64. They Know

1.8K 277 5
                                    

Setelah menginap di rumah sakit selama tiga hari seperti saran Mbak Hanum, akhirnya hari ini aku diperbolehkan pulang. Aku memutuskan untuk pulang ke Twogether, karena tempat itu lebih membuatku nyaman walau Mas Jodi menyuruhku untuk istirahat di rumah saja.

Mas Jodi memang kecewa dengan penolakanku, tapi setelah aku menjelaskan keadaanku, akhirnya kakakku itu mengerti. Ia hanya mewanti-wantiku jika terjadi sesuatu aku harus segera menghubunginya.

Namun, sepertinya pulang ke Twogether juga bukan pilihan yang bagus-bagus amat, harusnya tadi aku pulang ke apartemen saja atau menginap di apartemen Alex. Kan, setidaknya begitu sampai apartemen aku dan Alex bisa langsung cuddle di ranjang entah lanjut nonton Mayfair Witch atau hanya tidur pelukan sampai besok pagi.

Anggota Twogether memang menyambut kedatanganku dengan hangat, mereka bahkan sampai memasakkan makanan favoritku dan menyetok berbagai buah yang sudah dikupas. Debby juga menyiapkan selimut untuk memastikan tubuhku tetap hangat.

Namun, tebalnya selimut bulu yang menutupi tubuhku tetap tidak bisa menghalau tatapan dingin Debby dan yang lainnya. Ya ... saat ini aku dan Alex seperti akan disuruh kawin paksa—oh lebih tepatnya dieksekusi mati karena ketahuan kumpul kebo di kosan ini. Sungguh, kalau tatapan Debby dan yang lainnya adalah laser, pasti tubuhku dan Alex sudah bolong-bolong sekarang.

Guys ... inget nggak pas pertama kali gabung ke Twogether Wina nyuruh kita tanda tangan perjanjian kalo nggak boleh kencan di Twogether—kalo mau esek-esek atau mesra-mesraan silahkan cari tempat lain. Yang ngelanggar out! Dan pengumuman ... pengumuman ... Alexandre Rajendra dan Wina Rakasiwi munafik Soebardjo kencan! Dan apa kalian percaya kalo selama di Twogether mereka nggak ngapa-ngapain? Dapur, atap, halaman belakang, tangga? Oh, shit! Shit! Shit! Jangan bilang kalian juga nyobain kamar gue?” cerocos Debby dramatis.

“Oh, shit! Please, kalian nggak having sex di ruang baca gue, kan?” Kali ini Anna yang melotot ke arah kami berdua.

“Damn! Kamar gue sama Wina sebelahan, please bilang kalo kalian lebih sering ngelakuin itu di kamar Alex. Soalnya—ahsudahlah I hate my mind!” teriak Dewi dengan ekspresi ngeri.

Jonathan tampak lebih santai, sedangkan Bayu sudah tidak pulang sejak tiga hari lalu sehingga ia tidak perlu menyaksikan drama murahan yang sebentar lagi terjadi.

Aku melempar selimut yang menutupi tubuhku, lalu berkacak pinggang dan melotot ke arah tiga sahabat sialanku yang sejak tadi menuduhku macam-macam.

“Atap, tangga, halaman belakang, dan kamar lo your head, Deb! Lo pikir gue sama Alex maniak sex? Kita nggak pernah ngelakuin itu—gue masih perawan! Karena Wina Rakasiwi MUNAFIK Soebardjo ini bukan penganut sex before married—“

“Oh, yang kalian tidur bareng itu berarti nggak ngapain-ngapain?” potong Jonathan seraya tersenyum menggoda.

“Lo yang nutup pintu kamar gue waktu itu?” tanyaku dengan kening berkerut yang langsung direspons Jonathan seraya menganggukan kepala.

Aku tersenyum kecil pada Jonathan. “Thanks, Bang.” Dan lagi-lagi Jonathan hanya menganggukan kepalanya dengan tatapan yang seolah mengatakan—gue bahagia kalo lo juga bahagia. Ah, Jonathan memang selalu sebaik ini.

Lalu aku kembali menatap Debby-Anna-Dewi tajam. “Gue juga nggak pernah having sex di ruang baca lo karena selalu lo kunci, Na! Kepikiran aja nggak pernah sialan! Dan, Wi, nggak usah pura-pura nggak tahu, karena gue udah pernah bilang soal hubungan gue dan Alex sama lo.”

“Oh, jadi cuma gue si polos yang nggak tahu apa-apa? Jahat kalian semua! Padahal gue udah nganggep kalian kayak keluarga. Teganya, teganya, teganya,” akting Debby dramatis yang sontak membuat aku dan Dewi memutar bola mata malas.

Aku menghela napas panjang, meminum segelas air yang ada di meja, dan berkata, “Oke, sebagai tanda maaf gue ... gue bakal bayarin sewa Twogether setahun full. Kalo Mbak Tari nagih, bilang aja gue yang bakal bayar.”

“Oke, Wina lo dimaafkan,” sahut Anna cepat.

“Yups, Win, lo tahu gue nggak pernah masalahin hubungan lo sama Alex,” ujar Dewi.

Debby mendengkus keras. “Cih, semua orang ternyata sama aja, ya. Bahkan, Anna dan Dewi pun langsung goyah gara-gara money.”

“Ya, maaf, Deb, gue sama Dewi bukan lo yang anaknya menteri pariwisata.”

“Correction, anak haram, Na, a-n-a-k h-a-r-a-m!”

“Ya, tetep aja duitnya nggak haram, Deb. Jadi, lo porotin aja bapak lo. Sekalian porotin Benjamin, gue tahu dia nyebelin, tapi duitnya nggak nyebelin,” ujarku seraya mengedipkan satu mata.

Debby balas mengedipkan satu mata. “Nah, memang itu rencananya, Win. Dan please ... tanggepin emailnya Bryan. Ya, si banyak bacot itu emang nggak gangguin lo—karena lo blokir semua sosmednya. Tapi gue yang jadi korban tahu nggak! So, mungkin ini saatnya lo berhenti kabur-kaburan, Win!”

“Dan Wina ... malam ini kita tidur bareng. Lo nggak boleh kumpul kebo lagi sama Alex!”

“Ah, yang bener aja, Deb!” protesku, tapi Debby si sialan itu sudah keburu keluar rumah karena hari ini memang jatah gadis itu belanja bulanan.

“Lex...”

“Ya, baby?”

“Mau pulang ke apartemen aku aja nggak?”

Huek ... I am done with this shit!” teriak Anna seraya berdiri duduknya dan menuju kamar.

Dewi dan Jonathan memang sudah pergi dari tadi, sehingga kini hanya aku dan Alex yang ada di ruang tamu. Aku pun langsung masuk ke pelukan Alex, dan pria itu langsung memelukku erat. Rasanya hangat. Tubuh kami seperti potongan puzzle yang memang diciptakan satu sama lain, hingga semuanya terasa pas.

“Tidur, baby, kamu pasti capek,” ujar Alex seraya mengecup kepalaku lembut.

“Ya, maunya gitu. Tapi Mas Bondan udah mau nyampe,” sahutku yang direspons dengan anggukan mengerti oleh Alex.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang