Aku langsung merebahkan badan di kasur bergitu rambutku yang basah akhirnya kering. Rasa lelah dan pegal karena bekerja seharian langsung terasa begitu tubuhku bertemu dengan benda empuk itu. Kamarku di Twogether memang tidak seluas kamar rumah keluarga Soebardjo di Pondok Indah. Namun setidaknya di ruangan yang sempit ini, aku justru mendapatkan ketenangan yang aku mau.
Mungkin di mata orang lain seorang Wina Rakasiwi Soebardjo adalah orang tolol. Karena memutuskan untuk keluar dari rumah megah yang merupakan warisan turun temurun dengan fasilitas super lengkap dan berbagai furniture nyaman. Bahkan, istana Soebardjo punya lapangan golf sendiri di belakang rumah. Benar-benar rumah impian semua orang.
Sejak lahir aku memiliki segalanya, bahkan jika mau, seorang Soebardjo bisa membeli jiwa dan kebahagiaan orang lain. Tetapi nyatanya, sejak aku berumur tujuh belas tahun, aku hanya ingin menghilang dari dunia ini. Semuanya terasa menyesakkan, bahkan hanya untuk sekedar menghidu oksigen setiap hari.
Aku memandang langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Lalu memejamkan mata saat kenangan-kenangan hidup selama delapan tahun terakhir berputar di kepala. Setiap selesai bertemu dengan Mbak Hanum aku memang seperti melakukan nostalgia dengan berbagai hal menyakitkan di masa lalu.
Bukan jenis overthinking yang akan membuatku sulit terlelap dan terasa sesak napas karena semua rasa sakit itu merayap di setiap inci kulit, tapi lebih seperti penerimaan dan pengakuan tentang aku yang seutuhnya. Kalau aku hanya manusia, aku membuat kesalahan, kadang berharap berlebihan, dan sama sekali tidak sempurna.
Aku memang belum berdamai dengan semuanya. Tetapi aku merasa lebih baik walau belum sepenuhnya sembuh. Aku tidak lagi berpikir untuk mati, agar lenyap dari neraka yang menyiksaku ini.
Untungnya delapan tahun lalu aku bertemu Mbak Hanum. Seorang psikiater yang sengaja aku datangi setelah Mama membebaskanku dari penjara. Setiap sebulan sekali aku bertemu dengan Mbak Hanum untuk terapi. Dengannya aku bebas bercerita dan mengeluh tentang apa saja. Tanpa dihakimi dan diceramahi macam-macam, dan berkat bantuannya kini aku semakin lebih baik. Walau masih tetap harus minum obat yang ia resepkan.
Ingatan tentang permainan 50:50 yang kami mainkan membuatku kembali membuka mata. Lalu aku meraih ponsel yang ada di nakas dan menyalakannya karena tadi ponselku mati total sebab kehabisan baterai.
Aku memasang headset di kedua telinga, lalu memutar rekaman tentang kontrak friends with benefit super konyol yang aku buat dengan seorang Alexandre Lange Rajendra. Aku tertawa kecil saat mendengar suaraku dalam voice recorder yang melarang kami untuk saling jatuh cinta sampai diulang tiga kali. Tetapi nyatanya, sejak awal aku sudah jatuh cinta pada pria itu. Itulah mengapa sejak awal aku memilih seorang Alexandre saat Mbak Hanum juga memberiku pilihan Jonathan atau Ardhito Sahala.
Setelah akhirnya rekaman itu selesai, aku pun segera bangkit dari tiduranku lalu menyambar sebuah undangan super norak dengan hiasan bintang kecil warna-warni. Andai saja fans Ardhito Sahala tahu kalau artis idolanya yang menurut mereka super kece dan keren itu ternyata super alay begini, aku yakin mereka semua pasti akan langsung ilfeel seketika. Ah, dasar si sangklek satu itu, memangnya ia bocah? Bisa-bisanya membuat undangan ulang tahun dengan desain se-norak ini. Kenapa harus perpaduan bintang warna-warni dan Sasuke Uchiha coba? Hah, dasar gila!
Lalu, sebelum aku berubah pikiran, aku pun segera keluar kamar untuk mengetuk pintu kamar Alexandre dengan pelan tapi cukup brutal. Begitu pria itu membuka pintu, aku pun langsung nyelonong masuk ke dalam karena takut dipergoki oleh penghuni yang lain.
“Lex, ayo ke pesta bareng gue,” ujarku dengan satu tarikan napas.
“Win, harusnya lo tau kalo gue sekarang lagi kesel sama lo. Kenapa, sih, lo suka seenaknya sendiri? Gue lagi nggak mood main pacar-pacaran sama lo. Inget, satu bantuan untuk satu bantuan. Dan semuanya berantakan—“
“Kali ini gue aja yang ngutang. Ayok jadi pasangan gue di pesta,” ujarku memohon.
Alex hanya memandangku lama tanpa bersuara, hingga akhirnya kami terkurung di keheningan yang panjang. Pandangan kami saling beradu, dan sejak dulu, netra pria itu memang selalu sangat indah. Begitu menghanyutkan, tatapannya seperti menenggelamkanku dalam samudera yang begitu dalam dan memberi ketenangan.
“Lo beneran cuma settingan sama Ardhito?” tanya pria itu dengan sorot netra berubah tajam.
“Iya, si sangklek itu minta bantuin gue biar nggak disangka gay. Lo tau betapa kejamnya dunia hiburan, senggol bacoknya kenceng. Lo boleh keliatan punya banyak teman, fans, atau kolega. Tapi lo nggak tau mana yang tulus mana yang nggak. Jadi, Dhito minta bantuan gue. Karena ... ya, anggap aja kami punya kartu AS masing-masing. Kalo gue menjatuhkan seorang Ardhito Sahala, Ardhito juga bakal menjatuhkan gue. Hubungan kami kayak gitu.”
Lagi-lagi Alex menatapku lama dan aku balas menatap netra pria itu dengan pandangan bertanya, karena sepertinya ia ingin menanyakan sesuatu, tapi tidak bisa ia ungkapkan.
“Lain kali tolong koordinasikan segalanya sama gue dulu, Win. Lo tau perjanjian kita, hubungan ini hanya berhasil kalo kita sejalan.”
Aku mengangguk mengerti. “Janji.”
“Jadi, pesta apa ini?” tanya pria itu akhirnya.
“Pesta ulang tahunnya Ardhito. Dia taunya kita pacaran, jadi dia ngundang kita jadi couple.”
Alex berdeham kecil, dan aku tidak tahu mengapa sepertinya pria itu terlihat sangat senang. Raut mendung pria itu berubah jadi lebih ceria.
“Kapan?”
“Besok malem. Pesta topeng, kita dikasih kostum khusus Beauty and The Beast,” jelasku yang sontak membuat Alex memelototkan matanya. “Jangan bilang itu topeng yang ada di meja bawah buat gue?”
“Memang,” jawabku tanpa dosa dan Alex langsung mengumpat kesal setelahnya.
Lalu sepanjang malam itu aku dan Alexandre membahas soal topeng itu semalaman. Sungguh menyenangkan mendengar pria itu merajuk dan terus mengoceh.
Seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Mate! (Completed)
Romance#Twogetherseries2 Alexandre Rajendra dan Wina Rakasiwi Soebarjo adalah teman satu rumah sejak dua tahun lalu. Anggota Twogether menjuluki mereka Tom and Jerry karena tidak pernah akur. Namun bagaimana jika pada suatu malam penuh bintang mereka memb...