08. 1=1

5.7K 710 45
                                    

"Mowning, Whynnnn!" sapa Debie seraya mengunyah roti yang ada di mulutnya.

Aku mengambil roti dari mulut gadis itu. "Ck, abisin dulu roti yang ada di mulut lo!" seruku.

Debie manyun. "Iya emak, maafkan anakmu yang paling bontot ini," ujarnya seraya mengedipkan satu mata.

Dewi tertawa kecil. "Anak paling bontot Wina tetep baby Alex tersayang dong, Deb. Nggak usah ngaku-ngaku lo!" 

Debie menutup mulutnya--berakting kaget. "Apah? Bukannya Alex itu bapak gue?" tanyanya dramatis.

Aku menoyor kepala Debie. "Bapak lo dari Hong Kong kali! Dan kayaknya dulu gue adalah pengkhianat negara kalo punya anak modelan lo, Deb. Hipertensi tiap hari yang ada."

"Why? Why? Why? My X always said Debie very cute," ujar gadis itu seraya mengedipkan kedua matanya sok imut.

"Iya, soalnya Xavier buta, Deb," sambarku

"True love always blind, Win. It's called 'takdir'."

"Hah~ Inilah kenapa gue benci author cerita romance. Apa-apa takdir, apa-apa takdir. Halunya ketinggian."

"Nggak papa halu ketinggian yang penting dapet cuan plus kebahagiaan. Iya nggak, Deb?" bela Anna.

Debie mengajak Anna bertos ria. "Betul sekali. Dan lo harus hati-hati, Win. Biasanya yang nggak percaya takdir dan cinta pada akhirnya akan jadi si paling bucin," tutur gadis itu memperingatkan dengan gaya sok serius.

"Iya, gue bakal bucinin diri gue sendiri," jawabku kalem seraya mengoles selai stroberi.

Debie memutar bola mata malas. "Talk with my hand!" dengkusnya sebal.

"Udah-udah. Jangan berantem pagi-pagi nanti rejekinya dipatok ayam," ujar Dewi tak nyambung. Tetapi aku tahu gadis itu hanya sedang mencairkan suasana yang mulai tegang. 

"Gue berangkat, ya! Reza udah nunggu di depan!" lanjut gadis itu seraya meninggalkan dapur. 

"Wi, nanti malem jangan kencan! Temenin gue ke pesta ulang tahun temen!" teriak Debie.

"Oke, kalo Reza ngizinin!" Dewi balas berteriak.

Mendengar teriakan Dewi aku langsung memutar bola mata malas. Apa-apa izin Reza, harus bilang Reza dulu. Kalo Reza setuju gue oke. Dewi selalu begitu. Sebenarnya sudah lama aku mengatakan pada Dewi jika hubungannya dengan Reza itu toksik. Sifat Reza yang terlalu posesif dan control freak menurutku sudah keterlaluan.

Dewi bebas menjalani hidupnya tanpa dikontrol siapa pun. Gadis itu bebas melakukan apa pun tanpa harus minta izin pada siapa-siapa. Tetapi pada akhirnya aku hanya bisa memberitahu Dewi sejauh ini. 

Bisa jadi Dewi mendapatkan kebahagiaan yang besar dari hubungan toksik yang ia jalani dengan Reza. Kita semua berhak bahagia walau dengan cara paling tolol sekali pun, makanya aku merasa tidak punya hak mencampuri hubungan Dewi lebih jauh dari ini. Aku hanya berharap Dewi tidak melakukan suatu hal yang fatal karena dikekang terlalu lama dan akhirnya meledak. Ya, semoga....

"Gue juga berangkat, ya, Win, Deb. O-jek yang gue pesen udah nyampe," tutur Anna yang sontak membuatku dan Debie mengangguk bersamaan.

Tak berapa lama setelah Anna pergi, tiba-tiba gawai Debie berdering. "Mbak Lutfi video call, gue balik ke kamar ya cuy!" tutur gadis itu yang langsung aku respons dengan acungan jempol kanan.

Kini hanya aku yang tersisa di dapur. Aku pun memutuskan makan dengan tenang seraya membereskan selai-selai yang ada di meja. Kebetulan hari ini memang jatahku bersih-bersih.

"Pagi, Win!" sapa Alex seraya menguap lebar.

Aku melirik Alex sekilas. "Pagi juga. Inget ya, Lex, sikat gigi lo yang warna biru muda!"

Alex memakan setangkup roti tawar yang sudah ditaburi meses. "Iya, iya, bawel lo, ah. Oh, ya, siang ini gue bakal kencan buta. Jam makan siang," info pria itu.

Aku mengangguk mengerti. "Oke, ketuk aja kamar gue kalo lo mau berangkat. Satu bantuan untuk satu bantuan. Gue juga ogah punya utang."

"Eh, tapi tunggu," tahan Alex saat aku hendak meninggalkan dapur. "Lo sakit?" tanya pria itu seraya menempelkan telapak tangannya di dahiku.

Aku menyingkirkan tangan Alex dari dahi. "Nggak, gue cuma kurang tidur aja," jawabku.

Alex menelan roti yang ada di mulutnya. "Yaudah, kencan buta hari ini gue cancel aja. Lo tidur aja sampe puas, kalo emang ngerasa nggak enak badan langsung minum obat."

"Apaan, sih, Lex? Ngapain pake cancel kencan butanya segala? Gue cuma kurang tidur, abis ini tidur bentar juga udah fresh lagi."

Alex menatapku lama sebelum berbalik dan berjalan ke kamar mandi. "Lo hari ini tidur aja, kencan butanya diganti besok. Nggak usah ngajak debat lagi, Win. Gue udah nggak bisa nahan kentut." Setelah mengatakan itu Alex menutup pintu kamar mandi.

Aku menatap lama pintu kamar mandi yang tertutup itu. Mungkin efek obat yang aku minum pagi ini belum hilang, karena bayangan-bayangan indah tiba-tiba memenuhi kepala. Aku tersenyum samar, sebelum akhirnya senyum itu hilang karena dihantam kenyataan.

Ini semua hanya permainan.

Satu bantuan untuk satu bantuan. Bukannya aku harus berhenti sebelum jatuh terlalu dalam?

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang