66. The Truth (1)

1.9K 269 13
                                    

Kalau biasanya suasana meja makan keluarga Soebardjo akan dipenuhi keheningan dan ketegangan yang membuat nafsu makan hilang, maka ada yang berbeda dengan suasana meja makan kali ini. Karena saat ini kami makan sambil sesekali tertawa dan tukar lauk pauk bahkan kadang rebutan, hap l ini semua karena kehadiran Maxwell.

"Aku terima tantangan Om Alex! Ayok main batu kertas gunting, yang menang bisa makan telur mata sapi terakhir,” tantang Maxwell serius.

“Bi Sari bisa gorengin telur lagi kalo kamu masih mau, Max,” potong Mama.

“No, Oma! Pokoknya Oma nggak boleh ikut campur, ini urusan para lelaki,” jawab Maxwell lagi yang sontak memancing tawa kami semua. Apalagi wajah Maxwell yang menatap Alex dengan serius benar-benar menggemaskan.

Alex menatap balik Maxwell dengan serius, lalu mereka duduk berhadapan karena mereka memang sejak tadi duduk bersebelahan. “Oke, ayo boy, dan jangan nangis kalo kamu kalah.”

“Oke, uncle, ayo mulai. Batu-kertas-gunting!”

Pada akhirnya Alex-lah yang menang karena pacarku itu mengeluarkan gunting sedangkan Maxwell mengeluarkan kertas. Alex pun langsung bersorak karena kemenangannya. Pria itu menatap Maxwell jahil. “Oke, boy. Karena uncle yang menang, maka telur mata sapinya buat uncle,” goda Alex seraya memindahkan telur mata sapi ke piringnya dengan gerakan slow motion—karena pria itu tengah menggoda Maxwell.

Dan sepertinya itu cukup berhasil, karena saat ini Maxwell langsung memonyongkan bibir dan melipat kedua tangan di dada. Ah, menggemaskan sekali.

“Lex, telurnya buat aku aja boleh?” tanyaku seraya tersenyum manis.

“Iya, baby, ambil aja.”

Lalu aku pun mengambil telur dari piring Alex, tapi aku tidak menaruh telur tersebut di piringku, melaikan di piring Maxwell.

“Telurnya buat kamu, Spiderman. Om Alex ngasih telurnya buat Tante, tapi karena kenyang, telurnya kamu aja yang makan.”

“Yey, makasih Tante!” teriak Maxwell antusias. “Tapi kenapa uncle Alex ngasih telur ke aunty Wina gampang banget? Nggak pake suit dulu? Curang! Curang!”

“Itu karena uncle Alex calon-calon suami takut istri, boy. Pokoknya besok kalo kamu udah gede jangan jadi budak cinta kayak uncle Alex, oke?” kali ini Bondan yang bicara.

“Ck, Mas! Gue tahu lo iri sama sexting gue dan Alex—makanya sana cari cewek! Udahlah nggak usah kebanyakan komentar.”

“Heh, jangan ngomong sembarang di depan anak gue!” protes Siska seraya menutup kedua telinga Maxwel sambil melotot, lalu adikku itu menyuruh Maxwell untuk menonton televisi karena bocah berumur enam tahun itu memang sudah selesai makan.

Setelah Maxwell dan Devan meninggalkan meja makan, Siska langsung menatap Bondan tajam. “Seriously, Mas, lo masih suka nyadap ponsel kita semua?”

“Yups, tanpa terkecuali.”

Bondan langsung mengangkat kedua tangannya—tanda menyerah. “Wohooo~ jangan serang gue begini dong. Gue hanya menjalankan tugas Oma, dan lo tahu Oma nggak menerima penolakan. Kalian tahu sendiri Oma kalo ditolak sensian, gue ogah dijodohin. Shit, itu bahkan lebih mengerikan daripada dicoret dari daftar warisan.”

“O ... ke. Ini gue sama Riani nggak ikut kena sadap juga, kan?” tanya Mas jodi ngeri.

“Mending lo nggak tahu, Mas. Gue yang akan memastikan sendiri kalo kalian aman. But, sebagai saran, mending lo banyakin sexting aja sama Mbak Riani, biar Bondan mampus karena iri.”

“Gue nggak pernah iri sama sexting siapa pun! You dont have idea apa yang pernah gue liat—oke bisa kita berhenti bahas ini? Karena gue bahkan belum makan desert gue!”

“Oh—jadi lo gay, Mas? Nggak mau dijodohin dan nggak horny baca sexting.”

“Sudah gue duga.”

“Yups, Bondan Soebardjo gay, good skandal baru sebentar lagi keluar.”

“Dan, Sis, tenang aja skandal Bondan kali ini pasti lebih menggemparkan Indonesia daripada skandal lo waktu itu.”

“Trust me, Mas. Trending di Twitter nggak gitu buruk.”

“Salah kalo kalian nyerang gue begini, gue punya kartu As kalian berdua,” sahut Bondan seraya tersenyum smirk. Dan sontak itu membuat aku dan Siska diam, tapi kami berdua menatap sepupu kesayangan kami itu dengan sinis.

Aku dan Siska tahu bermusuhan dengan Bondan Soebardjo adalah pilihan yang buruk, makanya sejak dulu kami tidak mau punya masalah dengan sepupu kami yang satu ini—kalau dengan sepupu yang lain sih bodo amat. Toh, sepupu kami yang lain memang idiot semua.

Ingat, saat kamu berhadapan dengan lawan yang mustahil kamu kalahkan, maka kamu tidak perlu mencoba untuk menyerang, jadikan saja ia sekutumu.

Setelah makan semua orang pun meninggalkan meja makan. Aku meninggalkan Alex bermain dengan Maxwell dan Devan. Kedua keponakan itu sudah begitu akrab belakangan ini. Dan saat dua bocah itu bersatu, mereka bisa jadi duo paling menyebalkan sedunia.

Lalu aku berdiri cukup lama di depan sebuah pintu kamar yang tepat ada di samping tangga lantai dua. Dadaku sesak lagi, tanpa sadar air mata sudah mengalir di kedua mataku. Aku membuka pintu tersebut, lalu memeluk Mama dari belakang. Aku menangis sangat keras di punggung Mama yang rasanya hangat. Aku menangis sesenggukan begitu keras, hingga kamar Mama yang luas ini, hanya dipenuhi oleh suara tangisanku.

***

Seharunya chapter ini panjang, tapi karena Sa hai pertama mens, dan badan rasanya aneh + nggak enak. Lanjutannya besok, ya! Jangan lupa jaga kesehatan!

Sa,
Xoxo.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang