Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu.
[QS. Yasin:82]Meja di ruang tengah rumah Olin sudah ditepikan, berganti meja kecil dari kayu yang berdiri rapi di atas karpet tebal. Di sanalah Ibra nanti akan mengucap kalimat qobul, membawa Olin menjadi bagian dari tanggung jawabnya.
Budhe dan Mas Dewa, keponakan Ayah datang untuk menjadi saksi dan wali. Orang lain tidak akan ada yang datang, kecuali para jajaran administrasi komplek.
Ia tidak tahu Ibra datang bersama siapa. Terakhir kali pembicaraannya dengan cowok itu hanya perihal mahar. Olin meminta sebuah cincin couple, bukan emas ataupun perak. Hanya imitasi pun tak apa. Namun segera ia ralat dan diganti dengan lantunan ayat ke 82 surah Yasin. Sebab, meskipun Ibra mengatakan mereka memiliki garis edar sendiri-sendiri, ketika Allah sudah mengatakan 'Kun Fayakun', maka bersatulah mereka dalam ikatan suci.
Usai salat Ashar, Bunda menyuruh Olin untuk tetap tinggal di kamar sampai akad nikah selesai. Agak kecewa, karena Olin ingin mendengar Ibra melantunkan mahar atas pernikahan. Namun ternyata Olin masih bisa mendengar cukup jelas lantunan ayat tersebut. Hanya saja, ketika pengucapan ijab qobul tidak terlalu jelas. Olin harus mendekatkan telinga ke daun pintu walau akhirnya yang terdengar hanya ucapan aamiin dari para saksi.
"Nduk. Ayo turun."
Olin menelan ludah karena tiba-tiba merasa gugup. Dengan gamis dan hijab serba putih, juga riasan sederhana di paras cantiknya, ia meyakinkan diri. Digandeng Bunda, ia menuruni anak tangga lalu duduk di samping cowok yang memakai baju koko putih dan sarung biru tua bermotif batik awan. Satu-satunya keluarga Ibra yang datang adalah Abi.
Ustaz Hamka memberi sedikit wejangan dan memerintahkan Ibra untuk melafazkan doa atas pernikahan mereka. Satu telapak tangan Ibra menyentuh puncak kepala Olin dan tangan kirinya menengadah seraya berdoa. Setelah kata aamiin terucap dari mulut kedua mempelai, Ibra menarik lembut bahu Olin dan mendaratkan sebuah kecupan di kening cewek itu.
Olin mengerjap, menatap Ibra yang berwajah datar sedang menyelipkan cincin perak di jari manisnya.
"Ibra. Aku nggak minta ini." Bisik Olin segan ketika melihat itu bukan cincin imitasi. Cowok itu bergeming, tetapi Olin tahu ini bukan lagi waktunya berdebat. Bunda sedang menyodorkan cincin yang harus segera ia pasangkan di jari Ibra.
Usai pemasangan cincin, Olin mencium tangan Ibra sesuai perintah Ustaz Hamka. Selanjutnya mereka hanya melakukan ramah tamah. Semua menikmati hidangan kecil yang disediakan Bunda, kecuali Abi yang harus segera pulang dan menjaga Ummi.
"Ini memberatkanmu, Ibra," ucap Olin ketika semua orang sibuk di meja makan, sedangkan ia dan Ibra berada di ruang tengah.
"Kamu pengen itu, 'kan?"
"Sudah kuralat."
"Aku mampu, jadi kubelikan."
"Maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
SPACE OF DESTINY [END]
Lãng mạn[DIWAJIBKAN FOLLOW SEBELUM BACA] "Nggak apa jadi bodoh, tapi belajarlah dari kebodohan itu agar kamu nggak mengulangi kesalahan yang sama. Nggak apa, jangan khawatir. Begitulah cara keadaan menjadikanmu dewasa." 🌻🌻🌻 Ini adalah cerita tentang kebo...