51. Privilege (1)

2.4K 331 22
                                    

Aku terlalu semangat untuk bertemu dengan Maxwell hingga dadaku dipenuhi rasa senang yang membuncah. Tulisan Home Sweet Home dengan dekorasi Spider-Man di depan sana, terlihat sedikit miring di mataku. Lalu aku pun memutuskan untuk naik ke kursi dan membenarkan papan itu dan aku langsung tersenyum puas karena papan di depanku ini tak lagi miring.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang yang didominasi warna merah dan pernak-pernik Spider-Man. Maxwell suka Peter Parker, makanya untuk menyambut keponakanku itu aku mendekor ulang apartemen.

Aku berusaha membuat apartemen ini berwarna dan ramah anak-anak agar tidak kaku seperti biasanya. Aku juga membeli banyak minuatur mobil-mobilan, gundam, dan miniatur dinosaurus yang aku taruh di meja TV.

Wine cellar Siska yang biasanya penuh dengan berbagai minuman beralkohol juga aku ganti dengan berbagai jenis susu kotak, teh kotak, ciki, yang ditata rapi seperti di supermarket. Kulkas juga nggak aku biarkan kosong, ada buah-buahan segar, puding, cake, es krim, dan lainnya.

Kamar sementara untuk Maxwell juga sudah aku rombak habis-habisan. Sprei kasurnya gambar Spider-Man, selimutnya gambar Spider-Man, sandal rumahannya juga bentuk Spider-Man. Sehingga kini apartemenku sudah seperti tempat festival Spider-Man. Tapi tidak apa-apa, karena sungguh aku bakal melakukan apa pun untuk membuat keponakanku tercinta itu nyaman tinggal di sini.

Seharusnya Maxwell sudah ada di Jakarta sejak dua hari lalu, tapi ternyata skandal Siska belum reda padahal sudah ada klarifikasi resmi dari pengacara keluarga Soebardjo. Gosip di internet juga semakin panas dan liar, hingga akhirnya Siska memutuskan untuk menahan Maxwell lebih lama di London.

Selama dua hari ini aku terus melakukan video call dengan Maxwell, dan obrolan intens kami serta tingkah lucu keponakanku membuat aku langsung begitu menyayanginya. Aku tak akan membiarkan Maxwell terluka oleh skandal busuk ini, dan semua yang aku lakukan sekarang adalah untuk memberitahu Maxwell kalo ia bukan anak terbuang. Bukan anak yang tak diharapkan, atau aib besar keluarga Soebardjo seperti kata berita yang beredar di luar sana.

Maxwell akan sangat diterima di sini, aku berjanji akan membuatnya merasa dicintai dan aku akan memeluknya erat begitu keponakanku sampai nanti. Karena Maxwell bukan aib atau kesalahan, tapi ia adalah anugerah dari Tuhan. Hanya saja nasibnya buruk sekali karena lahir di keluarga yang terkutuk ini, tapi aku berjanji tidak akan membiarkan Maxwell sedikit saja merasakan apa yang pernah aku rasakan.

Dadaku berdebar kencang karena Siska baru saja memberi pesan kalau sekarang ia sudah sampai parkiran. Rasa panik sontak menyusup ke dadaku, sungguh aku merasa takut. Apa yang aku lakukan saat ini sudah cukup. Bagaimana kalau pada akhirnya ia tetap akan sangat terluka?

Alex memeluk tubuhku dari belakang dan mengecup rambutku lembut. "Hi, tenang oke? Maxwell pasti suka kejutan kamu, dia bakal baik-baik saja, dan pas buka pintu itu Maxwell bakal langsung tahu: kalo aunty-nya yang ini mencintai dia setengah mati."

Perkataan Alex membuat aku tenang, sehingga kini aku menyender di dada bidang pria itu. Aku mendongakkan kepala. "Thank you," ujarku seraya tersenyum lalu mencium bibir pria itu.

"Hello! Seriously, Sister? Kejutan apa yang sebenernya lo siapin buat anak enam tahun!" protes Siska seraya menutup mata Maxwell dengan tangan kanannya.

Aku memisahkan diri dari Alex dan sontak tersenyum lebar saat mataku bertubrukan dengan mata biru tua Maxwell yang mengintip di sela-sela jari Siska. Bocah itu cekikikan, membuatku juga ikut tertawa kecil.

Mengabaikan segala omelan yang meluncur dari mulut Siska, aku pun langsung memeluk Maxwell erat. "Welcome home, Spidey! Kamu tahu, Tante, udah nggak sabar pengin ketemu kamu sejak dua hari lalu!"

"Aku juga aunty!" seru keponakanku itu seraya mengecup pipiku lembut.

Untunglah pendekatanku selama dua hari terakhir berjalan baik, sehingga kini Maxwell tidak canggung bertemu denganku walau saat ini adalah pertemuan face to face kami yang pertama kali.

Lalu, Maxwell berkeliling apartemen dengan Alex. Anak itu berseru heboh saat ia masuk ke dalam kamarnya, sepertinya ia suka dekorasi yang aku lakukan. Ya ... baguslah kalau begitu.

Karena sekarang sudah hampir jam makan siang, aku pun menata meja makan dibantu Siska dan Odelia.

"Del, makasih banyak ya udah mau jagain Maxwell selama di London. Gue nggak tahu harus gimana kalo nggak ada lo."

"Iya, sama-sama, Kak. Gue seneng kok jagain Maxwell, jadi nggak usah sungkan."

Odelia dan Siska sudah bersahabat sejak SMP. Mereka berdua bak kembar siam tak terpisahkan dan selalu bersama. Kadang aku iri karena Odelia lebih dekat dengan Siska dibandingkan dengan aku. Gadis itu juga sangat baik, sungguh aku bersyukur karena di hari-hari berat Siska di London saat hamil dan melahirkan ada Odelia di sana.

Setelah makan siang siap, kami pun makan bersama. Syukurlah Maxwell tampak nyaman di sini, sepertinya segala ketakutanku sejak kemarin tidak terjadi.

Suara bel apartemen yang ditekan tidak sabaran membuat sesi makan siang kami sedikit terusik. Aku saling berpandangan dengan Siska, lalu aku segera melangkah ke arah pintu dengan tergesa.

Aku membuka pintu apartemen, lalu berdiri mematung di tengah pintu karena tamu yang datang adalah orang yang sangat tidak terduga.

***

Hi, perlu bikin ceritanya si Siska nggak, sih?

Sa,
Xoxo.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang