Hai, ges. Balik lagi, yah?😂
Cusss baca
---HAPPY READING---
🔆 Kepergian 🔆
"Ada yang mau mama omongin." Helena berucap dengan lembut, tangannya mengusap surai rambut Gina.
"Kantor pusat harus mama pindahkan ke Bandung, ada kendala di kantor yang ada di sini membuat mama harus bertindak seperti itu. Dan juga bisnis restoran mama yang memang mempunyai banyak cabang di sana. Rumah ini juga harus terpaksa mama jual, dan kita tempati rumah yang sudah papa bangun di sana. Seperti cita-cita mama sama papa, kami ingin menghabiskan masa tua di kota asal kami."
Penjelasan sang mama kemarin masih terngiang jelas. Dan di sini lah, di sebuah rumah yang terlihat megah meskipun tidak begitu besar. Di balkon kamar sang mama, karena Gina masih belum terbiasa untuk tidur di tempat baru meskipun beberapa kali dirinya pernah ke sini.
Perihal rumah ini selama keluarga kecil Gina ada di Jakarta, hanya ditinggali para pekerja yang memang masih dipekerjakan di sana. Pras dan Helena tidak masalah. Karena dulu mereka seringkali ada pekerjaan di sana.
"Dan hanya ada satu alasan yang buat Gina langsung mengiyakan ucapan mama," ucap Gina kepada dirinya sendiri.
Pagi merangkak siang. Tetapi sejuknya kota Bandung masih terasa.
Lain halnya dengan pemuda yang sedari tadi lebih menyibukkan dengan benda pipihnya. Kini dirinya berjalan di antara siswa-siswi yang sudah selesai dengan kegiatan sekolah menuju parkiran.
"Lo kemana sih, Gin? Gue khawatir," ucap Garlan menempelkan HP di telinganya.
Pasalnya saat tadi pagi menjemput Gina, cewek manis itu tidak ada di rumah. Dia bertanya ke teman kelas cewek itu pun mereka menjawab tidak tahu.
Sekarang motornya ia jalankan. Tujuannya ke rumah Gina lagi, siapa tahu cewek itu sakit dan tadi pagi dibawa ke dokter oleh Helena.
Namun, sesampainya di sana, sampai tangannya beberapa kali menekan bel rumah itu pun tak ada tanda-tanda orang yang berniat membuka pintu. "Gin, GINA!" Bahkan teriakannya tak menggugah orang yang kemungkinan ada di dalam.
Nomor Helena yang aktif juga tak mengangkat teleponnya. Semakin membuat Garlan was-was.
"Gina senang, deh. Sekarang orang di depan Gina selalu tersenyum buat Gina."
Tib-tiba sekilas ucapan cewek manis itu menghampiri pikirannya. Kembali mengingat, di mana momen ulang tahunnya kemarin.
"Ini kue buatan Gina. Kakak terima, ya? Jangan dilempar lagi."
"Mungkin kue yang Gina buat sekarang lebih besar, ya daripada kue yang dulu. Makanya kakak suka."
"Gina nggak bawa kado. Karena celengan Gina udah habis buat beli skincare."
"Biar kakak nggak jelalatan. Makanya Gina beli."
Senyuman itu, tawa itu, tatapan manisnya Gina. Memancing Garlan untuk juga mengukir senyumnya.
"Gar, Gar. Kenapa lo dulu itu goblok?"
Getaran di saku celananya membuat tangannya merogoh dan mengambil HP-nya. Tertera jelas nama kontak yang bernama ArlanYet.
🔻🔺️🔻
Arlan bersorak riang melihat kedatangan Garlan. Ditambah kresek berwarna putih itu yang ia yakini berisi sate ayam pesanannya.
"Emang temen gue yang satu ini paling baekkk," ucap cowok itu.
"Lo ngidam apa gimana, heh? Bibik 'kan ada di rumah bisa beliin lo sate. Kenapa gue yang harus beli?" ujar Garlan dengan kesal. Dan Arlan terkikik geli.
"Yaelah cuman gitu aja, Gar, Gar. Muka lo jangan kusut gitu, ah. Gue seneng," ujar Arlan iseng.
"Gina, lo tau tuh anak kemana?"
Arlan menghentikan gerakannya yang membuka plastik berisi sate itu. "Bukan sama lo, ya? Kan lo tau sendiri hari ini gue nggak masuk sekolah."
Memang cowok itu hari ini tidak berangkat sekolah. Dengan izin karena sakit demam. Tetapi tingkahnya seperti orang sehat saja. Bahkan meminum es sirup tanpa berpikir bahwa dirinya juga sedang flu.
"Dasar," umpat Garlan melihat tingkah sahabatnya.
"Lo mau, nggak, Gar? Gue suapin." Arlan menyodorkan satenya.
"Gak usah. Makasih."
Arlan mengangguk. Menikmati sate dari Garlan tadi. "Emang Gina kemana, sih?"
"Kalo gue tau gue nggak bingung kayak gini," jawab Garlan.
"Ada masalah lagi? Kayaknya kalian baik-baik aja kemarin-kemarin."
"Makanya, gue juga bingung." Garlan membuka tasnya. Mengambil kotak hitam yang kini sering ia perhatikan.
Arlan juga tak lupa wadah hitam itu berisi cincin. Tetapi tatapan mereka langsung bersitatap setelah penutup kota hitam berukuran kecil itu terbuka.
Belum tahu mereka.
🔻🔺️🔻
Sudah hampir seminggu Gina tak lagi Garlan temui. Dan kemana salah satu cicin pertunagannya dengan Gina dulu yang masih dia simpan juga masih menjadi pertanyaan.
"Aneh," komentar Yudhis.
Cowok itu sekarang duduk satu meja dengan Garlan dan Arlan. Meskipun kehadirannya sedikit menganggu Garlan, dari ekspresi cowok itu. Tetapi Yudhis mengabaikannya.
"Sama, Dhis. Gue sama Garlan udah nyari-nyari nggak ketemu. Lagian Garlan kalo nyimpen barang spesial juga nggak main-main," ucap Arlan menambahi.
Yah, cowok itu yang sedari tadi mengajaknya mengobrol, dan juga bercerita pasal cicin. Terkadang Garlan juga mengeluarkan suara, dengan jawaban yang sesingkatnya saja.
"Gue hubungi nomernya udah nggak aktif," ucap Yudhis lagi.
"Tante Helena?" Garlan langsung bertanya.
Yudhis tersenyum. "Gue nggak punya. Tapi bokap yang memang ada urusan sama nyokapnya Gina, kemarin malem baru telepon," ucap Yudhis. "Bokap nyokap gue udah kenal sama keluarga Gina udah lama banget. Orang tua kita sahabatan, udah kayak sodara. Dan gue juga kenal kok sama Tante Helena sama Om Pras. Tapi sayang, setelah beberapa bulan nggak ketemu sama dia, ketemu lagi di saat dia kecelakaan dan mengembuskan napas terakhirnya," jelas Yudhis panjang lebar.
Garlan dan Arlan menyimak baik penjelasan itu. "Tapi kalo Gina. Ketemu cuman sekali dua kali, itu pun pas dia masih SD dan gue yang lanjut SMP ke Bali sama kakek nenek gue. Ketemu lagi pas waktu kecelakaan itu, dan pas gue nggak sengaja jatuhin gelas beberapa bulan yang lalu di kantin ini."
Diam, keheningan terjadi beberapa saat setelah penjelasan itu keluar dari mulut Yudhis. Kondisinya masih di atas kursi roda.
"Coba lo telepon nomernya Tante Helena lewat nomer bokap lo," usul Arlan yang mungkin bisa diterima baik.
"Kalo gitu nunggu bokap pulang dari luar kota," ucap Garlan. Wajahnya terlihat begitu lesu.
"Udah, santai aja nggak usah lesu gitu," ucap Arlan menepuk pundak sahabatnya. "Gini, nih. Penyakit hati," imbuh Arlan
Ucapan itu mengundang tawa kecil dari diriny dan juga Yudhis.
"Pada dasarnya kepergian seseorang pasti ada alasan. Lo yang tidak menyadari, atau lo sebagai penjaga kurang hati-hati," ucap cowok tampan yang sudah purna dari jabatan kapten basketnya itu.
===
KALO SUKA BILANG SUKA YA!
Bilangnya lewat klik bintang ☆ Terimakasih dari saya dan sampai jumpa di part selanjutnya.
HifGravity🖊 Pati, 16 Agustus 2021
===
KAMU SEDANG MEMBACA
Kejar Mantan [END]
Teen Fiction[PART LENGKAP] "Di saat orang-orang ngejar masa depan. Eh, lo sendiri yang ngejar masa lalu." Sindiran itu terucapkan untuk seorang pemuda. "Tapi gua ngejar karena ada hal yang memang ngedorong gue buat ngelakuin itu. Perasaan gue yang terlambat. Em...