67. The Truth (2)

1.8K 296 11
                                    

Aku memeluk erat tubuh kurus Mama dari belakang. Tangisku masih memenuhi ruangan, karena dadaku saat ini rasanya sakit sekali. Dan menangis membuat rasa sesaknya berkurang walau memang tidak seberapa. Aku dapat merasakan tubuh kurus Mama ikut bergetar kecil—yang menandakan jika wanita yang sudah melahirkan aku itu juga ikut menangis.

Kanker pankreas stadium empat.

Itu adalah isi flashdisk yang diberikan Bondan. Bagaimana Mama bisa menahan semuanya sendirian?
Berapa kali pun aku mengatakan aku membenci Mama, nyatanya Mamalah yang paling aku cintai. Sungguh, aku tidak masalah kalau Mama akan membenciku selamanya—asal Mama sehat-sehat saja, asal Mama jangan sakit, asal Mama bahagia.

Wina sayang Mama....

Lalu kami menangis tanpa suara, isakan memang sudah tidak keluar dari mulutku, tapi air mataku masih saja luruh. Bahu Mama yang masih bergetar menandakan jika wanita yang melahirkan aku itu juga masih menangis dalam diamnya.

Kalau Mama tidak bisa memeluk aku lebih dulu, maka aku yang akan memeluknya lebih dulu. Kalau Mama lagi-lagi mendorong aku menjauh, aku yang akan terus mendekat.

Aku tahu Mama sakit, aku tahu Mama tidak baik-baik saja. Dan aku tidak mau Mama merasa sendirian, karena aku bakal selalu di sini. Bukan karena kewajiban anak kepada orang tuanya, tapi karena aku mencintai Mama begitu besarnya. Makanya selama ini aku merasakan sakit yang begitu parah—jadi mau sekeras apa pun aku denial dan mengatakan aku membenci Mama, nyatanya itu hanya bohong belaka.

Luka masa lalu memang tidak akan pernah sembuh, luka itu bakal terus menganga dan memberikan nyeri yang sakitnya tak terkira setiap kali aku mengingatnya.

Entah kemarin, saat ini, atau besok.

Luka itu tidak akan pernah sembuh, tapi aku sendiri yang pada akhirnya memutuskan akan terus terluka atau berdamai dengan semuanya. Nyatanya membenci Mama tidak pernah memberikan kedamaian yang aku mau, karena yang aku mau adalah begini; memeluk Mama dan tidur di pelukannya yang hangat.

Mungkin sekaranglah waktunya aku berdamai, mungkin saat inilah waktunya aku melepas topeng dan senjata. Mengakui kalau Mama membuatku terluka sangat parah dan aku ingin sembuh. Aku akan sembuh karena aku memutuskan untuk sembuh. Aku akan merasa damai, karena aku memutuskan untuk berdamai.

Bukan untuk orang lain, bukan untuk Mama, tapi untuk diriku sendiri.

Lagi pula, ternyata semuanya tidak pernah seburuk apa yang aku pikir.

“Aku belajar ini dari Siska. Nerobos kamar orang, nangis, terus minta peluk. Tapi tenang aja, Ma, aku nggak bakalan berantakin kamar Mama kayak Siska berantakin kamar aku.”

“Kenapa Mama harus sayang sama aku lewat orang lain? Mbak Hanum? Mbak Tari? Mas Jodi?”

Selain surat laporan dokter, di flashdisk pemberian Bondan, juga ada beberapa riwayat chat dan transaksi yang dilakukan Mama. Dan ternyata, selama ini Mama nggak pernah meninggalkan aku sendirian, Mama selalu memantau aku lewat orang-orang terdekatku. Mama yang mengatur agar Mas Jodi memberiku pinjaman untuk kuliah dan memulai bisnis, Mama yang mengatur agar Mbak Hanum jadi psikiaterku, bahkan Mama juga yang mengatur agar aku bisa tinggal di Twogether lewat Mbak Tari.

Mama berhubungan dengan Zuto, Debby—dasar si pengkhianat itu, dan bahkan juga Alexandre. Nyatanya Mama nggak pernah meninggalkan aku, Mama selalu tahu bagaimana kesehatan fisik dan mentalku. Mama tahu siapa teman-temanku, apa yang aku makan, bahkan Mama selalu menyakan bagaimana kabarku pada Debby dan meminta Alex untuk selalu menjagaku, menemani aku, memastikan aku makan dengan benar dan disayang. Mama juga yang meminta Zuto untuk menjaga aku kalo aku ke Olivers, memastikan aku tidak minum terlalu banyak alkohol, apalagi sampai pakai ekstasi lagi.

Mama memutar tubuhnya, hingga kini kami tiduran berhadapan.
“Karena Mama udah melukai kamu begitu banyak, Wina. Mama nggak mau kamu terluka lagi. Mama sayang Wina...”

Dan ucapan Mama sukses membuat aku kembali menangis, bukan karena rasa sakit dan sesak, tapi karena perasaan bahagia. Perkataan Mama seolah berhasil mengisi lubang di hatiku yang selama ini kosong, mengangkat beban yang selama ini bertumpu di kedua pundakku, dan melepas rantai yang selama dua puluh tahun mengikat kaki dan mencekik leherku. Semua rasa sakit, dendam, dan amarah semuanya sirna.

Mungkin memang benar kata Siska, kalau selama ini aku yang mendorong orang-orang yang aku cintai menjauh. Rasa marah membuat aku buta, sehingga aku tidak dapat melihat kalau aku disayang begitu banyaknya.

“Aku juga sayang, Mama ... Dan aku pengin cerita banyak hal sama Mama, jadi malam ini aku boleh ya ... tidur bareng Mama? Aku pengen tidur sambil dipeluk Mama.”

Mama memeluk aku erat, dan menempatkan aku di dadanya, hingga aku bisa mendengar detak jantung Mama yang terdengar menenangkan.
Hangat, rasanya hangat.

Mama mencium kepalaku sayang. “Maafin Mama sayang, maafin Mama karena nggak bisa jadi ibu yang baik. Maaf karena Mama nggak ada saat kamu ketakutan, maafin Mama karena kamu harus mengalami semuanya. Maafin Mama karena Mama terlalu pengecut sehingga hanya bisa melihat kamu dari jauh, karena kalau Mama mendekat, Mama takut Mama semakin menyakiti kamu. Maaf karena kamu lahir sebagai anaknya Mama....”

Aku menggelengkan kepala lalu menempelkan dahiku dengan dahi Mama. “Ma, terima kasih karena udah ngelahirin Wina ke dunia. Terima kasih udah mencintai  aku dengan begitu besarnya, makasih karena udah ngenalin aku sama orang-orang baik yang juga sayang sama aku. Makasih karena udah nemuin aku sama Mbak Hanum, Mbak Tari, nyewain Twogether sehingga aku ketemu sahabat-sahabat yang sayang sama aku. Lagian, kalo aku nggak pindah ke Twogether, pasti aku nggak bakalan ketemu Alex,” ujarku dengan pipi yang terasa panas.

“Mama suka Alex, dia baik,” ujar Mama seraya menghapus air mataku seraya tersenyum.

Aku mendesah frustrasi. “Ya, berarti poor me. Tante Risma kayaknya nggak begitu suka sama aku.”

“Ya, emang poor you, Wina. Kamu tahu Mama juga bukan favorit ibu mertua, jadi udah jelas nggak bisa ngasih masukan.”

Kami saling bertatapan sebelum saling tertawa bersama.

Aku menguap lebar. “Ma, aku mau cerita banyak hal, tapi aku udah ngantuk. Boleh kan aku lanjut besok? Pokoknya Mama punya aku, entah besok atau besoknya lagi, bodo amat Siska cemburu.”

Mata tersenyum dengan netra berkaca-kaca. “Tentu, Wina-nya Mama boleh cerita kapan pun. Kali ini Mama bakal selalu di sini.”

Aku kembali memejamkan mata dan tidur di pelukan hangat Mama. “Ma, jangan sakit sendirian. Dan kalo reinkarnasi betulan ada, aku bakal tetep meminta sama Tuhan buat terlahir jadi anaknya Mama. Dan kita udah kehilangan dua puluh tahun, jadi Mama harus sembuh, oke? Mama harus jadi Mama aku dalam waktu yang amat sangat lama. Besok aku temenin kemoterapi, ya.”

“Ya, sayang. Dan Wina ... terima kasih karena udah jadi anaknya Mama.”

“Dan Ibu Melani Soebardjo ... terima kasih karena udah jadi Mamanya aku.”

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang