01 : Ketidakpastian

777 288 279
                                    

Hai, bagaimana kabar kalian semua?
Selamat datang di cerita saya, semoga kalian suka♡
.
.
Jangan sungkan untuk kasih kritik dan saran ya!
.
.
Jangan lupa vote, komen, dan share ke teman kalian, terimakasih atas dukungannya!
.
-------------------------------------------
Cerita ini saya tulis sesuai karangan saya sendiri, bila ada kesamaan pada cerita, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
.
Happy and Enjoy♡
.
----------
.

Jeritan memilukan dan permohonan tolong menggema, memecah keheningan di tempat yang gelap gulita.

Seorang gadis berdiri di tengahnya, memegangi kepalanya yang berdengung, menahan rasa sakit di telinganya. Isak tangis itu semakin jelas, membuatnya merasa mual.

Dengan langkah gemetar, ia mulai berlari kecil, mencoba menemukan jalan keluar dari tempat ini—namun kegelapan terus menyertainya, seolah menahannya di sana.

“Aku .... di mana? Kenapa aku di sini?” pikir gadis itu, panik. Dadanya terasa sesak, udara di sekitar seperti menipis, menambah rasa cemas yang menggulung. Ia tidak ingat apa yang terjadi, atau bagaimana ia bisa terperangkap dalam kegelapan ini. Hanya suara itu, suara jeritan yang kadang terdengar jauh, namun kemudian muncul dekat di telinganya, menambah rasa takutnya.

“Tolong ... ya Tuhan, aku ingin pulang ... kumohon ...”

Begitu ia menyebutkan nama Sang Pencipta, tiba-tiba semua suara itu terhenti. Keheningan yang mendadak menekan, menyisakan hanya gemerisik halus dari jantungnya yang berdetak cepat. Merinding tak kunjung hilang dari tubuhnya, membuatnya terus mengusap lengan dengan gemetar. Kepalanya mulai berdenyut, rasa sakit yang tak tertahankan.

“Kiara?”

Satu suara memecah kesunyian itu. Gadis itu tersentak, lalu berbalik dengan cepat. Di tengah kegelapan, matanya melebar penuh harap. Di sana, berdiri sosok yang sangat dikenalnya—begitu nyata hingga ia tak mampu menahan air mata.


“Mas Eza!”

Tanpa ragu, Kiara berlari ke arahnya, mencoba meraih sosok kakaknya. Namun, setiap langkah yang diambilnya malah menjauhkan mereka. Semakin ia berusaha mendekat, jarak di antara mereka semakin lebar, seolah ada sesuatu yang tak terlihat yang memisahkan mereka.

“Mas! Kenapa Mas Eza semakin menjauh? Aku butuh Mas, aku takut ...” Suaranya parau, menggema dalam kegelapan yang tak berujung.

Lelaki itu hanya tersenyum, senyuman yang selama ini dirindukan Kiara—senyum yang selama seminggu ini tidak pernah ia lihat lagi. Namun, senyum itu tetap tak terjangkau.

“Mas bau, Kiara nggak boleh peluk Mas,” ujar lelaki itu sambil tertawa kecil.

“Mas!” seru Kiara dengan kesal.

“Hahaha, sini-sini!”

Tanpa ragu, Kiara kembali berlari ke arah sosok di depannya. Kali ini, jarak mereka tak lagi menjauh. Ia berhasil mendekap tubuh kakaknya yang kini terasa nyata di pelukannya.

“Mas Eza, Kiara kangen banget. Padahal kita selalu bersama,” keluh Kiara, suaranya bergetar. Sosok lelaki itu tersenyum tipis, mendengarkan keluhan adiknya dengan lembut.

Just Me (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang