49. Sister (2)

2.2K 334 14
                                    

Dengan dibantu satpam akhirnya aku bisa keluar apartemen tanpa ketahuan wartawan. Setelah masuk mobil aku pun langsung membuka kacamata hitam dan pashmina yang tadi menutupi kepalaku. Lalu aku melajukan mobil seraya sesekali menengok spion, takut diikuti dari belakang. Tetapi untungnya aksi melarikan diriku tidak ketahuan hingga kini aku bisa mengemudi dengan santai.

Sebelum mampir ke Twogether aku pun mampir ke supermarket terdekat dulu untuk membeli peralatan mandi untuk Siska. Ya, si medusa sialan itu ternyata sembunyi di Twogether setelah membuatku kelimpungan seharian. Dan kampretnya seluruh anggota Twogether sepertinya sengaja membantu Siska untuk sembunyi Sial, seharusnya mereka ada di pihakku!

Setelah membeli semua keperluan Siska dan membeli beberapa camilan, aku pun langsung mengendarai mobil ke Twogether. Suasana Twogether tampak lengang siang ini, maklum saja karena semua orang pasti sudah pergi bekerja. Aku membuka pintu Twogether dengan perlahan dan aroma bubble gum yang sangat menyengat langsung menusuk hidungku. Aku hapal betul parfum siapa ini, Anna pasti adalah orang terakhir yang meninggalkan Twogether.

Setelah menaruh tote bag di dapur aku pun segera masuk ke dalam kamarku, terlihat Siska tengah berdiri di dekat jendela seraya menelepon seseorang. Aku menaruh selimut yang berserakan di lantai kamar ke keranjang baju kotor dan duduk di tepi ranjang. Aku dapat mendengar percakapan yang Siska dan si penelepon bicarakan samar-samar, dan seperti dugaanku sebelumnya. Memang ada yang tidak beres di sini.

Siska menyudahi teleponnya dan menyugar rambutnya yang lepek. Kedua mata gadis itu bengkak, menandakan jika ia baru saja menangis semalaman. Kondisi kamarku yang seperti kapal pecah juga menandakan jika Siska habis ngamuk tadi malam.

Lalu gadis itu duduk di sampingku dan untuk beberapa saat hanya ada keheningan yang memenjara kami. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku katakan dan tanyakan, tapi semua seolah menyangkut di tenggorokan. Hingga akhirnya aku sadar, kalau aku tidak mau menanyakan apa pun. Aku hanya ingin memeluk adikku itu.

Tanpa bicara aku pun langsung meraih Siska ke dalam pelukanku. Dan Siska langsung memelukku sama eratnya. Keheningan masih menguasai kami, hingga pelukan kami berdua justru terasa canggung.
Aku berdeham lalu melepaskan pelukan canggung kami yang kelewat erat.

"Kenapa lo nggak nangis saat gue peluk?" tanyaku canggung. Ya, aku tahu pertanyaanku memang tolol.

"Emangnya gue harus nangis?" tanya Siska polos tapi dengan wajah super datar.

Membuatku sontak memutar bola mata malas. Siska bakal selalu jadi Siska. Dua puluh tahun terakhir benar-benar mengubah banyak hal. Dan saat aku menatap mata hitam legam adikku itu, aku sadar jika Siskaku nggak pernah ke mana-mana. Kehangatan dan kepolosannya masih ada di sana. Hanya saja mungkin beginilah cara Siska bertahan, dengan jadi si apatis yang seolah tidak peduli dengan apa pun.

"Heart and Soul, eh?" tanyaku membuka pembicaraan. Kali ini kami berdua sudah tiduran di kasur seraya sama-sama menatap langit-langit kamar.

"Gue gabut terus scroll akun galau di instagram dan liat kalimat ini; if you love someone you'll swallow your pride. Terus gue inget seorang Wina mana mau swallow her pride, dan itu bikin gue marah. Dua puluh tahun sudah terlalu lama ... makanya kalo gue nggak bisa mengesampingkan harga diri Kakak, kenapa nggak gue hancurkan sekalian? I know you love me too, Sister. But look ... I love you more. I swallow my pride karena udah muak sama semuanya. And I hope that fact will hurt your pride. Nah, I win again. Always."

"Yes, always," ujarku seraya menganggukkan kepala. Aku tersenyum ke arah Siska, dan gadis itu langsung membalas senyumanku. "Thanks, karena udah mencintai gue lebih banyak. You know ... I always love you. So, gencatan senjata?"

"Want to know a truth, Sister? Gue nggak pernah mengacungkan senjata ke lo, tapi lo yang selalu mengacungkan senjata ke siapa pun. Hingga semuanya menjauh. Tapi gue pastikan lo aman sama gue. Gue janji nggak bakalan pernah melukai atau membiarkan lo terluka."

Tanpa sadar air mata mengalir di kedua pipiku dan aku pun langsung menghapusnya cepat-cepat. "Thanks, Siska, gue...."

Siska melempar tisu ke mukaku seraya menghapus air mata yang ada di sudut matanya. "Dasar cengeng!" ledeknya.

Aku tertawa kecil. "Dasar sialan!" Lalu kami saling melempar senyum dengan air mata merembes di sudut mata masing-masing.

Siska pun langsung bangkit dari tidurannya karena ponselnya kembali berbunyi, tapi kali ini ia hanya menjawabnya dalam beberapa detik sebelum gadis itu matikan kembali.

"Lawyer," jelas Siska tanpa diminta. "Semua klarifikasi udah beres dan terkendali. Gue bisa jemput Maxwell besok."

"So, namanya Maxwel?" tanyaku antusias.

Lalu Siska pun mulai menceritakan semuanya dengan mata berbinar. Membuat senyuman super lebar terbit di bibirku.

Siska ... terima kasih karena mencintai aku sebegitu besarnya. Lubang raksasa di dadaku seolah terisi sedikit, dan itu membuat aku lega.

***

Cie baikan, gampang kan Win gampanggggg~

Bah, cerita ini ternyata lebih panjang daripada yang gue kira. Semoga nggak bosen ya kalian huhu.

Sa,
Xoxo.

Ketemu dua hari lagi, bye!

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang