Valiant mengobati luka memar di sudut bibir dan mata Ataya. Sesekali gadis itu meringis kesakitan karenanya. Telaten, pria tampan itu mengobati wajah Ataya dengan tangan bergetar.
"Saya tidak bisa melihat kamu seperti ini," bisik Valiant pelan. Matanya menatap dalam ke mata Ataya. Kekasihnya, pujaan hati yang seharusnya dia lindungi.
Ataya mencibir. "Terlalu lebay. Ini biasa buat saya yang mentalnya sering dilatih tentara." Bukan apa-apa, luka ini hanya sebagian dari menyakitkannya hidup.
Bibir Valiant membentuk lengkungan tipis. Mengusap sudut bibir Ataya yang selesai diberi salep. Valiant menatap bibir itu, lalu berkata lembut. "Kamu tau, kamu terlihat sangat hebat di mata saya."
Jika bisa memilih, antara kayang dan melayang, Ataya memilih pingsan saja. Valiant ini, sudah tampan, bermulut manis, perhatian, satu hal dia adalah calon suaminya!
"Mau tau nggak, Pak?" tanya Ataya bersemangat. Mendengar pernyataan Ataya, wajah Valiant yang berseri berubah masam.
"Pak?" ulang Valiant dengan nada tak suka.
"Ingat Ataya, saya peringatkan sekali lagi agar kamu tidak melupakan satu hal. Kamu itu calon istri saya dan saya bukan bapak kamu!" kesalnya. Valiant menarik tangannya dari wajah Ataya.
Dosen satu ini! Ataya tidak sengaja memanggilnya. Valiant sekarang cemberut seperti gadis yang kehilangan moodnya. Dasar bodoh!
Ataya menarik tangan kekar Valiant yang awalnya mendekap di depan dada. Dengan senyum lembut, Ataya mengusap telapak tangan kiri Valiant.
"Aku ingat. Sangat ingat. Btw, nasi goreng tetap jadi 'kan?" tanyanya diluar dugaan.
"Apa kamu sudah lapar?" Valiant tidak bisa membiarkan Ataya kelaparan.
"Dari tadi. Mungkin, cacing-cacing udah makan usus aku!" Dasar, Ataya bisa mati kelaparan menunggu perhatian Valiant kembali padanya.
"Baiklah, ayo kita pergi." Sebelum itu, Valiant berbalik kesamping, kearah Ataya dan menggeser gadis itu hingga memunggunginya.
"Rambutnya di rapikan dulu." Jari-jari Valiant menyisir rambut Ataya, dari ujung atas sampai bawah, menarik ujung kanan dan kiri membentuk silang. Terakhir, pria itu memberikan jepitan kecil di tengah rambut Ataya.
"Selesai." Cup! Valiant mengecup pucuk kepala Ataya lembut.
Ataya mengusap dadanya pelan. Jika diingat-ingat lagi, Ataya paling malas berkeramas tetapi Valiant merasa tidak terganggu sama sekali dengan aromanya.
"Rambut aku bau?" Yah, mereka lebih baik berbaikan, memanggil dengan kata saya kurang baik saat mereka sedang berdua.
Ataya berbalik menatap Valiant. Takut, pria itu pingsan karena aroma rambutnya. "Tidak, aromanya harum."
"Bohong!" Mencibir, Ataya juga melayangkan satu pukulan kecil ke dada bidang Valiant yang terbalut kemeja.
Valiant kekeh pelan. "Memangnya kamu akan percaya dengan kata-kata saya saat ini?" tanyanya.
Terlalu malu untuk membahasnya, Ataya membuang wajah ke lain arah, Valiant terlalu banyak tersenyum membuat jantungnya bekerja lebih keras.
"Ayo. Cacing-cacing itu, mungkin akan memakan saya juga nanti." Valiant menarik tangan Ataya ke dalam genggamannya. Mereka berdua keluar dari ruangan Valiant, membuat semua pasang mata menatap ke arah mereka.
"Mereka menggunakan mata mereka dengan baik. Memang seharusnya, mereka melihat kita sebagai sepasang kekasih," bisik Valiant mencoba memberi rasa tenang pada Ataya.
"Matanya bisa di colok?" Ataya bukan Valiant, dia memilih menghadapi langsung daripada terdiam seperti orang bodoh.
"Kamu benar-benar berbeda."
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMBEL KAMPUS (END)
RomansaHanya kisah absurd dari anak yatim piatu angkatan 2015, yang selalu terkena kesialan dalam hidupnya. ®Dont Copy My Story'