"VEGA! TURUN!"
Vega terkesiap untung ia masih bisa menjaga keseimbangannya jika tidak akan mati muda dirinya. Ia turun dari pembatas rooftop, rasanya geram juga disaat dirinya ingin sendiri pasti ada saja yang mengganggunya.
Vega menatap sinis teman-temannya ia tidak peduli mau teman, saudara bahkan pacar jika mengganggu kesenangannya tidak ada kata ampun baginya. Namun, ia tidak akan memaki maupun memukul palingan cuman mendiami mereka.
Vega tidak salah bukan dia hanya memerlukan waktu sendiri untuk menenangkan dirinya. Ia bukanlah orang yang cukup terbuka untuk masalah dirinya.
Saat Dila berlari kearahnya dia segera menghindar ingin pergi dari sini setidaknya harus meredakan emosinya. Sebuah tangan memegang pundaknya langsung saja dia pelintir tangan itu.
"Ve, ini aku."
Vega menghela nafas melepaskan tangan itu lalu berjalan ingin keluar rooftop.
"Ve! Kamu bertindak seperti ini tidak akan bisa menyelesaikan masalah," seru Liam.
Vega terhenti dari langkahnya lalu tersenyum miris. Ia tertawa kecil mendengar penuturan Liam sekarang dia merasa seperti tidak percaya siapapun. Perasaannya seperti sudah hancur teman yang selalu bersamanya 9 tahun saja bisa mengkhianatinya apalagi mereka, mungkin.
"Masalah? Apa aku bisa mempercayai kamu, Yam? Lalu apa aku juga bisa mempercayai kalian semua?" Ucap Vega tersenyum simpul dengan air mata yang mengalir.
Liam tertegun kemudian tersenyum membawa gadis itu kedalam pelukannya. Ia juga mengelus-elus kepala Vega dia juga ikut merasakan kesedihan gadis itu.
"Jangan sedih jika kamu bersedih aku juga ikut sedih," batin Liam.
Liam terus memeluk Vega untuk membuat gadis itu tenang. Ia rasanya pengen mengucapkan sesuatu tetapi rasanya mulutnya terasa berat untuk mengucapkan suatu kata.
"Hiks ... hiks ... mengapa mereka sejahat itu melakukannya kepadaku? Padahal aku menganggap mereka seperti saudara sendiri. Aku memang orang yang tidak percaya orang baru, tetapi aku telah mengenal mereka 9 tahun," lirih Vega dengan menangis tersedu-sedu.
Liam melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Vega yang masih terlihat cantik bahkan semakin imut saat menangis. Ia mengelap air mata milik gadisnya dengan tersenyum.
"Kamu nggak perlu mikirin mereka lagi, karena yang sudah pasti mereka itu nggak tulus berteman sama kamu. Ada yang lebih sayang kamu jadi nggak perlu pikirin orang kacang lupa kulitnya," ucap Liam dengan memegang pipi Vega.
Vega tertegun menatap Liam dengan menangis sesenggukan berkata, "Hiks ... hiks ... kok merasa dejavu."
Baim tertawa terbahak-bahak membuat Vega terperanjat dengan air matanya mengalir kembali. Zia yang melihat itu mencubit keras lengan pacarnya, memang tidak tahu waktu pikirnya.
"Lihat Lo buat Vega nangis lagi kan!" Geram Zia dengan menatap tajam.
Baim hanya menundukkan kepalanya inilah yang dinamakan suami takut istri. Memang pada dasarnya Baim itu mulai dulu bucin Zia. Apa yang Zia mau selalu dituruti, syukur Zia itu bukan gadis yang matre jadi uang Baim sangat aman.
"Lo emang nggak salah kok, Ve. Ditempat ini juga kami pernah lihat Lo bersedih," celetuk Dila dengan tersenyum simpul.
"Dila, kamu jangan panggil Vega dengan sebutan itu," ucap Liam yang didalamnya seperti ada kata perintah bagi Dila.
"Iya-iya! Posesif banget sih bang!" Seru Dila dengan memutar matanya.
Zai juga Baim hanya tertawa kecil karena mereka memahami yang satu ini, karena panggilan dibuat Liam itu panggil kesayangan yang berarti hanya lelaki itu yang bisa memanggilnya dengan nama itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You Head PMR [END]
Novela JuvenilAlesha Vega Anatasya Pradipta gadis yang polos tentang masalah percintaan. Disaat teman-temannya yang lain selalu asyik dengan pacaran dirinya malah cuek yang dipikirkannya hanyalah nilai, rangking dan karier masa depan. Vega sebenarnya orang yang c...