40. She Asked Me To Marry Her

4.3K 562 33
                                    

Aku mengernyitkan glabela karena saat aku bangun Oma sudah tidak lagi ada di sampingku, lalu aku meraih ponsel yang ada di meja nakas dan menyalakan benda pipih yang sejak kemarin aku matikan. Pukul 07.30, pantas saja Oma sudah meninggalkan kamarnya. Oma memang seorang morning person, jadi dengan atau tanpa alarm pun Dahlia Soebardjo pasti selalu bangun saat Subuh. Berbeda sekali denganku yang kadang masih suka kebablasan jika tidak dibantu alarm.

Aku mengikat rambut panjangku asal, kemudian berjalan menghampiri jendela kayu dua pintu yang ada di sisi timur kamar. Cahaya matahari langsung menyelimuti tubuhku sehingga rasa hangat menjalar di seluruh kulitku.

Kedua bibirku sontak tertarik ke atas begitu melihat pemandangan indah yang ada di depan sana. Saat malam hutan pinus yang mengelilingi vila memang sangat menakutkan, tapi saat ini hutan pinus di depan sana nampak sangat indah. Begitu hijau dan menyegarkan mata. Cahaya matahari yang menyusup di sela-sela pohon juga terlihat seperti pilar-pilar cahaya yang menembus langit pagi yang berwarna biru cerah.

Setelah puas menikmati pemandangan di depan sana aku pun memutuskan untuk segera meninggalkan kamar dan bergabung dengan Oma yang aku tebak tengah menyirami tanaman di kebun samping vila.

Sejak kepergian Opa 5 tahun lalu, Oma memang memutuskan untuk pindah ke Bandung. Ia memilih untuk tinggal di salah satu vila yang dimiliki keluarga Soebardjo daripada di rumah turun temurun milik keluarga Soebardjo di Jakarta. Padahal fasilitas di sana tidak main-main. Kata Oma, buat apa aku dolanan golf atau balap jaran dewekan, koyok wong edan!

Sedangkan Mama sudah keluar dari rumah utama sejak menikah dengan Papa. Sehingga rumah mewah turun temurun itu kini kosong, hanya diisi oleh beberapa pelayan dan sesekali digunakan oleh saudara yang sedang liburan ke Jakarta. Ya, apa arti sebuah rumah yang mewah dan super besar jika saat kamu tinggal di sana kamu kesepian?

Aroma nasi goreng mentega langsung menusuk hidung begitu aku sampai di ruang tamu. Aku pun segera menghampiri sumber dari aroma yang nikmat ini dan berakhir di dapur sederhana vila. Seorang wanita paruh baya tampak tengah serius membolak-balikan nasi goreng dengan spatula.

"Pagi, Bi. Apa kabar?" tanyaku seraya salim dengan wanita itu.

"Eh, pagi atuh Neng Wina. Kabar Bibi teh baik. Si Eneng kumaha damang? Ini tangan Bibi banyak minyaknya, lho."

"Nggak papa atuh, Bi. Ini tanganku juga banyak minyaknya, kok," ujarku seraya memamerku tanganku yang berlumuran minyak karena aku baru saja mencomot mendoan yang masih ditiriskan di atas serokan. "Kabarku juga baik, Bi. Oh, ya, entar telorku di dadar aja, ya."

"Oke, Neng, siap!" sahut Bi Wati seraya mengacungkan jempol kanannya. Setelah berbasa basi sebentar aku pun segera meninggalkan dapur untuk menghampiri Oma dengan Teh Iis di kebun. Namun, langkahku kembali berhenti saat aku sampai di ruang keluarga. Di dinding vila yang dicat putih bersih itu, tergantung banyak foto yang merupakan foto anggota keluarga Soebardjo.

Dari banyaknya foto di sana, netraku terpaku pada sebuah foto lelaki yang terlihat gagah di masa mudanya, senyum pria itu tampak familiar; karena senyum itu juga selalu muncul jika aku tersenyum di depan kaca. Aku terpaku cukup lama saat melihat foto Arisandi Subrata. Papa.

Pada masanya, Papa adalah dokter paru-paru yang sangat hebat dan berbakat. Lalu, setelah menikah dengan Melani Soebardjo pria itu langsung menjadi direktur di Soebardjo Hospital. Ya, di mata orang lain mungkin Papa terlihat seperti orang yang sangat beruntung, tapi hati terdalam orang lain seperti yang tahu?

Karena jika Papa seberuntung itu, mengapa dokter paru-paru yang begitu hebat bisa meninggal karena kanker paru-paru yang disebabkan oleh asap nikotin yang selalu ia hisap? Bukankah begitu tragis? Arisandi Subrata mungkin selalu mengingatkan orang-orang dan pasiennya tentang bahayanya rokok untuk paru-paru manusia, tapi ia sendiri adalah seorang perokok berat.

Jujur, aku tidak begitu mengenal Papa. Pria itu meninggal saat aku berusia 1 tahun, lalu setahun kemudian mama menikah dengan Om Rizaldi dan di tahun yang sama mama melahirkan Siska. Awalnya semuanya begitu indah, kami seperti keluarga sungguhan yang hangat dan penuh cinta. Sampai satu kejadian mengubah segalanya. Saat mengingat itu senyum pahit lagi-lagi menghiasi bibirku. Aku menghela napas panjang, lalu berbalik dan berjalan ke pintu keluar vila. Seraya berharap akhirnya semua kenangan menyakitkan itu benar-benar tertinggal di belakang. Seperti foto itu yang tak bergerak ke mana-mana setelah aku tinggalkan.

Saat melihat Oma yang tengah serius menyirami sayuran di kebun, senyum lebar kembali menghiasi bibirku. Tetapi senyumanku sontak menghilang saat menyadari di kebun tidak hanya ada Oma dan Teh Iis, tapi juga ada Siska dan Alexandre. Hah, bagaimana bisa dua orang itu ada di sini?

***

"Hi, Wina," sapa Alex dengan senyuman manis bertengger di bibirnya. Tubuh pria itu yang tadinya dipenuhi lumpur kini sudah bersih dan aroma sabun tercium samar-samar dari tubuh pria itu. Celurit yang tadinya dipegang pria itu juga sudah berubah menjadi sendok dan garpu.

Di meja ruang makan vila yang sederhana ini, kami berempat makan bersama. Suasana saat ini super awkward. Atau sebenarnya, aku sendiri yang membuatnya awkward. Sungguh, aku sama sekali tak menyangka jika Alex bakal menemukanku di sini. Dan gimana ia bisa akrab dengan Siska? OMG, ini itu Siska, apa yang Alex lakukan sampai si patung dengan tatapan membunuh itu bicara?

"Win, tumben lambemu ora kakean bacot? Itu si Alex ngajakin kamu ngomong, lho," tegur Oma yang membuat minuman yang aku minum muncrat ke mana-mana. Alex memberiku selembar tisu dan aku pun segera menyambarnya untuk mengelap sekitaran mulutku yang basah.

Lalu Alex bertopang dagu seraya menatap serius ke arahku, tapi aku bersumpah, walau hanya sedetik aku sempat melihat pria itu menarik salah satu sudut bibirnya. "Mungkin Wina malu ketemu aku Oma. Yesterday, she asked me to marry her. Tapi, terus aku di-ghosting."

Aku sontak melotot saat Alex mengatakan itu. Lalu aku menginjak kaki Alex, membuat pria itu memekik tertahan. "Lo gila?" bisikku.

Alex mendekatkan bibirnya ke telingaku, lagi-lagi senyum menyebalkan kembali menghiasi bibirnya. Lalu ia berbisik, "Daripada gue bilang ke Oma, kalo lo aslinya bilang; Can I kiss you?" Suara serak pria itu yang terdengar gemetar membuat seluruh tubuhku meremang.

Aku mengalihkan pandangan dari Alex dan mencoba fokus pada Oma yang tengah menceramahiku macam-macam. Tetapi itu tak membantu sama sekali. Karena saat ini kepalaku pening luar biasa, dan aku menahan diri mati-matian untuk tidak melakukan apa pun yang tengah aku pikirkan.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang