35. Demons

3.8K 568 26
                                    

Malam ini aku memutuskan untuk tidak pulang ke Twogether. Aku mengendarai mobilku ke arah sebuah apartemen di pusat kota Jakarta. Seperti biasa Jakarta begitu macet, sehingga aku membuang 20 menit dengan sia-sia di jalanan. Untungnya aku selalu menyetok camilan di dashboard, sehingga perutku yang keroncongan terselamatkan.

Sebelum naik ke lantai 15 dan menuju apartemen Mbak Hanum, aku memutuskan untuk mampir sebentar ke supermarket terdekat untuk membeli beberapa kaleng soda dan mie instan. Aku tahu isi kulkas Mbak Hanum pasti hanya berisi sayuran organik dan buah-buahan. Bu Dokter satu itu memang sangat mematuhi 4 sehat 5 sempurna. Jadi, jangan harap ada secuil pun makanan instan di sana.

Untungnya lift yang akan membawaku ke lantai lima belas kosong saat ini. Sehingga aku bisa menyederkan kepalaku di dinding lift karena kepalaku terasa berat luar biasa. Memori kejadian tadi pagi kembali menyusup di kepala, membuatku menghela napas keras-keras. Entahlah, tapi pertengkaranku dengan Alexandre tadi pagi membuat mood-ku berantakan sepanjang hari ini.

Aku benci semua tuduhan-tuduhan Alex. Aku benci dengan kenyataan yang terpampang jelas di hatiku, mengalir di seluruh nadiku, melekat di tulangku, dan di teriakkan keras-keras di indra pendengaranku. Aku benci mengakui, tapi menyangkalnya membuat dadaku sesak setengah mati.

Aku menekan bel untuk ke lima kalinya dan akhirnya pintu besi di depanku ini terbuka, yang sontak membuatku langsung memutar bola mata.

Mbak Hanum yang mukanya penuh cemong tepung tersenyum lebar di balik pintu. Lalu wanita yang delapan tahun lebih tua dariku itu membuka pintu semakin lebar dan menyuruhku masuk ke dalam.

“Sini masuk, Win. Sorry, bukain pintunya lama. Tadi gue ngeluarin cookies dulu dari oven,” jelas wanita itu.

Aku mengangguk mengerti, lalu mengikuti Mbak Hanum masuk ke dalam apartemen. Aroma kue yang dipanggang langsung menusuk indra penciumanku, mengingatkanku dengan Queen Bakery. Aura tempat ini terasa sangat familier dan hangat, membuatku merasa nyaman sekaligus aman.

Aku meletakan kantong belanja di meja dapur, lalu menghampiri Mbak Hanum yang tengah menata cookies yang sudah dingin ke toples.

“Tumben lo bikin cookies banyak, ada pesenan?” tanyaku seraya menyomot cookies dalam toples dan memakannya.

“Nggak ada, sih. Ini gue lagi gabut aja. Entar lo bawa aja sekalian lo makanin sama anak Twogether.”

“Gratis, kan?”

Mbak Hanum langsung memutar kedua bola matanya. “Kayaknya harus gue viralin, nih. Masa seorang klan Soebardjo minta gratisan?” cibirnya.

Kali ini aku yang memutar kedua bola mata malas. “Emangnya gue masih dianggap Soebardjo?” tanyaku dengan senyum sendu, tapi dengan cepat aku langsung mengganti ekspresiku dengan senyuman lebar. “Cookies lo enak kayak biasa. Sono mandi lo, Mbak. Bau asem!” ledekku.

Mbak Hanum membuka celemek bermotif daisy yang membelit tubuhnya, lalu menepuk bahuku lembut dua kali sebelum pergi ke kamar mandi. Seraya menunggu Mbak Hani selesai mandi aku memutuskan untuk menonton film seraya memangku setoples cookies untuk camilan.

Aku memutuskan untuk menonton film Goldfinger yang merupakan film seri James Bond yang dirilis tahun 1964. Namun, pikiranku sama sekali tidak fokus pada film yang dibintangi oleh Sean Connery itu. Perasaan yang menguasai tubuhku saat ini membuatku campur aduk, rasanya menyenangkan tapi juga sangat menyakitkan.

Setengah jam kemudian Mbak Hanum selesai mandi. Wanita itu duduk di sampingku dengan handuk yang membungkus rambut basahnya dan aroma lavender tercium samar-samar dari tubuh wanita itu.

Untuk beberapa saat kami berdua hanya fokus ke layar televisi yang ada di depan sana. Hingga akhirnya Mbak Hanum menepuk bahuku lembut sehingga membuatku menatap netra kecoklatan wanita itu.

“Win, how are you today?”

“Keadaan fisik gue baik-baik aja, Mbak. Tapi perasaan gue rasanya nggak enak,” jawabku jujur.

“Kenapa? Lo mimpi buruk lagi?”

“Gue cuma mimpi buruk sekali bulan ini, Mbak. Dan gue pikir gue udah baik-baik aja. Tapi ternyata nggak. Gue masih takut gelap, monster-monster itu masih di sana. Bahkan, sekarang mereka ada di sini. Dan pas gue pulang ke rumah Mama ... dari dulu sampai sekarang, ternyata rasanya masih sama. Dari 8 tahun lalu ternyata nggak ada yang berubah, Mbak. Gue—“

“Win, it’s okay. Pelan-pelan aja, oke? Kalo lo masih marah, ya, marah aja sepuasnya. Kalo lo masih berharap, ya, berharap aja semaunya. Lo cuma harus jujur sama perasaan lo. But, kalo lo masih belum bisa jujur sekarang, it’s okay.”

Aku mengangguk mengerti. “Mbak, gue lagi nggak pengen bahas Mama,” lirihku dengan rasa sakit menusuk tenggorokan.

“Oke, kita bahas ini lain kali. So, apa yang bikin perasaan lo nggak enak hari ini?”

“Gue berantem sama Alex.”

“Oke, apa yang bikin beda kali ini?”
Aku menghindari tatapan Mbak Hanum dan kembali menatap layar televisi yang masih memutar setiap adegan film Goldfinger. Semua kenanganku dan Alex selama 2 tahun ini berputar di kepala. Setiap teriakkan, teriakkan lagi, dan teriakkan lagi berputar seperti kaset rusak. Lalu ada canda tawa, obrolan-obrolan absurd, kekosongan saat pria itu tidak pulang ke Twogether. Pelukan pria itu, tatapan pria itu, embusan napasnya. Ternyata selama ini aku memang....

“Win?” Suara dokter bergelar SpKJ itu terdengar lebih lembut. Mungkin karena aku tidak menjawab pertanyaan yang ia ajukan tadi.

Aku mengalihkan tatapan dari televisi dan kembali menatap netra Mbak Hanum. “I love him, Mbak. He make me forgot my alprazolam....” Lalu aku memejamkan mata lama, mengingat semua kenangan-kenangan malam itu. “And when I sleep in his hug ... I think I don’t need those fucking pills again.” Kali ini aku membuka netraku yang terasa perih, dan rasa sesak yang menekan dada kiriku dengan brutal; membuatku sulit bernapas. “I want him to be mine, but I know ... I can’t.”

Mbak Hanum mengangguk mengerti. Karena sejak awal ia sudah memprediksi ini semua. Ia tahu kalau aku akan kalah dari permainan yang kami buat. Wanita itu sudah tahu kalau sejak awal aku yang dengan songong sangat yakin akan menang ini akan kalah telak. Mungkin sejak awal aku juga sudah tahu kalau aku sudah pasti kalah, karena ... seorang Alexandre Rajendra memang tidak akan pernah bisa aku abaikan. Tidak akan pernah.

“Win, kita semua selalu punya pilihan. Dan saat ini, pilihan lo adalah memutuskan kalo lo ‘bisa’ atau lo ‘nggak bisa’. Tapi saat ini lo bahkan nggak memilih, tapi mendikte diri lo sendiri kalo lo udah pasti ‘nggak bisa’. Boleh gue tau kenapa?”

“Karena setiap gue inget malem-malem saat gue hilang akal, gue sadar diri, Mbak. Gue nggak berhak menyeret siapa pun ke hidup gue yang berantakan,” ujarku seraya membayangkan hidupku yang seperti neraka selama 8 tahun terakhir dan hanya Mbak Hanum yang tahu segalanya. Tentang kewarasanku yang ada di ujung batas dan iblis-iblis yang bersemayam di kepala.

Mbak Hanum memelukku erat, lalu berbisik lembut pas di telingaku. “Win, sometimes you just need listen your heart and ignore monster inside your head. Lo selalu punya pilihan, dan apa pun yang lo pilih, lo tau gue bakal selalu dukung lo. Tapi gue harap, kali ini lo milih jadi bahagia. Because you deserve it, dear.”

Lalu aku memeluk Mbak Hanum erat dan menangis sekerasnya di bahu psikiaterku itu.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang