12. Warm

5.1K 728 33
                                    

Seperti perkataan Chef Suta di youtube, aku pun memakai sarung tangan anti panas untuk mengangkat panci berisi daun singkong dan daun pepaya yang sudah aku rebus. Namun sial, aku lupa memakai celemek. Celemek adalah hal wajib yang harus aku pakai saat memasak, agar bajuku tidak terkena noda minyak atau kecap yang kadang sulit hilang saat dicuci.

Aku berniat membuka kembali sarung tangan anti panas yang aku pakai, tapi Alex menahannya. Kini pria itu berdiri di depanku seraya memasangkan celemek di sekitar tubuhku. Aku mendongak dan dalam lima denyut nadi netra kami saling bertaut, hingga akhirnya aku memutuskan kontak mata kami lebih dahulu. Perkataan Hanum kembali menggema di kepala; Not your fault if you can't control them. Tetapi tetap saja, aku tidak bisa melangkah lebih jauh dari ini. 

Setelah Alex selesai memasang celemek, dengan gerakan super cepat aku mundur selangkah, hingga hampir oleng jika tidak berpegangan pada kitchen table. "Thanks," lirihku dengan dada berdetak kencang.

Alex berdeham kecil lalu mengangguk mengiakan. "You're welcome. Eh, Win, alat pengupas kentangnya di mana, sih? Kok, nggak ada di tempat biasa?" tanya pria itu seraya celingukan ke sana-kemari.

Aku memalingkan wajah karena asap rebusan daun singkong mengenai muka, setelah menaruhnya di westafel aku segera mundur satu langkah. "Masa nggak ada, Lex?" tanyaku seraya melepas sarung tangan.

Alex mengaduk-aduk tempat sendok. "Iya, nggak ada."

Aku menghampiri Alex dan membantu pria itu mencari peeler berwarna ungu yang biasanya terselip di antara sendok. Tetapi benda itu tidak ada di sana.

Lalu aku membuka setiap laci yang ada di kitchen table, memeriksa kolong, dan belakang kulkas. Tetapi benda itu tetap tidak ada. Maka hanya ada dua kemungkinan, benda ungu itu jatuh ke tempat yang tak dijangkau mata atau dipinjam tetangga.

Karena ogah ribet aku pun memberikan pisau pada Alex. "Nih, pake ini aja."

Alex cemberut. "Gue nggak bisa kalo pake peso," keluh blasteran Jerman itu.

Aku mendelik. "Dicoba aja belum masa udah bilang nggak bisa!" omelku.

Alex tambah cemberut, tapi pria itu tetap mengambil pisau dan mulai mengupas kentang. Aku pun kembali ke westafel untuk menyaring daun singkong dan pepaya yang asapnya mulai hilang. Setelah memindahkan dedaunan itu ke wadah, aku pun mulai memotongnya kecil seperti intruksi Chef Suta.

Aku meringis saat melihat kupasan kulit kentang Alex yang kacau parah. Pria itu tak hanya mengupas kulitnya, tapi dengan dagingnya juga. Kalau benar peeler yang kami punya hilang, aku harus cepat-cepat membeli peeler baru atau Alex nggak bisa aku suruh kupas-kupas lagi. Rugi bandar.

Karena terlalu gregetan akhirnya aku mengambil alih pisau dari tangan Alex. Lalu kami bertukar peran, Alex mengirisi daun singkong plus daun pepaya. Sedangkan aku mengupas kentang yang kampretnya masih sisa banyak.

"Udah gue bilang gue nggak bisa ngupas pake peso. Lo sih ngeyel. Eh, sekarang malah ngomel-ngomel itu mubazirlah, ini mubazirlah," cibir Alex seraya memotong daun singkong sesuai video di youtube.

Aku tersenyum super manis. "Seenggaknya lo udah mencoba. Good job, Nak," pujiku lagi-lagi kayak emak-emak yang sedang memuji anaknya yang berani ikut lomba kelereng tujuh belasan walau akhirnya kalah karena kelerengnya jatuh ke tanah.

"Gue bukan anak lo! Pacar, Win, pacar!" protes Alex sewot. Okay, aku mulai suka permainan ini.

Aku mengedipkan satu mata. "Iya deh pacar," godaku seraya menahan diri mati-matian agar tidak menubruk tubuh kokoh pria itu. Aku mencengkram pinggiran kitchen table erat-erat.

Wina, control yourself. Take a deep breath and do not do stupid things.

Setelah mengalami drama panjang seperti mata pedih karena mengiris bawang merah, heboh karena telur yang tinggal tiga buah malah pecah satu, dan teriak lebay karena kecipratan minyak saat menggoreng ikan asin, akhirnya semua sarapan kami hampir siap.

Perkedel sudah tersaji di meja, gemblong sudah ditaruh piring, teh hangat juga sudah tersedia di teko. Tinggal oseng daun singkong campur daun pepaya saja yang belum, tapi ini pun sudah hampir matang.

Sebelum mematikan kompor aku pun mencicipi hasil eksperimenku hari ini. Tentu saja rasanya ... pahit tapi tetap enak. "Lex, cobain ini dong! Udah pas belum?"

Alex mengambil sendok dari tanganku lalu menyuap osengan bekasku yang tadi masih sisa di sendok. Tindakan pria itu membuatku nge-blank seketika....

Dahi Alex tampak berkerut, tapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Pait, tapi enakan ini daripada pare," tuturnya.

Dasar anti pare!

Aku membasahi bibirku yang terasa kering dengan salah tingkah. "Oke," sahutku seraya mematikan kompor. Lalu aku memindah osengan ke piring dan dalam sekejap dapur langsung riweh karena penghuni Twogether sudah pada bangun. 

"Widih masak apa hari ini, Win?" tanya Jonathan yang terakhir bergabung.

"Oseng daun paya plus daun singkong pake teri, Bang. Yang lain sih pada suka. Semoga lo suka juga, ya."

"Ini sih makanan gue kalo pulang kampung, Win. Doyan bangetlah gue. By the way, rebusan daun singkongnya masih ada nggak? Enak, nih, buat lalapan," tanya Jonathan.

"Aduh sori, Bang, gue lupa nyisain tadi, hehe," ujarku cengengesan. 

"Ah, nggak peka lo, Win. Padahal udah jelas ada rajanya kambing di sini," ejek Anna.

Jonathan menyentil dahi Anna. "Sembarangan!" protesnya, tapi kemudian pria itu mengelus-elus dahi Anna lembut karena gadis itu mengeluh sakit dengan bibir mengerucut.

Lalu kami makan bersama setelah Jonathan selesai membuat sambel terasi andalannya. Jangan bayangkan sarapan ini begitu tenang macam sarapan ala-ala bangsawan jaman baheula, karena suasana meja makan tetap rame parah.

Ada Debie yang rebutan perkedel sama Alex. Dewi dan Bayu yang berdebat entah soal masa SMA mereka. Jonathan yang sibuk memindahkan ikan asin dari piring Anna ke piringnya karena gadis itu alergi. Suara radio yang meramalkan cuaca hari ini. Pokoknya begitu chaos tapi terasa hangat.

Twogether memberiku keluarga. Kehangatan yang tidak bisa aku rasakan di rumahku yang sesungguhnya. Makanya, aku dan Alex tidak ada yang boleh keluar dari sini. Tetapi aku belum mau mengakhiri 'permainan' ini.

Lex, maafin gue.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang