20. Hanya Pura-Pura

4.7K 731 37
                                    

Setelah membantu Tante Risma mencuci piring, aku memilih bersantai di gazebo samping rumah keluarga Rajendra seraya melihat Marshal dan Adeline bermain basket di halaman.

Terlihat Marshal kalah telak karena Adeline berulang kali merebut bola basket berwarna orange itu dari tangannya. Adeline memantulkan bola dua kali pada conblock, lalu kembali memasukkan si bulat orange itu ke dalam ring basket. Membuat Marshal lagi-lagi mengerang kesal dan tampak frustrasi.

Akhirnya Marshal memutuskan untuk menyudahi permainan dan berlari kecil ke arahku. Lalu pria itu membuka sebotol minuman yang ada di gazebo dan meminumnya hingga sisa setengah.

"Sepatu lo Tomkins terbaru ya, Kak?" tanya Marshal seraya duduk di sampingku.

Aku menatap sepatuku seraya mengerutkan glabela, bingung karena Marshal tiba-tiba bertanya begitu. Namun akhirnya aku mengangguk mengiakan. "Ho-oh, beli pas ada flash sale buy one get one free. Suka produk lokal juga?" tanyaku.

Makhluk berkromosom XY itu mengangguk antusias seraya tersenyum lebar. "Yoi! Dan Tomkins termasuk salah satu sepatu lokal favorit gue." Lalu setelah mengatakan itu Marshal langsung manyun. "Nyesel banget pas lagi ada flash sale itu gue lagi bokek. Jadinya, ya ... Lepas ajalah. Padahal diskonnya amat sangat menggiurkan. Maklum masih anak es-em-a, cuma ngandelin duit saku doang. Kadang gue mikir pengen cepet-cepet lulus dan dewasa. But, gue pikir jadi dewasa juga nggak seenak itu."

Aku tertawa kecil seraya menepuk-nepuk bahu Marshal. "Nikmatin aja yang ada sekarang, Al. Jangan cepet-cepet dewasa. Lagian kalo lo mau sepatu ini, bayarin aja sepatu gue yang satunya. Tadinya mau gue kasih ke Mas gue, tapi ternyata dia udah beli couple-an sama istrinya. Kalo lo mau, bayarin aja setengahnya," ujarku.

"Serius, Kak? Bayarin setengahnya?" tanya Marshal dengan netra berbinar.

"Iya, besok ambil aja di Twogether."

"Yes! Thanks, Kak! Tapi boleh minggu depan aja nggak gue bayarnya? Minggu ini duit gue abis buat persiapan nge-band," jelasnya memohon.

"Iya, boleh. Bayar kapan aja. By the way, lo nge-band? Mama lo emang ngizinin?"

"Tentu aja nggak. Makanya mama nggak mau tau urusan band gue ini. Pengeluaran dan lain-lain gue harus ngurus sendiri, walau band gue ini band resmi sekolah jebolan ekskul musik. But, ini yang gue suka. Selama masih ada kesempatan, gue mau nge-band sampe akhir."

"Lo beda banget sama Alex," kekehku.

"Satu-satunya persamaan gue sama Alex adalah kita sama-sama blasteran Jerman. Yang lain jangan harap." Marshal ikut terkekeh.

Aku mengangguk-anggukan kepala. "Ah, I see. But, Al, kalo lo suka nge-band dan emang punya kesempatan itu, ya, lakuin aja. Nggak semua orang punya kemewahan; dapet kesempatan yang sama dua kali. Jadi, kalo lo punya kesempatan itu, just take it or leave it. Kadang nggak memilih apa-apa pun, tetap meninggalkan penyesalan yang besar."

Kali ini Marshal tersenyum lebar. "Makanya gue memilih untuk mengambil kesempatan yang ada. Walau nggak ada yang dukung sama sekali. Nanti, kalo akhirnya gue menyesal kayak kata mama, kayaknya penyesalan itu nggak begitu buruk, kan? Seenggaknya gue seneng ngelakuin ini semua."

"Tentu, rasanya nggak bakal begitu buruk. Kenangan nggak bisa boong, kok."

Marshal tersenyum kepadaku sebelum berdiri dari duduknya. "Yaudah gue mau mandi dulu, gerah." Setelah mengatakan itu Marshal masuk ke dalam rumah dan aku kembali melihat Adeline yang masih setia bermain basket sendirian.

***

"Wanna say something?" tanya Alex seraya menghentikan mobil karena traffic light kini berwarna merah.

Aku menghela napas panjang sebelum menelengkan kepala ke arah Alex dan menatap matanya penuh penyesalan. "Gue mau minta maaf karena tadi lancang sama mama lo. Gue tau lo denger semua ucapan gue dari pintu dapur. Gue udah minta maaf sama Tante Risma, tapi gue juga ngerasa harus minta maaf sama lo. Karena gue tau gue udah lancang banget. Lo aja yang anaknya pasti nggak pernah ceramah ke mama lo kayak gitu, sedangkan gue yang orang luar malah sok tau banget."

Alexandre tersenyum lembut kepadaku. Sebuah senyuman yang membuatku tenang, karena jujur saja, sejak tadi aku sedikit menyesal karena bersikap lancang kepada Tante Risma.

Apa sih yang tadi gue pikirin? Tante Risma itu ibunya pacar gue I mean ibunya Alex. Dan ini lebih aneh lagi, kenapa gue ngerasa nggak enak padahal gue bukan siapa-siapanya? Please, ya, sampai gajah bertelur pun, Tante Risma nggak bakalan pernah jadi ibu mertua gue. Jadi, perasaan gue saat ini bener-bener nggak masuk akal!

"Tenang aja, Win, gue yakin mama nggak bakal keberatan sama perkataan lo tadi. Tapi karena tadi lo bilang ke mama kalo lo pacar gue, gue pikir tadi lo emang bunuh diri, sih," kekehnya geli.

Yeah, that's what I mean.

"Soalnya, mama pasti bakal mikir seribu kali lipat buat restuin hubungan kita," lanjut pria itu.

Aku memijit keningku yang terasa pening. "Ya, lo bener. Ini baru pertama kali gue ketemu calon ibu mertua dan udah ngajak perang. How stupid," erangku.

Namun, seperti ada yang memukul kepalaku keras-keras, tiba-tiba aku tersadar. Jika aku hanya pacar bohongan Alex. Jadi, siapa yang peduli jika aku bertindak seenaknya? Kenapa harus khawatir jika kami tidak akan dapat restu? Bukannya aku berani karena memang tidak mengharapkan apa pun?

Kenapa juga gue harus khawatir? Ya, lo emang stupid, Win! Really really stupid! Karena tadi sejenak lo lupa,  kalo lo bukan siapa-siapa.

Dengan panik aku segera menatap Alex serius. "Gue tau kita cuma pacaran pura-pura, Lex. Gue juga nggak bermaksud gimana-gimana. Kita cuma pura-pura, kita punya perjanjian. Satu bantuan untuk satu bantuan. Iya, kan? Dan soal yang stupid-stupid itu, maksud gue, bego banget kalo gue nanti akhirnya ketemu calon mertua beneran malah bilang gitu. Eh, tapi gue memutuskan buat nggak menikah selamanya. Jadi, jadi, intinya—"

"Hei, Win, gue tau apa maksud lo."

"—Lo jangan salah paham, gue bukannya mau jadi menantu mama lo atau apa. Gue—"

"Gue tau lo cuma pura-pura, oke? Jadi, lo nggak perlu jelasin apa pun. Karena kalo lo beneran ngomong kayak gitu ke mama saat kita pacaran beneran, sekarang gue pasti jadi pria paling bahagia di dunia karena punya pacar yang cinta banget sama gue. Tapi kita cuma pura-pura. Jadi, jangan ngerasa bersalah biar gue juga nggak baper. Oke? Gue tau intinya, kok," jelas pria itu dengan tatapan kecewa. Tetapi dengan cepat Alex memalingkan wajah ke depan karena lampu merah berubah warna menjadi hijau. Kini pria itu fokus menyetir.

Nggak, Lex, nyatanya lo nggak tau apa-apa.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang