25. Seperti Tenggelam

4.1K 609 24
                                    

Di akhir pekan ini, Twogether begitu sepi. Dewi menginap di panti karena Ibu Reni ulang tahun. Jonathan sedang pulang ke Bogor. Debie sedang liburan bersama ibunya. Anna menginap di perpus lagi karena ada buku baru yang datang, sedangkan Bayu mungkin lembur lagi di galeri seni Dirgantara.

Sehingga kini aku hanya berdua saja dengan Alex di Twogether. Niatnya, kami ingin melihat final badminton olimpiade Tokyo seraya makan popcorn home made. Tetapi si bujangan jompo itu memang selalu menjadi si pikun menyebalkan.

Aku menyuruh Alex segera mematikan wajan berisi jagung popcorn setelah lima menit, tapi ia malah lupa. Hingga setengah popcorn buatanku gosong dan sebagian menempel di wajan sehingga meninggalkan warna hitam pekat mengerikan.

Aku memijit keningku yang terasa pening seraya merendam wajan gosong itu di wastafel. Kapan sih balita itu bakal berubah? Sesering apa pun aku mengomel hingga pita suaraku hampir putus, Alex tetap tidak pernah berubah. Seolah omelanku hanya masuk kuping kanan lalu keluar kuping kiri.

Alex masih saja menaruh kotak susu kosong di kulkas. Masih sering menggunakan sikat gigiku, walau sudah jelas biru tua dan biru muda itu berbeda. Untung ia tidak lupa bernapas juga. Kalo lupa, kan, berabe.

Hehe, gue beneran minta maaf, Win. Tadi tuh ada tukang cimol di depan. Dan gue kepengen, jadinya gue tinggal beli bentar. Mau?” tanya Alex seraya menyodorkan cimol yang tersisa dua biji ke arahku dengan polosnya.

Aku hanya menatap Alex datar, lalu memutuskan untuk duduk di samping pria itu karena final badminton antara Greysia Polii yang berpasangan dengan Apriyani Rahayu  melawan pasangan Tiongkok Chen Qingchen—Jia Yifan akan segera dimulai.

Alex menahan rambutku yang jatuh karena aku menunduk mengambil popcorn. “Oke, gue akuin gue salah. Maafin gue, ya?” tanya pria itu tulus. Lalu ia mengambil ikat rambutku di atas meja, melompat ke belakang sofa, dan mengepang rambutku ala kadarnya.

“Gue bakal bikinin popcorn yang baru buat lo. Berbagai rasa, deh. Janji gue yang masak sendiri. Dan ... panci gosongnya entar gue aja yang nyuci,” ujarnya lembut walau dengan nada enggan.

Dan pria itu masih fokus mengepang rambutku. Menyentuh kepalaku dengan super hati-hati. Seolah satu tekanan keras akan membuatku terluka.

Aku menarik kedua sudut bibirku sebentar, lalu menawari Alex popcorn yang bentuknya agak kacau dan hanya aku taburi garam dapur agar berasa. “Mau?”

Alex mengikat ujung rambutku sebelum memasukkan tangannya ke wadah popcorn di pangkuanku. “Jadi, udah nggak marah?” tanyanya seraya kembali melompati belakang sofa dan duduk di sampingku.

“Sesuai janji. Lo kudu bersihin wajannya sampe bersih,” sinisku seraya berdeham kecil.

“Iya ... Iya ... Kanjeng Ratu,” tutur Alex sedikit kesal.

Lalu kami berdua sama-sama diam. Hanya ada suara komentator yang menggema dari speaker televisi. Anehnya, Alex terlihat kesal. Entah karena alasan apa.

Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi aku urungkan. Aku takut suara yang keluar dari mulutku nanti terdengar aneh—gemetaran—karena saat ini jantungku seolah mau pecah sebab berdebar terlalu keras. Perlakuan manis ini ... Membuatku hampir gila.

Pertandingan final bulu tangkis olimpiade Tokyo antara ganda putri Indonesia melawan ganda putri Tiongkok akhirnya dimulai. Suasana canggung tadi pun berangsur-angsur mencair dengan sendirinya. Aku dan Alex sama-sama tegang seiring dengan angka demi angka yang diraih setiap pemain. Tak jarang kami bertos ria seraya tertawa senang saat ganda putri Indonesia mendapat poin. Lalu kami juga bertatapan seraya saling mendesah frustrasi saat lawan mendapatkan poin.

Tetapi untungnya hari ini Chen Qingchen yang biasa dipanggil Dora oleh BL—Badminton Lovers—sedikit oleng sehingga sering melakukan kesalahan. Tentu saja itu menjadi keuntungan untuk ganda putri Indonesia karena mendapat poin cuma-cuma.

Sebenarnya pertandingan hari ini juga di luar ekspetasiku dan Alex. Kami pikir bakal penuh dengan drama kejar-kejaran poin atau tikung menikung. Namun ternyata tidak, seolah kemenangan memang sudah ditakdirkan untuk Indonesia tercinta, pertandingan hari ini berjalan begitu mulus. Poin demi poin terus diraih oleh ganda putri Indonesia, padahal biasanya jika melawan ganda putri Tiongkok pertandingan tidak pernah mudah. Selalu diwarnai dengan tikung menikung poin dan jatuh bangun di lapangan.

“Ayo cici Ge abisin! Abisin!” teriakku seraya menggenggam erat tanya Alex.

Smash, Pri, smash!” teriak Alex gregetan. “Nah, yes poin! Gila smash-nya Apriyani paku bumi banget. Nancep, tajem nggak ada lawan!” lanjutnya bersemangat.

Saat poin Indonesia sudah menyentuh angka 20 di set kedua, aku dan Alex justru bukannya lega. Tetapi malah semakin deg-degan sehingga kami berdua semakin erat bergenggaman tangan. 

Aku dan Alex tidak lagi saling berteriak. Kami hanya menonton dengan tegang saat cock dioper sana sini di poin-poin terakhir. Aku juga berdoa semoga Greysia dan Apriyani memenangkan pertandingan ini. Sehingga tradisi emas olimpiade terus berlanjut. Semoga olimpiade kali ini tidak sekelam olimpiade London, saat tradisi medali emas terputus karena tim badminton Indonesia tidak ada yang mencapai partai final.

Pukulan Jia Yifan yang terlalu kencang membuat cock keluar lapangan. Membuat tim Indonesia menang 2 set langsung. Aku dan Alex awalnya hanya saling tatap-tatapan mencoba mencerna apa yang terjadi. Hingga akhirnya kami berpelukan dan Alex membawaku berputar di ruang tamu.

“Gila, Lex, kita menang, Lexiiiii!” seruku seraya tertawa di pelukan pria itu.

“Gue bilang juga apa? Pasti menanglah!” serunya seraya tertawa-tawa.

Tetapi ternyata pertandingan ini belum berakhir. Karena di saat-saat terakhir Jia Yifan mengangkat tangan meminta challenge. Sehingga dibutuhkan hawkeye untuk menentukan in atau out.

Sontak aku melepas pelukan Alex dan melongo di depan televisi. “Hah? Gimana-gimana?” tanyaku syok setengah mati. Sedangkan Alex langsung berdecak kencang.

Dengan wajah kembali tegang aku dan Alex kembali menatap televisi dengan harap-harap cemas. Untungnya cock tersebut betulan out, sehingga aku dan Alex kembali berpelukan senang. Dan jujur saja, rasa senangku hari ini bertambah dua kali lipat karena yang tadi. Mungkin aku bakal mengadakan diskon 50% di Queen Bakery dan Ayo Ngopi. Boleh tidak sih, aku bahagia begini selamanya?

***

Aku mendesah panjang saat Alex meninggalkan Twogether setelah mencuci wajan gosong dengan mood super jelek. Entah apa alasan pria itu marah, aku juga tidak paham. Padahal tadi semuanya baik-baik saja, kan? Apa aku membuat kesalahan?

Oh, shit! Stop it, Wina! Ngapain sih lo overthinking segala? Tentu lo nggak salah, Alex aja yang aneh. Lupakan! Lupakan!

Setelah kepergian Alex aku pun menutup pintu. Malam ini aku benar-benar sendirian di Twogether.
Sebelum masuk kamar aku memastikan semua jendela dan pintu belakang terkunci. Tetapi tiba-tiba semua lampu mati. Sehingga suasana menjadi gelap total.

Aku tidak bisa melihat apa-apa. Bahkan setitik cahaya apa pun itu, aku sama sekali tidak melihatnya. Tubuhku pun langsung gemetaran hebat. Napasku mulai ngos-ngosan naik turun. Rasanya begitu sesak seperti tenggelam.

Monster-monster itu kembali muncul. Ia menarik kakiku. Menerkam tubuhku. Menenggelamkanku ke dalam kegelapan sehingga rasanya begitu sesak. Ia mencabik jantungku. Meremas paru-paruku. Sehingga suara napasku begitu berat. Sungguh aku takut setengah mati. Benar-benar takut setengah mati.

Tak ada cahaya apa pun. Tak ada suara apa pun selain suara napasku sendiri yang begitu memuakkan dan menakutkan seperti suara lonceng kematian. Lama kelamaan tubuhku ambruk ke lantai. Aku memeluk tubuhku sendiri yang gemetaran hebat. Sungguh aku takut setengah mati.

Aku takut Mama....

Apa aku akhiri saja rasa takut ini? Walau harus meraba-raba. Sungguh aku tahu letak pisau dapur di mana....

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang