⚠️ Lizzy Konnings Yang Malang ⚠️

63 6 68
                                    

⚠️⚠️ TRIGGER WARNING! ⚠️⚠️

⚠️ ( mengandung bahasa kasar dan kekerasan terhadap Perempuan) ⚠️.

☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆

17 Desember 2011

9 AM

" Neng Liz, ini teh bener seperti ini nulisnya?" tanya seorang Ibu muda yang umurnya tiga tahun lebih tua dariku dengan logat Sunda yang khas.

Aku yang sedang mengajar seorang Ibu muda seusiaku bergeser ke sebelah kanan, posisi Ibu muda dengan lima orang anak. Aku memasang senyuman termanisku pada Ibu ini.

" coba sini Ceu biar Liz periksa" aku duduk disebelah Ceu Een memeriksa hasil tulisannya.

Aku dan Oma tinggal di komplek Aromanis, komplek yang penduduknya rata-rata orang desa merantau ke kota yang mata pencarian mereka adalah petani dan buruh. Aku sukarela mengajari mereka membaca, menulis, dan berhitung karena mereka tidak bisa membaca dan menulis sama sekali.

Awalnya beberapa dari mereka suka mengintip saat aku dan teman-temanku kerja kelompok atau aku sedang belajar sendirian, karena lama kelamaan kami merasa tidak nyaman diintip terutama aku, aku bertanya kepada mereka kenapa mereka sering mengintip? Lalu mereka menjawab kami ingin bisa seperti kalian. Dari situlah aku mengajari mereka dengan sukarela tanpa biaya sepeserpun, Puji Tuhan Oma setuju dengan ideku ini bahkan terkadang membantu mengajari beberapa keluarga di rumah kami.

" bener Ceu, Ceu Een pinter... sekarang Eceu tulis huruf kecilnya di titik-titik sini, tinggal ngikutin aja kayak kemarin" aku senang sekali melihat perkembangan Ceu Een yang sangat pesat.

Seandainya Ceu Een bisa kuliah mungkin sudah cumlaude, di antara murid-muridku yang lain Ceu Een yang paling pesat.

" oh gitu? Siap atuh Neng" sahutnya gembira.

" Liz tinggal dulu ya Ceu".

" mangga Neng (silahkan Neng)" jawabnya ramah kemudian lanjut belajar menulis huruf kecil.

Aku tersenyum beralih ke bangku depan, tempat murid-muridku belajar membaca. Apakah ideku mengajari para warga komplek mulus tanpa halangan? Oh tidaaaakkk... tentu saja ada halangan, contohnya aku pernah beberapa kali dilabrak bahkan sampai dipukul sama para pemuda dan Bapak-Bapak komplek sebelah. Mereka bilang aku pembawa pengaruh buruk alasannya karena aku dari SD sampai sekarang SMK selalu ranking satu ditambah sekarang mengajar mayoritas perantau yang buta huruf, menentang kodrat perempuan kata mereka, kalau mereka pintar dan berkembang itu suatu ancaman bagi mereka. Sungguh, alasan yang sangat amat konyol!.

" a i u e o".

Aku duduk disebelah Ibu muda seuisaku juga sedang belajar membaca dan mengeja, dia murid baru yang kemarin mengintipku saat aku mengerjakan PR menjelang magrib sepulang aku PKL diteras ditemani Oma.

" ayo lanjut lagi bawahnya" layaknya guru taman kanak-kanak aku duduk di sebelahnya sambil menunjuk kertas putih bertuliskan huruf vokal a i u e o.

" Neng, ini teh apa? Lupa lagi hehehehe" tanya Ceu Esih menggaruk rambutnya yang di cepol.

" ini dibacanya ai" jawabku tersenyum.

Aku senang sekali mengajar seperti ini, bahkan aku bercita-cita menjadi relawan di desa-desa terpencil membangun sekolah gratis dan mengajar karena semua orang harus mendapatkan pendidikan yang layak tanpa terkecuali. Meneer Roy atasanku yang cerewet dan galak saja setuju dengan cita-citaku, keluarga van Stolch juga sangat setuju. Bahkan Meneer Roy dan Juffrouw Queen ikut mengajar kalau lagi senggang terkadang kedua sepupu Meneer Roy juga ikut mengajar kalau mereka sedang berlibur ke tanah Pasundan ini. Hanya aku, Juffrouw Queen, Meneer Roy, dan Mevrouw Carlyn sepupu van Stolch siblings yang sekarang mengajar, teman-temanku yang biasanya ikut menagajar sekarang mereka tidak mengajar, giliran libur soalnya. Oma, Pak RT, Tuan dan Nyonya van Stolch sedang survey ke tempat untuk nanti kami mengajar jadi tidak dirumah lagi. Oh iya Meneer Roy sedang mengajar di sawah, beliau kebagian mengajari Bapak-Bapak dan para pemuda.

Lizzy, Ik Hou Van JouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang