31. Beautiful Morning

4.9K 608 25
                                    

"Lo semalem emang make mistakes, Win. Tapi sama sekali nggak beautiful. Lo muntahin gue pas gue bopong lo. Di lift," jelas Alex dengan cemberut. 

Aku menyampirkan rambutku ke belakang telinga dengan gaya songong. "Gue tau, gue tetep beautiful walau lagi muntah. So, lo nggak perlu jelasin apa-apa lagi. Semalem lo yang buka baju gue?" tanyaku seraya memakan sandwich ala-ala buatan Alex dengan anggun. Padahal aslinya aku tengah malu setengah mati.

Alex semakin menekuk wajahnya. "Ya, lo tetep beautiful tapi tetep aja muntahan lo bau telor busuk."

"Lex, gue lagi makan telor!" protesku yang hanya direspons Alex dengan mengangkat kedua bahu tak acuh.

"Dan bukan gue yang buka baju lo. Lo buka baju sendiri sebelum pose ala-ala model majalah dewasa di atas ranjang gue! Gue sampe heran semalem lo kerasukan setan apa. Lo bilang nggak mau nikah, nggak mau nikah. Tapi tingkah lo semalem kayak kucing kebelet kawin," jelas Alex yang sontak membuatku tersedak dan batuk-batuk parah.

Aku dapat merasakan kedua pipiku memerah. Entah karena keselek atau merasa malu setelah mendengar penjelasan Alex. Aku terlalu mengenal diri sendiri sampai tahu jika yang dikatakan Alex bisa jadi benar. Fuck my fantasy. 

Tawa Alex tiba-tiba pecah seiringan dengan suara batukku yang belum mau berhenti. Alex menyodorkan segelas air minum yang langsung aku tenggak sampai habis. Setelah air dingin itu melewati tenggorokanku, aku merasakan lega luar biasa. Sehingga kini aku sudah berhenti batuk dan bisa bernapas dengan benar. Namun, tawa Alex masih saja menggema di dapur yang masih terasa asing di kedua netraku ini.

Akhirnya tawa Alex berhenti, tapi segera digantikan dengan senyum super menyebalkan di salah satu bibirnya. "Just kidding, Win. So, adult magazine model? Ooookay, now I know," ledeknya dengan nada super menyebalkan.

Aku memejamkan mata sejenak untuk menetralisir amarah bercampur malu yang bergejolak di dada. Lalu tanpa ancang-ancang segera mengejar Alex yang sialnya sudah lari satu detik lebih cepat sebelum aku mengambil langkah. "I will kill you, Lex!" teriakku masih berlari mengejar pria itu.

"Try me, Win. Catch me if you can!" balas Alex masih dengan tawa menggelegar di udara. Aku tak tahu sampai berapa lama kami saling mengejar, yang aku tahu akhirnya aku bisa menangkap pria itu dan akhirnya kami saling menjambak di lantai sampai kelelahan. Tetapi entah mengapa, itu membuatku lega luar biasa. Rasa sesakku kemarin seperti hilang tanpa sisa dan jelas itu bukan karena vodka yang aku minum tadi malam. Begitu lepas, begitu bebas. Seperti aku kembali mendapat ruang untuk bernapas.

***

Setelah lelah saling mengejar dengan Alex, aku memutuskan untuk berjemur di balkon apartemen pria itu. Ya, aku juga baru tahu ternyata Alex mempunyai apartemen rahasia. Tetapi aku tidak begitu kaget, karena semua anggota Twogether juga pasti punya tempat seperti ini. Kalo Twogether untuk pelarian maka apartemen rahasia adalah tempat untuk bersembunyi.

Karena terkadang ... saat kita lelah luar biasa, kita hanya butuh berhenti. Kita butuh tempat untuk bersembunyi untuk sesekali mengakui kalo kita memang pengecut. Kalo kita memang gagal dan tidak ingin siapa pun tahu. Dan terkadang ... sesuatu yang disebut 'rumah' juga adalah neraka, tapi hidup sendirian di tempat 'sembunyi' juga memberi rasa kesepian yang menyiksa. Jadi, apa pun yang terjadi di tempat ini, biar jadi rahasia Alex dan tembok-tembok itu. Aku tidak akan bertanya kenapa Alex memilih ngekos di Twogether saat ia punya apartemen mewah yang super nyaman.

Sinar matahari pagi ini begitu hangat. Membuat tubuhku begitu rileks. Sakit kepalaku juga sudah berkurang--hanya menyisakan denyut-denyut samar. 

Pemandangan dari balkon apartemen Alex sebenarnya benar-benar aneh. Aku bisa melihat taman kota yang begitu indah dan gedung-gedung tinggi di sisi kanan. Sedangkan aku bisa melihat pemukiman kumuh padat penduduk di sisi kiri. Bonus dengan kali penuh sampah berwarna hitam karena pencemaran yang menunjukkan penduduk kota ini tidak semuanya melek kebersihan. Ditambah para pejabat pemerintahan juga lebih jago tata kata daripada tata kota. Ya, bagaimana mau tata kota kalau uangnya dikorupsi? Ah, benar-benar pemandangan yang jomplang sekali antara sisi kanan dan sisi kiri. 

Sontak aku langsung menengokkan kepala ke samping begitu Alex bergabung di balkon. Rambut basah dan aroma sampo yang menguar di udara menunjukkan jika pria itu baru saja selesai mandi.

"Pemandangan apartemen lo aneh," kataku masih seraya memandangi Alex.

Alex terkekeh kecil, membuatku semakin tak bisa memalingkan wajah. "Memang aneh, tapi gue suka pemandangan di sini. Setiap kali gue berdiri di sini, gue kayak selalu menyadari kalo di dunia ini nggak ada satu pun yang sempurna, Win. Ya, lo liat aja, di sisi kanan lo bisa liat pemandangan Jakarta yang super cantik, tapi di sisi kiri lo bisa liat pemandangan Jakarta yang nggak ada bagus-bagusnya sama sekali. Padahal ini masih sama-sama Jakarta, tapi, kalo nggak ada yang 'jelek' tentu nggak bakal ada yang bisa disebut 'cantik', kan?"

"Jadi, kalo gue berdiri di sini gue kayak bisa berpikiran terbuka dan itu bikin gue tenang. Gue menyadari kalo gue nggak harus bisa semuanya. Gue nggak harus sempurna, nggak papa kalo punya sisi jelek. Nggak papa kalo punya kekurangan, karena gue cuma manusia."

Aku menatap Alex lama, sebelum akhirnya berkata, "Ya, lo bener kita semua cuma manusia. Dan wajar kalo punya kekurangan. Kita memang harus punya kekurangan kalo mau punya sesuatu yang disebut kelebihan. Apa sebutannya biar balance? Yin and Yang? Ya, apa pun itu, gue ikut seneng karena lo punya tempat ini buat sembunyi."

Tiba-tiba Alex bergeser dari tempatnya dan memelukku dari belakang, membuatku menahan napas beberapa saat. "Jangan ke Olivers lagi kalo pengen sembunyi, tapi lo takut sembunyi sendirian. Just call me dan bilang; 'Hi, Mate! bisa beliin gue es krim?', kayak dulu dan gue pasti dateng. Ajakain gue sembunyi juga kalo lo takut sembunyi sendirian. Jadiin gue tempat sembunyi lo. Dan Gue--"

"Lo bilang lo nggak mau lari naik tangga ke lantai 10 lagi kayak dulu," potongku.

"Tapi ternyata jambak-jambakan di lantai kayak tadi juga nggak lebih baik. Jadi, lain kali ayo lari ke lantai sepuluh aja. Sampe sekarang kulit kepala gue masih pedes!" dengkusnya yang malah sontak membuatku tertawa kecil dan aku tahu Alex juga ikut tertawa karena aku dapat merasakan tubuhnya berguncang kecil.

"By the way, Lex, now I also know," ujarku seraya mengikuti nada mengejek Alex saat meledekku tadi pagi. "So, your 'sometimes' is ... I'm be adult magazine model, heh?" tanyaku mengejek dan untuk beberapa saat aku dapat merasakan tubuh Alex menjadi kaku. "Skakmat, Lexi. Skor kita saat ini satu sama." Lalu aku tertawa keras karena senang bisa membalas ejekan Alex tadi pagi. Sedangkan Alex langsung mengoceh dan sesekali menjitak kepalaku dan tentu langsung aku jitak balik. 

Mbak, gimana kalo gue jadi ketergantungan? Gue takut...

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang