08

10.9K 2.8K 776
                                    

Pinter, cantik, bertalenta itu umurnya cuma sampai dunia. Tapi akhlak, dibawa sampai ke akhirat.
-Ganendra Ibraksa-

Olin sedang menyusuri koridor sekolah dengan panik. Ia mencari sahabatnya, yang tadi ia kira berada di kelas ternyata tidak. Ia terus merutuki sikap Jero padanya. Tidak seharusnya cowok itu bersikap seperti tadi. Olin bisa saja menyalahkan Jero atas kesalahan papinya, tetapi ia tahu kalau tidak ada satupun dari mereka berdua yang bisa disalahkan. Bahkan kalaupun bisa, Olin ingin sekali menyalahkan cowok itu karena udah menyembunyikan fakta ini. Namun, itu tidak berguna. Hanya buang-buang waktu. Lebih baik ia memaksa Bunda untuk memutuskan hubungan terlarang itu.

"Dita nggak ke sini, Buk?" tanya Olin ketika ia memasuki stand milik Ibu Dita di kantin.

"Enggak, Mbak Olin. Apa Dita nggak masuk ke kelas? Apa dia ada masalah?"

"Eh ... eng ... enggak, Buk. Cuma mau pinjem PR aja. Makanya buru-buru!" jawab Olin gugup karena takut wanita paruh baya bertubuh kurus itu ikut panik. Ia pun pergi begitu saja sebelum mendapat pertanyaan lagi.

Pencarian Olin pada Dita harus dihentikan ketika mendengar bel tanda masuk pelajaran pertama. Dita tak kunjung datang dan membuatnya tidak tenang. Selama pelajaran, perhatian Olin hanya tertuju pada ponselnya. Ia berharap Dita membalas pesan pribadi maupun di grub mereka bertiga, tetapi tak kunjung didapat sampai pelajaran berakhir.

Dalam pergantian jam pelajaran, Olin dan Ima memutuskan keluar kelas dan mencari Dita di ruang kesehatan. Di sana satu-satunya kemungkinan cewek itu bersembunyi, tetapi tetap tidak mereka temukan. Olin dan Ima saling mengeluh karena tidak juga menemukan Dita. Mereka terus melangkah, menyusuri koridor hingga sampai di aula sekolah.

"Dita, Lin!" Ima menunjuk salah satu kaca jendela aula.

Olin bisa melihat jika sahabatnya sedang duduk di bagian dalam aula. Duduk meringkuk di sudut aula. Mereka pun lekas masuk ke sana dan melihat Dita yang sedang muram.

"Dit ..." Olin duduk di depan Dita, sedangkan Ima duduk di samping cewek itu.

"Aku nggak marah ke kamu, Lin. Kamu nggak perlu buat penjelasan apapun. Aku cuma kecewa sama diriku sendiri. Aku emang terlalu mimpi buat dapetin Jero. Aku akan merubah nasib dengan tanganku sendiri, bukan bermimpi jadi istri orang kaya." Dita meluapkan apa yang dirasakan. Tidak ada air mata, tetapi terlihat jelas jika cewek itu sudah selesai menangis.

"Dita ... kamu tahu 'kan yang aku suka siapa?" tanya Olin, mendapat anggukan dari Dita. "Kami sama-sama nggak punya perasaan dan aku yakin perjodohan ini nggak akan sampai ke tahap serius."

Dita menggeleng. "Sekalipun perjodohan kalian nggak lanjut, aku juga enggak punya celan, Lin. Selama ini, dia sama sekali enggak pernah melirikku."

"Karena dia nggak tahu perasaanmu, Dita," imbuh Ima sambil mengusap punggung sahabatnya. "Nih, ya. Misalkan Jero nolak kamu, yaudah. Berati dia emang bukan buat kamu. Kamu pantes dapat orang yang lebih baik dari Jero. Cowok gituan kok ditaksir, Dit."

SPACE OF DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang