62. Bab 3; Mother

1.6K 204 5
                                    

Foto yang Wina kirimkan ke grup ‘hitam’ sekolah tersebar dengan cepatnya. Foto yang merupakan beberapa jepretan saat makrab malam minggu lalu membuat beberapa siswa yang diduga terlibat dengan acara itu dipanggil ke ruang kepala sekolah.

Tanpa basa-basi pihak sekolah juga langsung mengundang orang tua para siswa yang mengadakan makrab hingga kini ruang rapat guru SMA Pemuda begitu gaduh. Ibu kepala sekolah masih mengoceh di depan sana, sedangkan Wina masih duduk berhadap-hadapan dengan mama yang menatapnya dengan pandangan datar.

Sebenarnya tidak ada yang melarang jika ingin melakukan makrab—malah keakraban, karena ini memang sudah seperti tradisi sejak sekolah ini berdiri. Tetapi masalahnya, di foto yang tersebar di grup, ada banyak benda terlarang yang ikut terpotret seperti rokok, minuman beralkohol, dan dandanan para siswa yang termasuk tidak sopan.

Sehingga makrab kali ini jelas-jelas menyalahi aturan. Sesuai rencana, semua orang langsung menyalahkan Wina, karena memang gadis itu yang merencanakan makrab minggu lalu. Tentu saja tanpa rokok atau alkohol, Wina merencanakannya seperti biasa.

Kalau ada yang menyerangnya kali ini, sudah jelas bertujuan untuk menjatuhkannya.

Sila berulang kali berusaha membela Wina, karena semua daftar acara bahkan makanan dan minuman sudah lolos seleksi OSIS, bahkan Benjamin juga memeriksanya sendiri.
Tetapi Wina memilih diam saja kali ini, gadis itu memang menyiapkan beberapa foto yang akan membuat Ibu Kepala Sekolah sakit kepala, tapi seharusnya hanya ada Mama, ia, dan guru BK, di ruangan ini. Bukannya malah rapat dadakan seperti ini.

Wina tahu ia berhak membela diri, tapi setelah ini nama Sila, Benjamin, Bryan dan yang lain akan terseret. Makanya hari ini ia hanya diam dan menerima setiap tuduhan. Sehingga ia harus di-skors seminggu penuh dengan tambahan tiga hari karena hari ini penampilan gadis itu melanggar aturan.

Setelah berpamitan dengan Ibu Kepala Sekolah, Wina dan Mama pun segera meninggalkan sekolah. Ekspresi Mama masih datar, dan saat ini Mama bahkan sedang bertelepon dan membahas kerjaan.

Orang tua normal lainnya pasti akan memaki anaknya habis-habisan karena membuat kesalahan super fatal seperti ini. Kadang Wina ingin sebuah tamparan atau hukuman karena tidak jadi anak baik, tapi Mama akan selalu tidak peduli.
Dan itu membuat hatinya sakit setengah mati. Apa kalau gadis itu mati Mama juga tetap akan tidak peduli? Atau untuk tindakan selanjutnya Wina bisa mempertimbangkan hal ini?

Karena semua hal yang Wina lakukan saat ini, sebenarnya hanya untuk mendapatkan perhatian dari Mama. Tapi Melani Soebardjo tidak akan pernah peduli.

Tapi ternyata ada yang berbeda kali ini, karena untuk pertama kalinya Mama mengajaknya mengobrol berdua, tapi arah obrolan itu benar-benar membuat hatinya hancur berkeping-keping tanpa sisa. Mungkin memang takdirnya untuk selalu sendirian, agar tidak menyakiti siapa pun.

***

“Mama nggak ngizinin kamu main sama Sila. Anak nggak jelas asal-usulnya itu bikin kamu jadi anak nggak bener,” ujar Mama seraya memasang kacamata bacanya dan mulai membaca koran yang menumpuk di meja.

Dan tawa Wina langsung pecah begitu mendengar perkataan sang Mama. Bagaimana bisa Mama menyalahkan Sila saat ini. Tidak sadarkah Mama, jika Wina sampai melakukan ini semua agar Mama sekali saja marah dan mengomel seperti orang tua lainnya? Tetapi kenapa Mama malah menyalahkan orang lain?

Ma, Wina hanya ingin sekali saja Mama marah, karena katanya marahnya orang tua itu tanda sayang.

Wina tersenyum mengejek seraya bersedakap, bibir gadis itu boleh saja menampilkan senyum sinis, tapi hatinya sungguh hancur lebur.

“Hahahaha, ini lucu banget? Mama nggak denger Bu Kepala Sekolah bilang kalo aku yang ngerencanain pestanya? Dan bisa-bisanya Mama nyalahin Sila! Terus sejak kapan Mama peduli sama pergaulan aku? Sejak kapan Mama peduli?” tanya Wina dengan napas ngos-ngosan.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang