Hola!
Happy reading!◌●●◌
Brak!
Semua orang memalingkan wajahnya, termasuk Luna. Kerutan didahinya tercipta seraya memandang bingung pada lelaki yang kini berdiri menjulang dihadapannya.
"Bang? Kena---"
"Ikut gue."
Eris menarik pergelangan tangan Luna, membuat Luna mau tak mau mengikuti lelaki itu. Beberapa suara bisikan terdengar oleh Luna, terutama bisikan perempuan.
Bukannya takut atau risih, gadis itu malah memamerkan senyum remehnya pada para perempuan yang kini bergosip ria sambil memperhatikan mereka berdua. Layaknya seorang antagonis yang berhasil menjalankan rencana piciknya.
'Iri gak? Iri gak? Irilah masa enggak!'
Ucap dalam hati bangga diikuti wajahnya. Tapi wajah bangganya itu berubah menjadi bingung, menatap punggung lebar milik Eris. Mau dibawa kemana dia? Tangannya terus digenggam oleh Eris seakan-akan Luna akan menghilang jika ia melepaskannya.
Mereka berdua menuruni sebuah tangga, menuju keluar. Matanya memandangi Eris yang sudah banjir keringat karena pertandingan tadi, ujung mata Luna melirik kearah rekan team Eris berkumpul dipintu lapang tadi, berkumpul didepan Eris dan Luna.
"Bang! Itu temen lo," ujar Luna menunjuk kedepan.
"Gak usah peduliin, pas didepan sana lansung lari." ucapnya tanpa melihat Luna.
"Ha? Kenapa lari---AAAA!"
Eris menarik tangan Luna lebih kencang saat didepan rekan teamnya, kakinya yang tadi hanya berjalan cepat, kini menjadi berlari membuat Luna juga ikut menambah kecepatan langkah dibelakangnya. Tak mau jatuh, Luna membalas genggaman tangan Eris yang semakin erat.
Luna menutup matanya malu melewati rekan team Eris yang tadinya ingin bertegur sapa dengan dua sejoli itu. Mereka berdua terlihat seperti bocah.
"Woy mau kemana lo berdua?!"
Suara teriakkan Bagas terdengar nyaring menggema dikoridor sepi, diikuti sorakan teman-temannya tak Eris hiraukan. Memilih untuk menambah laju kecepatan larinya. Jangan sampai tertunda lagi seperti sebelumnya.
Perasaannya harus tersampaikan sekarang, harus!
Ia tak bisa berpura-pura lagi, Eris takut malah menyesal karena terus menunda-nunda dan akhirnya Luna jatuh ke pelukan orang lain. Eris lebih memilih ditolak saat ini daripada tidak menyatakannya sama sekali. Kita belum tau kan jika belum mencobanya.
"Bangggg! Jangan cepet-cepet, gue gak jago lari kaya lo!" Luna menarik tangannya keras, menahan tubuh Eris supaya berhenti berlari. Mereka sudah sampai diluar gedung pertandingan tadi.
Eris menengokkan kepalanya ke belakang, dan berhenti berlari. Luna terengah-engah sambil menundukkan kepala. Dia benci lari, menguras tenaga adalah musuhnya, tapi menguras uang adalah hobinya.
Eris menatap Luna lekat bercampur perasaan bersalah, ia lupa tadi berlari membawa anak orang. Kaki Luna juga baru sembuh. Apa harusnya tadi Eris gendong saja ya? Ia tak tau selemah ini Luna dalam berlari.
"Gak apa-apa?" tanya Eris menggoyangkan tangannya tidak melepaskan genggaman tangannya dengan Luna.
Gadis bernetra coklat tua itu menaikkan wajahnya yang terlihat memerah akibat kelelahan dan mengatur nafasnya masih belum kembali normal. "Menurut lo bang--hah?" Luna menundukkan kepala lagi, melanjutkan aktivitasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Kanjeng Mamih
Teen FictionSetelah Lulus SMA dan tinggal di rumah kakek neneknya di Bekasi. Lunaya Qirla Morinta memutuskan untuk kembali ke Bandung, kerumah kedua orang tuanya dan berencana kuliah diuniversitas dekat rumah orang tuanya. Luna tau betul jika orang tuanya mempu...