61. Bab 2; Bestfriend

2K 239 3
                                    

(Masih Flashback, cuma nggak Sa garis miring, ya. Karena bacanya pusing ternyata. Intinya ini masih masa lalunya Wina).

Happy Reading!

***

Wina menaiki tangga yang ada di belakang gedung C. Lalu gadis itu memasuki ruangan yang depannya memang terlihat seperti gudang karena banyak ember bekas cat dan gagang sapu patah. Tetapi dalamnya terdapat peralatan super lengkap mulai dari satu set komputer, meja rias dengan segala pernak-perniknya, kulkas, dan juga satu rak buku penuh dengan komik dan novel yang kebanyakan novel romance.

“Sil, lo udah bawain pesenan gue, kan?” tanya Wina seraya menyambar keripik di meja, lalu duduk dengan nyaman di sofa.

Sila hanya menengok sekilas sebelum kembali bermain Zuma Deluxe. “Udah, kok. Dark blue, kan? Si Valen beneran nggak masuk, kan? Info lo valid beneran, kan? Gue nggak mau nails art gue rusak padahal baru gue pake tadi malem!” cerocos gadis itu dengan netra masih fokus menatap layar komputer.

“Ya, mana mungkin sih pacar gue boong sama gue?”

“Iya deh gue mah percaya sama calon kakak ipar,” sahut Sila dengan pipi yang memerah dan sontak pemandangan itu membuat Wina tertawa kencang.

“Lo beneran sesuka itu sama Bryan?” goda Wina karena lucu saat melihat wajah Sila memerah seperti tomat busuk saat mendengar nama Bryan.

Hah, bisa-bisanya Sila si kapten cheerleader dan juara Taekwondo Nasional itu jatuh cinta pada Bryan—si bocah cengeng ingusan. Walau pubertas memang mengubah Bryan habis-habisan, cowok keturunan Tionghoa itu benar-benar terlihat begitu tampan saat ini. Apalagi kacamata yang menghias mata sipitnya membuatnya semakin terlihat atraktif.

Namun, saat ini perasaan Sila masih bertepuk sebelah tangan karena Bryan sama sekali tidak peka. Atau mungkin Bryan sebenarnya tahu, hanya saja ia tidak mau pusing oleh masalah satu ini. Oxford nomor satu, cewek mah nanti aja.

Kenal dengan keluarga Utomo dari kecil membuat Wina mengerti sekali, jika Bryan dan Benjamin memang dua orang yang gila belajar. Karena yang bisa mereka lakukan memang hanya itu, bermimpi mencari jodoh sendiri? Jangan harap, karena Wisnu Utomo sudah mengatur segalanya. Termasuk urusan jodoh.

“Sssttt bacot! Udah mending lo mingkem dan sini gue warnain rambut lu!”

Dengan senyum super lebar Wina pun menghampiri Sila dan sahabatnya itu membalas senyuman Wina dengan sama lebarnya.

Okay, let’s play the game, baby!

***

Jam istirahat akhirnya berbunyi. Wina dan Sila pun segera meninggalkan markas mereka dengan dagu terangkat percaya diri. Begitu melewati koridor tampak semua murid melirik ke arah mereka sambil berbisik-bisik.

SMA Pemuda memang punya peraturan super ketat soal penampilan. Makanya penampilan Wina dan Sila yang sangat mencolok saat ini, langsung menarik perhatian. Rambut ombre biru, nails art warna pelangi, rok di atas lutut, dan bibir yang dipoles lip tint berlebihan jelas melanggar semua peraturan yang ada.

Biasanya ada Valencia—si pengawas siswa super menyebalkan yang pastinya bakal langsung mengoceh panjang lebar dan menggiring mereka ke ruang BK, tapi seperti info Benjamin tadi malam, Valencia tidak masuk hari ini, sehingga Wina dan Sila bebas berbuat onar dan bersenang-senang.

Masih dengan langkah percaya diri Wina dan Sila memasuki kelas dan duduk di kursi mereka. Catatan mengenai sistem peredaran darah yang masih terpampang di papan tulis menunjukkan jika pelajaran biologi hari ini pasti berjalan membosankan, karena papan putih lebar di depan sana hanya berisi tulisan dari ujung ke ujung.

Lalu mereka berdua meninggalkan kelas dan berjalan ke kantin. Setelah itu mereka pergi ke lapangan basket dan menemui para anggota cheerleader untuk menginfokan jika minggu ini akan ada ekstra latihan karena mereka akan mengikuti POS—pekan olahraga sekolah bulan depan. Mereka harus tampil sempurna saat menyemangati tim basket sekolah yang memang nggak ada bagus-bagusnya itu. Makanya tim cheerleader-lah yang harus menyelamatkan muka sekolah karena gengsi dong.

Oleh karena itu, mereka akan berlatih habis-habisan satu bulan ini.

Wina duduk di tengah lapangan bersama anggota cheerleader lainnya, dan pompom kuning norak dengan warna kuning ngejreng mengelilingi mereka. Sedangkan Sila tengah berdiri di depan sana, gadis itu memberi arahan sana-sini seraya sesekali menjawab pertanyaan yang diajukan beberapa anggota cheerleader.

Senyuman kecil mengembang di bibir Wina, gadis itu sungguh berpikir kalau masa SMA-nya juga akan sama membosankannya seperti masa SD dan SMP. Semua orang hanya akan berteman dengannya karena ia adalah seorang ‘Soebardjo’. Wina tak pernah berharap punya sahabat dekat, apalagi perempuan.

Pertemanan cewek itu kebanyakan drama, ribet, dan super melelahkan. Makanya selama ini ia selalu menjaga jarak dengan siapa pun, karena hidupnya yang sudah rumit ini tidak perlu tambahan beban apa pun. Apalagi dari pertemanan.

Namun, Sila berbeda. Gadis itu membuat Wina keluar dari cangkang, Sila membuat Wina percaya jika punya sahabat sama sekali tidak buruk. Punya tempat curhat soal crush yang tidak peka atau ditemani menangis sampai jam 2 pagi karena putus, benar-benar bukan hal yang buruk sama sekali. Sila, juga membuat masa SMA-nya jadi lebih berwarna. Sahabatnya itu juga tidak pernah menghakiminya walau ia suka gonta-ganti pacar, dan sesekali ke club malam lalu pulang dalam keadaan teler berat.

Sila tahu semuanya, sisi buruk Wina yang paling busuk juga sahabatnya itu tahu, hingga dengan sekali bicara Sila bisa langsung menghancurkan si songong Wina Rakasiwi Soebardjo.

Namun Sila tidak pernah menggunakan itu semua untuk menjatuhkan Wina.

Semua rahasianya aman di tangan Sila, dengan Sila juga ia merasakan kebebasan. Saat mimpi buruk dan monster-monster itu datang, Sila juga selalu mau menemaninya tidur. Tanpa banyak tanya, sahabatnya itu akan selalu memeluknya erat-erat hingga ia tidur nyenyak.

“Oke, pokoknya nanti kalian nggak boleh langsung pulang, ya? Kumpul dulu di Boedjangan, kita bahas koreografi.”

Setelah Sila mengatakan itu semua anggota cheerleader pun segera meninggalkan lapangan, hingga kini hanya tersisa Wina dan Sila yang masih setia berdiri di tengah lapangan karena Bu Kinan—guru BK sekolah mereka tengah menghampiri mereka dengan tatapan super datar diikuti Bu kepala sekolah.

Ah, jadi foto itu pasti sudah tersebar ke mana-mana. Bagus.

Dan senyuman Wina semakin lebar saat melihat mobil ber-plat yang sangat ia kenal baru saja memasuki halaman sekolah.

Monday, 12 August; mission completed.

***

Next chapter; Mother.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang