak berani.
Lagi-lagi Valiant tertawa. "Agak rimbun, ya?" tambahnya yang membuat Ataya meneteskan air mata.
"Tidakkk!!" Ataya jatuh terduduk dilantai, memukulnya dengan dramatis dan penuh air mata buaya.
Mata yang nyalang itu menatap Valiant dengan mendongak. "1...2...3... Lupakan!" teriak Ataya menjadi-jadi.
"Udah-udah, saya cuman bercanda. Ayo balik ke bawah," ajak Valiant dengan mengulurkan tangannya.
Ataya tidak yakin dengan omongan Valiant. Jelas-jelas, pria itu melihatnya. Sebab, posisi Ataya pipis tadi langsung berhadapan dengan tempat Valiant duduk.
"Aku mau kamu lupa ingatan dulu!" Harus, Ataya malu sekali. Mana bisa dia membawa wajah ini.
"Saya udah lupa barusan," ucap Valiant. Tangannya masih menunggu balasan. "Mau pergi atau tetap di sini?"
Ataya tak mau menjawab, dia hanya menunduk menahan malu.
"Kalau tinggal di sini, kamu bakal terus ingat," lanjut Valiant.
"Tapi... Kalau ikut kamu, tetap ingat juga..." cicit Ataya.
Dalam hati Ataya ingin pergi dari sana. Alasannya, milik Ataya mulai gatal. Apakah, hantu gedung ini marah padanya atau karena dia tidak membilas tadi?
"Kita pura-pura lupa. Anggap, tadi saya nggak lihat kamu pipis tanpa cebok. Bagaimana, deal?"
Mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi. Ini akan menjadi tingkah absurd Ataya yang kesekian kalinya sebelum menjadi istri sah seorang pria kaya.
Eits! Vote dan Komen! Kalau nggak, Kanjeng ngambek nih :(
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBEL KAMPUS (END)
RomanceHanya kisah absurd dari anak yatim piatu angkatan 2015, yang selalu terkena kesialan dalam hidupnya. ®Dont Copy My Story'