52. Privilege (2)

2.5K 380 34
                                    

“Oma!”

Oma menyentil keningku. “Ekspresi kamu lho, Win, kayak baru aja lihat Oma-mu bangkit dari kubur.”

Aku masih melongo di depan pintu, sedangkan Oma sudah masuk ke dalam apartemen seraya meninggalkan belanjaannya yang segudang itu di depan pintu. Ya, itu adalah kode keras kalau aku yang harus membawa semua belanjaan Oma ke dalam.

Seharusnya tidak ada yang tahu kalo Maxwell pulang ke Jakarta hari ini. Bahkan, Siska sampai menyewa sebuah jet pribadi agar penerbangan mereka sama sekali tidak diketahui, tapi bagaimana Oma tahu?

Oma bukan orang yang mau jauh-jauh repot datang dari Bandung ke Jakarta hanya untuk menengok aku. Karena biasanya Oma yang bakal meneleponku lalu bercerita tentang ada sebuah pondok di tengah hutan yang ditinggali seorang nenek tua yang hidup sendirian padahal ia punya banyak anak dan cucu. Nenek itu kesepian, sendirian, kesepian, sendirian, begitu terus hingga akhirnya ada kalimat penutup: walau begitu sang nenek tetap bahagia, karena punya teman berupa tomat dan para ulat. Ya, Dahlia Soebardjo memang ratu drama sejati.

Kalau Oma sudah mendongeng seperti itu, tandanya ia menyuruhku untuk datang ke Bandung. Tidak peduli hujan badai atau tornado menghadang, sedangkan  kalau aku sampai tidak datang, Oma bakal terus menceritakan dongeng yang sama sampai kupingku pengang dengan dalih sleep call!

Makanya kalau Oma sampai datang ke apartemenku hari ini, itu pasti karena ia ingin bertemu dengan Maxwell.

Aku meraih tiga tote bag yang ada di depan pintu, lalu segera membawanya masuk ke dalam. Begitu menutup pintu, tiga tote bag itu langsung diambil alih oleh Alex. Membuatku langsung melayangkan senyuman ke arah pria itu.

“Thanks.”

Alex berjalan ke arah dapur sedangkan aku kembali ke meja makan. Semua orang terlihat makan dengan hangat, kehadiran Oma sama sekali tak mengubah apa pun. Oma juga langsung akrab dengan Maxwell, seolah pasangan nenek dan cicit itu kenal dalam waktu yang amat sangat lama.

Aku dan Alex kembali bergabung ke meja makan, lalu kami makan dengan senyuman yang bertengger di bibir masing-masing. Sesekali Alex dan Maxwell bakal rebutan telor ceplok di meja, Oma ngomel-ngomel karena harus memilah potongan cabai hijau yang ada di kerang, Siska membantu Maxwell minum dengan teratur, Odelia juga sesekali rebutan kerupuk dengan Alex. Membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil.

Hatiku dipenuhi rasa bahagia yang meledak-ledak. Akhirnya salah satu impianku waktu kecil bisa terlaksana. Walau tetap ada kehampaan tak berujung yang ada di hatinya, karena puzzle yang seharusnya mengisi kekosongan itu sudah hilang sejak lama.  Mama....

Setelah makan aku dibantu Alex langsung mencuci semua piring kotor di wastafel. Maxwell, Siska, dan Odelia ada di ruang tamu sedang memakan kue yang tadi dibawa Oma.

Sebelum melanjutkan mengelap piring aku mengecek ponselku dulu yang sejak tadi tak berhenti bergetar.

Sial!

Bagaimana ada yang tahu kalo Maxwell pulang hari ini sehingga foto-foto keponakanku itu saat ada di bandara sudah tersebar di mana-mana? Bahkan, foto saat Maxwell masuk ke lobi apartemen juga sudah terekspos ke sana sini. Membuatku sangat yakin kalo saat ini apartemenku sudah di kelilingi wartawan.

“Jadi, kamu udah baca berita terbaru tentang Maxwell?” tanya Oma seraya mendekat ke arahku.

“Iya, dan gimana bisa mereka tahu Maxwell pulang hari ini? Seharusnya nggak ada yang tahu!”

“Kecuali yang menyebarkan adalah orang terdekat,” jawab Oma dengan mimik serius.

Kali ini aku juga menatap Oma dengan serius, karena sepertinya Dahlia Soebardjo sudah tahu tentang semuanya. Bahkan, sampai hal-hal yang tidak aku dan Siska tahu.

“Ya, Siska emang mencurigai hal itu juga. Tapi sepertinya Oma udah tahu semuanya, ya?”

Oma tak menjawab pertanyaanku, ia malah memberikan ponselnya padaku dan aku langsung terkejut begitu melihat video syur yang ada di sana. Dan aku lebih terkejut lagi begitu melihat siapa aktor yang ada di sana.

Dalam sekejap video itu sudah terunggah di internet dan langsung menutup skandal Siska. Kali ini Oma benar-benar menghancurkan si pengkhianat tanpa ampun. Trending di twitter juga sudah mulai berubah, dan hal pertama yang masuk ke dalam kepalaku adalah nama Sila.

Sial, si menyebalkan itu pasti bakal sangat hancur sekali.

Menjadi bagian dari keluarga Soebardjo memang ada di antara anugerah dan kutukan, tapi Soebardjo punya privileges tak terbatas. Dan Oma baru saja menggunakan hak istimewa itu.

Uang  tidak bisa membeli kebahagiaan? Siapa bilang! Uang bisa membeli kebahagiaan, kehidupan, bahkan jiwa seseorang dalam sekejap. Makanya kata-kata ‘hati-hati dalam memilih lawan’ juga ialah benar adanya.

Hanya dalam beberapa menit, dan sebuah video nge-blur, hidup seseorang baru saja hancur berantakan.

“Tapi gimana Oma tahu tentang Maxwell dan semua ini?”

“Menurut kamu selama ini di Bandung Oma cuma diam aja? Tanpa mantau apa pun?”

Aku langsung memelototkan kedua mata. “Oma masih suka nyadap ponsel? Oma udah janji nggak nyadap ponselku lagi, itu beneran, kan?”

Oma tak menjawab, hingga aku langsung tahu jawabannya. Sejak dulu seorang Dahlia Soebardjo memang sangat menakutkan. Prinsip Oma adalah 'aku tahu tapi aku diam.'

“Oma, aku saranin jangan sering-sering nyadap ponsel aku. Karena Oma pasti iri kalo baca sexting aku sama Alex. Bukan pamer, cuma ngasih tahu aja,” ujarku bercanda seraya mengedipkan satu mata.

Dan sontak Oma langsung menggebuk punggungku. “Lambemu, Win!”

***

Oke, akhirnya kita bakal sampai di flashback masa-masa kelamnya Wina. Gile, alurnya masih panjang bangetttt. Kalo tembus 100 chapter ada yang mau baca nggak, sih? Jangan bosen-bosen, ya! huhu

Sa,
xoxo.

Hi, Mate! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang