56. Before The Storm

2.3K 336 19
                                    

Aku menggigit bibir bawahku seraya menggenggam cincin pemberian Alex yang aku pasang sebagai bandul kalung. Kalo pria itu berpikir aku hanya menyimpan cincin pemberiannya di laci nakas apartemen, mana pria itu salah besar. Karena setelah pesta dansa di ulang tahun Ardhito Sahala, aku memutuskan untuk selalu membawa cincin pemberian Alex ke mana-mana.

Cincin itu aku ikatkan di leherku sendiri, sebagai tanda jika aku akan selalu menjadi miliknya, walau nanti pada akhirnya Alex tidak akan pernah menjadi milikku dan bahagia dengan orang lain.

Waktu yang aku punya hanya seminggu, sebab aku tidak boleh serakah. Namun, mengapa baru membayangkan tentang hal itu saja sudah membuat hatiku sakit sekali?

Aku menghela napas panjang untuk mengurangi sesak yang menekan dada, lalu segera berbalik untuk naik ke kantorku yang ada di lantai tiga. Tetapi langkahku sontak terhenti saat mendengar ringis kesakitan dari rak buku paling belakang, hingga dengan langkah cepat aku pun segera ke sana.

Netraku sontak terbelalak saat melihat Leora meringkuk di lantai dengan tubuh memar dipenuhi lebam, sudut bibir pecah, dan lubang hidung berdarah.

“Astaga Leora!” teriakku seraya menghampiri tubuh gadis itu. Air mata sontak mengalir dari kedua mataku saat membayangkan ada manusia bajingan yang begitu tega membuat tubuh mungil Leora dipenuhi lebam begini, pasti rasanya sakit sekali. Karena hanya membayangkannya saja sudah membuat aku ngilu sendiri.

“Mbak Win, ada apa?” tanya Topan seraya berlari ke arahku. Dan seperti reaksiku tadi, Topan juga langsung meringis dan mengumpat saat melihat Leora yang babak belur.

Dengan gerakan amat cepat pria itu mengambil ponsel yang ada di saku celananya dan segera menelepon ambulan. Lalu Topan membopong tubuh mungil Leora dengan hati-hati, sedangkan aku masih berdiam diri di tempat yang sama dengan tubuh gemetaran dan air mata yang tidak berhenti mengalir.

Rasa marah sontak menguasai dada hingga aku menggigit keras bibir sendiri hingga berdarah. Kemarahan itu berkumpul di dadaku hingga kepalaku terasa mendidih dan hampir meledak. Lalu aku meninju tembok sekuat tenaga hingga punggung tanganku terasa ngilu. Kepalaku merancang skenario terburuk yang mungkin saja terjadi, dan itu membuat kepalaku pening luar biasa. Sakit sekali hingga untuk bernapas pun terasa sulit, hingga akhirnya kegelapan menenggelamkanku, dan rasa sakit itu hilang tak bersisa—untuk sementara.

***

Aroma obat-obatan yang sangat menyengat adalah hal pertama yang masuk ke indra penciumanku begitu aku membuka mata. Aku memejamkan mata sebentar sebelum mulai mengedarkan pandangan ke seluruh ruang.

“Hi, baby, ada yang sakit?” tanya Alex seraya berdiri dari duduknya dan membelai kepalaku lembut.

Aku hanya merespons perkataan Alex dengan gelengan karena tenggorokanku terasa kering. Aku dapat melihat tangan kiriku diinfus dan tangan kananku diperban. Akhirnya aku pun mengingat apa yang terjadi sebelum aku berbaring di ranjang rumah sakit.

“Lex, gimana keadaan Leora?” tanyaku seraya berusaha bangkit dari tiduranku, tapi Alex menahan bahuku dan kembali menuntunku untuk tiduran di ranjang.

“Keadaan Leora udah baik, dia juga udah jelasin apa yang terjadi. Dia kuat, mirip seseorang yang aku kenal—“

“Lex, jangan bilang....” Aku tak sanggup melanjutkan karena air mata sudah lebih dulu membasahi pipi dan aku takut apa yang aku takutkan terjadi.

Alex naik ke ranjang rumah sakit, lalu memelukku erat, dan aku pun langsung membalas pelukan Alex masih dengan isakan.

“Leora nggak ada masalah sama orang tuanya. Hubungan mereka baik, tapi ada sesuatu yang perlu kamu liat.”

Alex membuka ponselnya dan menunjukkan sebuah video kepadaku, dan video itu sontak membuat aku mual luar biasa. Hingga aku tidak sanggup untuk menonton itu sampai selesai. Aku mengalihkan pandangan, dan Alex langsung mematikan video itu tanpa diminta. Saat ini kepalaku dipenuhi oleh banyak rencana, tapi yang jelas pertama-tama aku harus menghubungi Mbak Riani dan Mas Bondan.

***

Spoiler : Kejadian ini bakal membuat Wina milih—bakal swallow her pride buat orang-orang yang dia cintai atau pada kematian.

Maaf, ya, ceritanya masih panjangggg. Jangan bosen-bosen!

Sa,
Xoxo.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang