39

14.1K 4K 3.9K
                                    

Pahit, sakit, perih, lelah, bosan, marah, sedih adalah salah satu alat pahat pembentuk  kebahagiaan. Setelah melewati semua rasa itu, kita akan mudah menghargai sekecil apapun kebahagiaan yang ada dalam hidup kita. Jadi, jangan lupa untuk bersyukur.

🌻🌻🌻

Alhamdulillahirabbilalaamiin.
___
__
_

Sebuah minuman kemasan yang dingin tersedia di atas meja tempat Olin biasa merangkai bunga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah minuman kemasan yang dingin tersedia di atas meja tempat Olin biasa merangkai bunga.  Ia duduk di sebelah Ibra. Pria itu menopang dagu dan memperhatikannya yang masih sesenggukan. Sesekali Ibra mengusap ujung kepala dan punggungnya. Padahal cukup lama ia menangis di pelukan Ibra. Namun, isakan itu masih saja berlanjut.

"Berhenti lihatin aku, Ibra." Olin melirik pria di sebelahnya.

Ibra mengambil beberapa lembar tisu di atas meja dan memberikannya pada wanita itu. "Makasih ya, udah mau bertahan sejauh ini sendirian," ujarnya.

"Aku harus hidup dengan baik."

"Kamu melakukannya dengan baik sampai sekarang."

"Iya ... aku coba lakukan yang terbaik walau capek."

"Tapi capekmu udah buahin hasil, 'kan? Fellie aja sampai kesel lihat kamu jadi pemateri."

"Iya. Seneng banget rasanya bisa ada di atas dia." Olin mengulas senyum lebar dan bangga dengan diri sendiri. Namun, tiba-tiba ia menyadari sesuatu dan lekas menoleh ke samping. "Kok kamu bisa tahu?" sergahnya.

"Tahu."

"Iya! Tahu dari mana? Jero?"

"Tahu sendiri ... tahu semuanya ... tahu tentangmu ... tahu apa yang kamu lalui."

Olin mengernyit. "Jero laporin semuanya ke kamu?" tebaknya dan mendapat gelengan.

"Kamu istriku." Ibra meraih tangan Olin dan menggenggamnya. "Kemanapun kamu pergi, aku harus tahu dan memastikan kamu baik-baik saja."

"Jadi kamu selama ini memantauku?" tanya Olin.

"Sejak kami pindah ke Bandung enam bulan lalu. Kami benar-benar memperhatikanmu."

"Kami?"

"Ummi, yang setiap hari ingin lihat kamu. Kadang di depan toko sini, kalau nggak di depan sekolah anaknya Jero."

Air mata yang baru mengering itu kembali menumpuk dan menetes di pipinya. Banyak pertanyaan yang ingin ia keluarkan, tetapi mulutnya membisu.

Ibra mengeluarkan ponsel dan mengusap layar benda itu beberapa kali lalu menunjukkan pada Olin. "Tiga kali Ummi datang di acara yang kamu hadiri. Termasuk pagi tadi."

"Kalian di sana?"

"Iya. Beberapa kali kita harusnya berada di satu panggung."

"Jangan-jangan, pemateri yang nggak hadir tadi itu, kamu?" tebak Olin dan mendapat anggukan. "Kenapa? Kamu ngehindarin aku?"

SPACE OF DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang