21. His Hand

4.6K 662 43
                                    

Dari jendela yang sengaja tidak aku tutup gordennya, terlihat hujan masih setia bercumbu dengan tanah. Mungkin hujan dan tanah tengah balas dendam. Karena musim kemarau memisahkan mereka dengan kejam, tumpukan rindu jadi berjubelan di awan.

Aku merapatkan selimut yang melilit tubuh hingga leher karena demam membuat tubuhku menggigil kedinginan. Tenggorokanku yang terasa perih membuatku yakin kini aku tengah menderita radang tenggorokan.

Beberapa hari ini Ayo Ngopi memang mendapat banyak booking-an untuk berbagai pesta. Kebanyakan pesta ulang tahun para selebgram temannya Ardhito. Membuatku begitu sibuk seminggu terakhir hingga wajar saja kini tubuhku nge-drop. Apalagi semalam aku pulang lewat tengah malam dan sedikit kehujanan saat naik O-jek. Jelas, imunitas tubuhku langsung menurun drastis.

Kini kepalaku pusing luar biasa, membuatku berulang kali memijit pelipis untuk mengurangi rasa sakitnya. Dengan gerakan perlahan aku menyambar ponsel di nakas. Lalu aku mengirimi pesan di grup Twogether untuk menanyakan siapa yang masih ada di rumah.

Untung Debie segera merespons cepat, sehingga gadis itu kini sudah berada di kamarku dan membantuku berganti pakaian karena kaosku banjir keringat.

"Lo yakin nggak mau gue anterin ke dokter?" tanya gadis itu setelah menyelimuti tubuhku hingga leher.

Aku menggeleng. "Nggak usah, Deb. Abis minum paracetamol juga sembuh demam gue. Cuma gue minta tolong ambilin sesuatu di dapur buat ngisi perut. Sori, ngerepotin," ringisku tak enak.

Debie menggeleng. "Santai, Win, nggak ngerepotin sama sekali, kok. Oke, gue liat dulu Dewi masak apa hari ini. Kebetulan gue juga belum sarapan. Gue tinggal, ya. Kalo ada apa-apa gece panggil gue!" Setelah mengatakan itu Debie segera meninggalkan kamarku tanpa menutup pintu. Agar gadis itu bisa mendengar saat aku panggil.

Sepeninggalan Debie aku kembali memejamkan mata. Mungkin untuk beberapa saat aku tertidur, hingga seseorang yang duduk di samping ranjangku dan menempelkan tangannya di keningku membuatku kembali membuka mata.

"Makan dulu buburnya. Abis itu minum obat," ujar Alex seraya merapikan rambut panjangku yang menutupi kening.

Dengan gerakan perlahan aku duduk dan bersandar di kepala ranjang. "Kok, lo yang bawain makanan? Emangnya Debie ke mana?" tanyaku lirih karena tenggorokanku terasa sangat nyeri saat aku berbicara.

"Ada, dia lagi mandi. Jadi gue yang nyiapin makanan lo," jawab pria itu. "Sekarang makan dulu buburnya, nih," lanjutnya seraya menyuapkan bubur padaku. Biasanya aku akan menolak jika disuapi, tapi entah mengapa, saat ini aku ingin sekali bermanja-manja pada Alex. Untuk sekali saja sebelum permainan ini berakhir.

Lagi pula, aku sudah kalah. Sejak pertama kali aku memutuskan menjadikan Alexandre Rajendra sebagai taruhan, aku memang sudah kalah. 

"Lo ngomel-ngomel karena gue begadang mulu, tapi lo sendiri pengikut sekte; kerja-kerja tipes. Dasar," omel Alex seraya menyentil dahiku pelan.

Aku menangkap tangan kiri Alex yang ada di dahiku dan menggenggamnya erat, tapi aku sontak mengerutkan glabela saat merasakan tangan cowok itu yang berkerut seolah terkena air lama. Tetapi aku memilih tak acuh, paling pria itu habis main bola bareng anak-anak komplek. Aku nggak tahu apa serunya, tapi Alex memang biasanya suka main bola saat hujan. Katanya, sih, membuatnya bernostalgia jaman SD. 

"Beda dong gue sama lo. Gue begadang kalo perlu doang, kalo lo kan tiap hari," protesku tak terima kena omel pria itu.

"Tapi coba liat yang sakit siapa?" 

"Iya, iya, sori, deh ngerepotin lo jadinya."

Alex berdecak sebelum kembali menyuapkan bubur padaku. "Ini bukan karena gue ngerasa direpotin, oke? Gue khawatir," ujarnya seraya menatap netraku lembut.

Mbak, gue bener-bener udah ngambil keputusan yang salah. Harusnya gue milih Jonathan daripada Alexandre.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain--tak sanggup menatap netra coklat itu lebih lama--lalu aku kembali membuka mulut saat Alex menyuapkan bubur ke mulutku. Aku menelan bubur tersebut pelan karena tenggorokanku terasa sakit saat menelan. Hingga akhirnya aku tak sanggup menghabiskan bubur yang tinggal setengah.

"Udah, Lex. Gue kenyang," beritaku seraya meminum air yang ada di nakas. 

Aku mendesah lega saat air hangat itu melewati tenggorokanku. Air hangat itu seolah menghanyutkan sesuatu yang sejak tadi menyangkut di sana, walau rasa perih masih begitu terasa.

Alex mengangguk mengerti. "Yaudah sekarang lo minum obatnya biar demam lo turun," ujar pria seraya memberiku sebutir paracetamol dan beberapa vitamin.

"Sekarang lo istirahat. Nggak usah kerja dulu kalo belum sembuh," lanjut pria itu yang langsung aku angguki mengerti. Lagi pula aku memang akan meliburkan diri beberapa hari sampai sakitku sembuh total. Pertama, aku benci merepotkan orang lain ketika sakit, kedua aku benci harus pergi ke rumah sakit saat sakitku bertambah parah. Karena seluruh keluargaku berkumpul di sana.

"Thanks, Lex, karena lo udah ngerawat gue hari ini," ujarku seraya tersenyum tulus.

"Sama-sama, Win. Inget satu bantuan untuk satu bantuan. Jadi, tandanya gue bisa ngerepotin lo kapan aja gue mau dan itu terdengar menyenangkan," kekeh pria itu.

Aku ikut terkekeh pelan. "Sialan!" makiku yang hanya direspons Alex dengan tawa semakin keras.

"Kalo lo laper lagi, masih ada bubur semangkuk di meja makan. Tinggal lo angetin aja," jelas pria itu.

"Oke, nanti kalo laper gue makan. By the way, tadi lo ngasih tip buat abang O-food-nya, kan, Lex?" tanyaku serius.

"Hah?" tanya Alex dengan mimik bingung yang sangat kentara.

"Maksud gue, lo bayar tukang O-food-nya lebih, kan? Kasian tau harus beliin gue bubur pas ujan deres gini. Tapi Abang O-jek emang yang terbaik, ya? Cuma mereka yang selalu ada nggak peduli hujan-badai menghadang. Pantesan slogannya; Kamu Itu Prioritas," kekehku seraya menirukan iklan O-jek yang selalu wara-wiri di televisi.

"Tenang aja gue kasih tip, kok, buat abang O-jeknya. Sampe beliin jas hujan juga," ujarnya yang aku tahu hanya bercanda.

Aku mencibir. "Iya deh, Alex emang yang paling baik sedunia. Kalo nggak ada urusan lagi keluar sana. Gue mau istirahat," ujarku seraya merebahkan badan lalu menutup mata.

Alex mengelus rambutku lembut, membuatku semakin mengantuk. 

"Lo nyuruh gue pergi tapi nggak mau lepasin tangan gue. Yang Mulia Wina Rakasiwi Soebarjo memang benar-benar luar biasa," protesnya tapi masih mengelus kepalaku lembut dan tak melepaskan genggaman tangannya yang terasa hangat. Lalu yang aku rasakan hanya kenyamanan sampai akhirnya aku pergi ke alam mimpi. 

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang