45

12.4K 3.8K 2.6K
                                    

Assalamu'alaikum. Aku datang lagi .... hehehehe. Kalian nungguin, ya.
___
__
_

Meski tidak enak, Olin bergegas masuk ke kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Meski tidak enak, Olin bergegas masuk ke kamar. Ia menyiapkan iPad dan juga laptop yang akan ia gunakan untuk virtual meetingnya. Samar-samar ia mendengarkan Ibra yang berbincang dengan Una dan sepertinya juga berhasil membujuk anak itu untuk makan.

Setelah kesiapannya selesai, ia lekas ganti pakaian dan mulai berias tipis-tipis. Ia harus tetap terlihat glow up, takutnya Ibra memperkenalkan dia sebagai istri di depan rekan kerjanya. Jadi tidak boleh memalukan.

"Olin ... kalau mikir jangan kejauhan!" Ia menepuk kepalanya. Ia lekas berdiri di depan standing mirror, menggelung rambut yang beberapa tahun belum sempat dipotong.

Tok tok tok.

"Ya?"

Pintu kamarnya terbuka dan Ibra muncul di sana. Pria itu menghampirinya setelah menutup pintu.

"Ke-kenapa di tutup?" tanya Olin yang tiba-tiba gugup karena otaknya berpikir kemana-mana.

"Kesenggol," jawab Ibra lebih tidak masuk akal.

Pria itu menghadapkan Olin pada cermin di depannya. Bisa terlihat jelas bagaimana tangan Ibra sedang melingkar di perutnya. Yang membuat Olin semakin gugup, ketika Ibra menyandarkan dagu di bahunya. Bahkan ciput yang ada di tangannya terjatuh. Malu sendiri melihat ekspresinya di pantulan cermin karena tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.

"Ibra ...."

"Hm?"

"Ada Ummi dan Una."

"Mereka di luar. Una lagi digantiin pakaian sama Mbak Anis. Ummi lagi ngobrol sama Bi Yuli."

"Terus, kamu?"

Ibra menatap Olin lewat pantulan cermin. Sejenak kemudian Olin terbelalak ketika Ibra mengecup rahangnya. Ia semakin susah bernapas ketika kecupan itu menjalar di sepanjang  leher dan berhenti dengan sebuah isapan lembut tepat lengkungan bahunya.

"Lagi kangen kamu," jawab pria itu lirih.

"I-Ibra." Ia tidak mampu melanjutkan ucapan dan hanya mencengkeram rok plisket rosewood yang membalut kakinya.

Pria itu tersenyum dan menatap ke cermin. Ia mengangkat tangan kanannya. Ada dua cincin tersemat di jari manis dan kelingking Ibra. "Sangking sibuknya aku belum sempat balikin benda penting ini ke kamu."

Ibra melepas cincin perak di jarinya kemudian mengangkat tangan kanan Olin. "Mau dipasang, atau diganti sama yang lebih baik?" tanya Ibra sebelum menyematkan benda itu.

"Ini aja cukup," jawab Olin. Bibirnya mengatup rapat menahan senyumnya agar tidak terlalu lebar. Cincin perak itu pun tersemat di jari manisnya lagi. "Makasih, Ibra."

SPACE OF DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang