01

17K 3.3K 1.2K
                                    

Hai hai, aku balik lagi.
Kutinggal 7 jam udah kangen, nggak?
Kalau kalian jawab enggak, ubah itu semua. Harus kangen pokoknya.

Oke, mari kita lanjut ke Bab pertama. Kita mulai cerita ini dari masa putih abu-abu.

Usai salat Subuh dan berdoa, Olin bergegas ke teras rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Usai salat Subuh dan berdoa, Olin bergegas ke teras rumah. Berdalih menunggu kedatangan Ayah dari masjid, padahal ingin mencuri pandang pada Ibra.

"Masuk, Nduk. Masih gelap," ajak Ayah yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat.

"Bentar, Yah. Bentar lagi." Olin mengerjap manja dan membuat Ayah menggelengkan kepala, seakan pasrah dengan tingkahnya.

Ayah dulu cukup gemuk dan sehat. Akan tetapi, beberapa tahun lalu Ayah terkena stroke. Sejak itu, Ayah semakin kurus. Alhamdulillah, Allah beri Ayah kekuatan untuk kembali sehat meski tidak sesempurna dulu.

"Jangan godain Ibra terus, Nduk. Bikin dia nggak nyaman. Kalian udah pada gedhe, bukan anak-anak lagi."

"Enggak godain, Yah. Cuma liatin doang," ujar Olin tanpa mangalihkan pandangan ke luar pagar besi besar dengan ukiran bunga yang tidak diketahui namanya.

"Bunda itu heran sama kamu, Lin. Udah ada Jero, masih aja godain cowok lain. Bunda sampai segan sama umminya Ibra." Bunda yang masih mengenakan atasan mukenah ikut mengomentari tingkah Olin seraya berdiri di bibir pintu utama, menyambut kedatangan Ayah.

"Olin, tuh, sukanya sama Ibra, bukan sama Jero, Bun. Lagian 'kan perjanjian itu cuma antara Ayah dan Papinya Jero," cetus Olin.

"Liiiin."

"Nggak mau bahas itu. Masalah perjodohan, urusan nanti. Yang penting Olin mau nikmatin perasaan cinta Olin ke Ibra saat ini."

Olin sudah terlihat kesal ketika membahas tentang perjanjian kuno antara Ayah dan Papinya Jero. Ia tidak menolak perjodohan itu, tetapi juga tidak menerima. Ia percaya, kalau orang tuanya tahu seperti apa cowok bernama Jerobi Akasia itu, pasti akan segera membatalkan perjanjian.  Dan mereka akan berubah mendukung perasaannya pada cowok yang sedang berjalan di jalan depan itu.

Wajah yang tadinya muram lekas berubah takjub. Bibirnya merekah dan sorot matanya tidak lepas dari sosok tinggi memakai kaus putih dengan kaki jenjang berbalut sarung. Ia menipiskan bibir, mata bulatnya ikut menyipit, perasaannya berbunga-bunga ketika Ibra menyibakkan ujung rambut. Cowok itu terlihat sempurna di mata Olin. Bahkan, jika ada yang bertanya kenapa bisa tergila-gila pada cowok tersebut, ia bisa memberikan penjelasan lebih dari dua jam. Sepanjang itu memang, karena bercerita tentang Ibra tidak bisa sesederhana yang dipikirkan orang.

Kesempurnaan Ibra mungkin hanya ada di mata Olin, tetapi tidak di mata orang-orang.  Meskipun Ibra rajin beribadah, pemuda itu bisa dikatakan berandalan. Sering bolos pelajaran, tawuran nggak ketinggalan, anggota salah satu geng teratas di sekolah, nggak peduli dengan orang lain dan yang paling parah saat SMP, Ibra hampir dikeluarkan dari sekolah karena kasus pelecehan terhadap adik kelasnya.

SPACE OF DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang