24. Hanya Sedang Jatuh Cinta

4.2K 654 32
                                    

Tanpa aba-aba aku menggeret Alex untuk pergi ke belakang pohon dan seperti biasa pria itu langsung mengoceh. “Astaga iya, Win, gue paham lo nggak suka bercandaan begini. Lo bakal jadi jomlo seumur hidup dan tetep kece walau udah 60 tahun. Lo juga nggak bakal nikah apalagi punya anak. But, nyeret gue begini terlalu berlebihan, kan? Kila minta gue nemenin dia. Dan lo juga bakal nemenin dia. Kita cuma cosplay jadi orang tua nggak kurang lima belas men-—”

“Lex, lo gila, ya! Lo mau rencana kita berantakan, hah? Ini sih bukan satu bantuan untuk satu bantuan! Lo punya utang berapa ke gue? Sania itu taunya kita pacaran. Lo malah ngasih harapan ke dia. Tawa-tawa bareng. Lo-—”

Wait, Win, ini masalah Sania? Bukan Kila?” potong Alex yang sontak membuatku berhenti nyerocos.

Aku mengerutkan kening bingung. “Lha, kok Kila sih, Lex? Yang tawa-tawa di halaman bareng lo emang Kila? Oke, gue tekenin sekali lagi ya Bapak Alexandre Rajendra jangan kasih harapan ke cewek lain yang jelas-jelas suka lo dong. Lo tau gue ogah rugi. Dan dijadiin tumbal sebagai pacar di depan mama lo-—terus langsung kena blacklist dari mantu idaman itu mencoreng harga diri gue! Ini sih bukan 1=1, gue rugi bandar!” seruku dengan napas ngos-ngosan. Biar saja aku terdengar seperti pacar pencemburu, aku butuh pelampiasan untuk meluapkan segala rasa abstrak yang bercokol di dada.

Alex tersenyum lebar. Senyuman yang entah kenapa lebih manis daripada biasanya. “Gue bahkan nggak sadar kalo ketawa di halaman bareng Sania.”

“Sini gue kasih tau. Kalian kayak keluarga bahagia yang baru nganterin anaknya ke sekolah.”

“Dan lo kayak pacar pencemburu yang kelewat posesif.”

Aku berdeham pelan untuk menetralisir salah tingkah. “Lo emang pacar gue ... Seenggaknya gitu, kan, di mata Sania? Ish, jangan gagal fokus dong, Lex. Ini gue protes karena gue ogah rugi. Jadi, jangan mikir macem-macem deh lo. Kalo akhirnya ada orang yang dirugikan karena kesepakatan konyol ini, harusnya itu lo. Seriously, gue kena blacklist emak lo karena katanya gue terlalu sempurna!” protesku lagi. Walau aku bilang aku tidak akan memikirkan ucapan Tante Risma karena tidak mungkin jadi menantunya, nyatanya ucapan mama Alex itu selalu menggangu pikiranku akhir-akhir ini. Hanya karena kamu sempurna belum tentu kamu jadi idaman.

“Kalo gitu jangan terlalu sempurna. Punya satu kekurangan nggak bakal bikin lo mati besok pagi kali, Win. Dan wait, sejak kapan utang gue lebih banyak daripada utang lo?” tanya Alex serius dengan mimik tidak terima. “Lo lupa pas di atap waktu itu ngomong apa?” ungkitnya dengan senyum menyeringai. Mengingatkan kalau dengan tololnya aku pernah mencoba memberikan raga dan jiwaku pada pria itu.

“It-—”

“Gue ngajak lo ke sini buat bantu-bantu, ya, Win. Bukannya mojok di bawah pohon beringin dan ngedrama rumah tangga,” ujar Siska dingin seperti biasa. Membuatku menelan semua kata-kata yang sejak tadi sudah ada di ujung lidah. Namun sebenarnya aku bersyukur Siska datang, sehingga aku tak perlu menjawab pertanyaan Alex dengan sangkalan. Sebab waktu itu, jelas aku tidak sedang pura-pura.

Membantah Siska juga percuma, jadi akhirnya aku menggeret Alex untuk kembali ke acara amal.

***

Kini aku dan Alex tengah berada di sebuah ruang kelas yang sudah dimodifikasi menjadi ruang praktek dokter gigi. Walau jauh sekali dari aslinya, tapi jelas peralatan di sini sangatlah lengkap.

Kila membuka mulutnya lebar-lebar seraya meremas tanganku kencang saat gusinya disuntik anestesi. Sedangkan Alex terus menepuk paha gadis cilik itu bermaksud memberi kekuatan. Seperti janji kami di waktu yang berbeda tadi pagi, saat ini aku dan Alex tengah menemani Kila cabut gigi.

Senyumanku semakin lebar saat mataku bertabrakan dengan Alex. Makhluk berkromosom XY itu juga balas membalas senyumku sama lebarnya. Mungkin saat ini aku harus berterima kasih pada Alex, karena mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya; aku dapat merasakan bagaimana rasanya jadi orang tua. Tidak apa-apa walau hanya lima belas menit, rasanya tetap luar biasa.

Setelah menemani Kila aku dan Alex berpencar di halaman karena Alex harus membantu satpam mengangkat galon ke dapur sekolah. Sehingga saat ini aku tengah duduk di salah satu bangku di depan kelas sendirian, sembari menunggu dapur sederhana yang aku minta.

“Lo janjian sama Alex ke sini?” tanya Sania seraya duduk di sampingku.

Aku menggelengkan kepala. “Nggak. Gue malah baru tau kalo Alex bilang mau kumpul bareng komunitasnya itu maksudnya jadi relawan di acara amal Soebarjo Hospital. Gue pikir dia malah nge-band rock di club—ehmtersembunyi di PIK atau bike ride biar kerenan dikit di HI sama alumni SMA-nya yang kurang kerjaan dan jadi penguasa jalanan yang super songong.  Terus gue setiap bulan ketar-ketir setiap Mbak Tari minta laporan PMS. Takut dia kena klamidia,” jawabku jujur.

Sania terkekeh kecil. “Sekarang gue tau kenapa Alex milih pacaran sama lo,” ujar gadis itu tulus.

“Oh, ya tentu aja. Gue memang menyenangkan dan pacar idaman,” candaku yang sebenarnya tidak bercanda.

Kelewat percaya diri? Biar saja. Seperti kataku sebelumnya; Alexandre memilihku karena aku yang terbaik. Jadi, aku memang harus menunjukkan jika aku memang terbaik. Itu sebabnya aku dipilih.

Walau tidak dipilih pun, aku tetap aku selalu berusaha jadi yang terbaik. Mungkin lebih gila lagi. Untuk membuat ia menyesal; karena sejak awal telah melewatkan yang terbaik. Selalu tentang gengsi dan harga diri. Melelahkan tapi juga sangat memuaskan. Right, girls?

Mungkin suatu hari Alex juga akan menyesal karena sadar ia membuat pilihan yang salah. Tapi itu aku pikirkan nanti saja, karena sekarang aku harus demo tutorial membuat sandwich telor ceplok untuk anak-anak.

***

Sebenarnya ini ide Siska. Badut yang ia sewa untuk menghibur anak-anak tidak hadir karena sakit, alhasil gadis itu memutuskan memborong roti tawar dari Queen Bakery dan membeli beberapa kilo telur untuk diceplok sebagai isi sandwich. Tetap masih ada berbagai selai, tapi isi telur sepertinya lebih diminati karena anak-anak rata-rata memilih itu.

“Kak Win, aku boleh campur selai nanas pake telor?” tanya seorang anak berambut plontos di ujung sana.

Aku menghampiri anak itu dan mengelus kepalanya. “Nggak dong, nanti jadinya nggak enak. Nama kamu siapa?” tanyaku sayang.

“Deni, Kak. Tapi ini selainya udah aku taro di atas telur,” rengeknya dengan mata memerah menahan tangis.

Aku meringis saat melihat sandwich telor ceplok campur nanas itu, tapi kemudian kembali mengelus kepala Deni. “Oke, nggak papa, Den.  Kamu bisa pake sandwich, Kakak. Nih, buat kamu. Silahkan dihias lagi. Tapi kalo pakein telor, kamu bolehnya pake saos sama mayo, ya?”

Dengan mata masih memerah Deni tersenyum lebar, lalu dengan cepat bocah itu melupakan kesedihannya. Karena saat ini ia kembali fokus membuat smile dengan mayonaise di atas roti.

“Gue tau lo mungkin nggak mau denger ini. But, tolong jadiin pengecualian atau cuma pujian yang masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri. Win, lo cocok jadi ibu. Dan pas liat interaksi lo sama anak-anak, gue yakin, lo pasti bakal jadi ibu yang baik,” ujar Alex seraya tersenyum tulus.

Jujur saja ucapan Alex membuat dadaku dilimpahi perasaan aneh yang tidak pernah aku rasakan. Aku suka anak kecil, tapi enggan memiliki anak sendiri. Tetapi seperti katanya, hari ini biarkan jadi pengecualian.

Aku tersenyum tulus. “Oke, Thanks. Oh, ya, karena gue bakal jadi istri yang baik juga. Ini buat lo,” ujarku seraya memberikan Alex sandwich rasa telor—nanas buatan Deni.

Dengan senang hati Alex memakan itu, tapi kemudian melotot tajam. “Baru ngehalu nikah dan lo udah mau ngeracunin suami lo! Hebat!” seru Alex seraya mengejarku. Dan aku pun segera berlari hingga akhirnya kami kejar-kejaran. Anak-anak juga akhirnya ikut.

Lalu kami kejar-kejaran sembari tertawa. Jika ditanya mengapa aku dan Alex bisa sebahagia ini, harusnya jawabannya begitu mudah; kami hanya sedang jatuh cinta—yang diikuti kata pura-pura.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang